BBG sebagai Pengganti BBM
Ari Sumarno ; Mantan
Direktur Utama Pertamina; Kini Konsultan Migas
|
KOMPAS,
13 September 2012
Urgensi pemanfaatan bahan
bakar dari gas bumi untuk menggantikan bahan bakar minyak kembali mengemuka,
terutama di tengah kecenderungan naiknya harga minyak mentah dan perdebatan
kenaikan harga BBM.
Bahan bakar gas (BBG)
dipercaya mampu jadi alternatif pengganti BBM untuk kendaraan bermotor. Bahkan,
pemerintah bermaksud membuat program kilat penggunaan BBG berbentuk compressed natural gas (CNG), dengan
menyediakan converter kit, membangun
infrastruktur distribusi dan melaksanakan uji coba. Logika dasarnya: cadangan
sumber daya alam gas di dalam negeri masih jauh lebih besar daripada minyak dan
harganya lebih murah daripada BBM.
Meski secara akademik benar,perlu
dikaji dalam menjamin keberlangsungannya, juga seberapa cepat kita dapat
merealisasikannya. Perlu dipahami, karakter fisik BBG berbeda dengan BBM.
Selain sulit disimpan setelah dikeluarkan dari dalam bumi, transportasi curah
BBG hanya dapat dilakukan melalui pipa atau dicairkan dalam bentuk liquefied natural gas (LNG), yang
kemudian dialirkan kepada konsumen dalam bentuk gas kembali melalui pipa.
Memang betul BBG dapat
dikirim melalui tabung CNG, tetapi hanya dalam volume terbatas. Biayanya pun
lebih tinggi. Dibandingkan BBM, keterjangkauan BBG sangat dibatasi oleh
ketersediaan sistem jaringan pipa distribusinya.
Dengan demikian, bisnis BBG
kurang kompetitif dan tidak se fleksibel BBM. Ia juga lebih kaku daripada
elpiji yang lebih mudah disimpan dan didistribusikan. Jadi, pemanfaatan gas
bumi untuk bahan bakar atau bahan baku industri perlu waktu dan memerlukan
koordinasi mata rantai yang panjang, mulai dari produsen,
pengangkut/distributor, penjual, sampai konsumen.
Diperlukan investasi
infrastruktur besar dan persiapan yang panjang. Itu pun masih harus dicari
alternatif penggantinya bila terjadi gangguan pasokan.
Kekurangpahaman itu tampak
dalam kerancuan pola pikir para pembuat kebijakan yang seakan- akan melihat
pemanfaatan gas bumi dapat dilakukan secara instan. Dengan latar belakang di
atas, jelaslah pemanfaatan BBG perlu konsep, perencanaan, program, dan strategi
implementasi yang komprehensif serta matang.
BBG untuk Kendaraan
BBG dalam bentuk CNG untuk
kendaraan bermotor merupakan pemanfaatan gas bumi yang paling memerlukan waktu.
Untuk pengembangan ataupun pertumbuhan pemakaiannya butuh infrastruktur di dua
sisi: penyalur dan konsumen. Keduanya butuh investasi yang besar. Selain
dibutuhkan tempat pengisian kembali (refill/SPBBG)
yang mudah terjangkau, konsumen perlu memodifikasi mesinnya dengan membeli
peralatan khusus.
Konsumen juga harus rela
mengorbankan performa mesin, di samping daya angkut penumpang atau barang
berkurang dan daya jangkau lebih pendek. Ditambah lagi keraguan konsumen akan
aspek keselamatan, mengingat tabung CNG memiliki tekanan sangat tinggi (200-275
atmosfer/bar), 35 kali lebih tinggi daripada tabung LPG. Walaupun statistik
menunjukkan risiko tabung CNG tidak lebih tinggi dibandingkan tangki bensin.
Konsekuensi tersebut dapat
dilihat dari pengalaman Iran, Pakistan, Argentina, Brasil, dan India. Di
Argentina, misalnya, terdapat hampir 2 juta kendaraan dengan 1.800-an tempat
pengisian (SPBBG). Di situ terlihat perlu SPPBG dalam jumlah besar dengan rasio
1:1000 kendaraan.
Harga yang jauh lebih rendah
saja ternyata tak cukup menarik untuk memindahkan konsumen beralih ke BBG.
Bahkan, di Amerika Serikat—yang sudah memperkenalkan CNG sejak 1940-an,
populasi pemakainya sekarang hanya 120.000 kendaraan (dari total sekitar 400
juta kendaraan). Padahal, harga CNG hanya 30-40 persen dari harga BBM dan para
pemakainya diberi diskon pajak sangat menarik atas harga kendaraannya. Maka,
tak mengherankan bila negara-negara utama yang mendorong CNG selalu melakukan
”pemaksaan” melalui regulasi, ditambah insentif khusus bagi kendaraan umum.
Infrastruktur distribusinya pun dibangun pemerintah, ditambah insentif besar
bagi distributornya.
Bagaimana kita? Kita telah
mencobanya pada awal 1990-an, tetapi pemakaiannya tak berkembang, lalu surut.
Dari 18 SPBBG yang pernah dibangun di Jakarta, Surabaya, dan Cirebon, saat ini
tinggal 25 persen yang masih beroperasi. Mengapa ini terjadi? Sekali lagi,
perencanaan, arah, tujuan, dan konsistensi programnya tak jelas. Populasi
kendaraan pemakai terus turun. Taksi yang dulu diberi insentif bila pakai BBG,
pada waktu peremajaan kendaraan, insentifnya ”hilang” begitu saja. Juga
kontinuitas suplai gasnya bermasalah.
Maka, pemakaian BBG bagi
kendaraan bermotor perlu perencanaan, program, dan strategi implementasi yang
matang. Dari pengambil kebijakan pun perlu kepemimpinan yang kuat. Pengalaman
dalam kebijakan BBG di masa lalu, pengalaman negara lain, dan keberhasilan kita
pada program konversi minyak tanah ke elpiji sudah merupakan acuan yang lebih
dari cukup. Uji coba sudah tidak diperlukan lagi.
Namun, yang pasti, upaya
mendorong pemakaian BBG perlu waktu panjang. Jangan berharap jadi solusi instan
pengganti BBM bersubsidi.
Dari segi harga pun jangan
berharap harga gas bisa sangat murah seperti di AS. Gas bumi kita ke depan akan
makin tinggi harganya karena lokasi sumber daya alamnya berada di daerah
terpencil, struktur geologi yang sulit dan komposisi gasnya kurang baik
sehingga biaya produksi dan transportasi ke pusat konsumsi akan relatif tinggi.
Meskipun harga gas bumi masih akan lebih rendah daripada harga keekonomian BBM.
Bagaimana ke Depan?
Kalau kita serius ingin
mendorong BBG sebagai pengganti BBM, perlu dibuat rencana induk pemakaian gas
yang menyeluruh, berikut peta jalan program dan strategi implementasinya,
ditambah kepemimpinan yang konsisten. Semua itu perlu dikemas dalam kerangka
diversifikasi energi, khususnya dari BBM ke BBG. Harus dipahami pula sifat gas
bumi berikut struktur bisnisnya yang membutuhkan infrastruktur yang sangat
ekstensif dengan biaya besar dan waktu yang panjang.
Mengisolasi suatu rencana
pemakaian BBG/CNG untuk kendaraan bermotor sebagai program tersendiri akan
sangat mahal. Kebutuhan untuk penyediaan infrastruktur distribusi akan sangat
besar dan tidak mungkin hanya ditugaskan pada BUMN (Pertamina dan PGN). Program
ini harus dikemas dalam suatu rencana induk program diversifikasi energi.
Program ini akan cocok bila merupakan salah satu subprogram yang sekaligus
untuk distribusi gas bumi ke rumah tangga dan gas kota (city gas), yang dapat menggantikan elpiji yang masih perlu diimpor.
Rencana pemakaian BBG untuk
kendaraan bermotor sebagai upaya bahan bakar alternatif bagi BBM bersubsidi
tidak akan berhasil dalam waktu singkat. Apa yang terlihat akan dilakukan,
berupa program kilat dan uji coba, hanya akan membuang waktu dan sumber daya
finansial saja. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar