Freeport
dan Papua untuk Siapa?
Teuku Kemal Fasya ; Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
|
REPUBLIKA, 15 September 2012
Versi asli (sebelum diedit Republika),
berdasarkan permintaan penulisnya (TKF)
Ketika
menteri luar negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, tiba di Indonesia pada 3
September lalu, rasanya sulit untuk tidak melihat pesan politik yang
melatarinya. Tentu saja itu bukanlah muhibah biasa, mengingat pemerintah AS
selalu membawa kepentingan maksimalnya ketika mengunjungi negara-negara lain.
Kedua
belah pihak (Hillary Clinton dan Menlu Marty Natalegawa) secara “kompak”
menyatakan tidak membahas tentang Freeport. Ini berbeda dengan kesan publik
(dan gerakan demonstrasi) yang melihat kedatangan itu terkait memperpanjang
nafas Freeport di Indonesia hingga 2041. Suara Kementerian Luar Negeri RI
menyebutkan kunjungan itu bukan membahas Freeport, tapi rencana pemberian
beasiswa bagi mahasiswa Indonesia ke AS, hibah pesawat (bekas) F 16, dan
mendukung status Papua dibawah NKRI.
Secara
semiotis, pernyataan itu bisa dilihat secara terbalik dan sangat politis, bahwa
kunjungan itu sangat berhubungan dengan Freeport. Atau, pemerintah Indonesia
akan menghadapi dilema jika sampai mengusik kepentingan bisnis Amerika, karena
bisa jadi “politik wortel” tentang bantuan pesawat (meskipun bekas) akan
dihambat, padahal Indonesia tengah kesulitan anggaran untuk peremajaan alat-alat
utama sistem persenjataan (alutsista).
Demikian
pula dengan beasiswa. Meskipun secara permukaan terlihat sebagai proyek
pencerdasan, namun juga bisa dibaca sebagai proyek kolonialisasi terutama pada
instrumen penyangga kepentingan AS di negara peserta, seperti mempreservasi
citra dan jaringan AS di Indonesia (terutama di birokrasi dan dunia perguruan
tinggi). Kita melihat bagaimana para gang ekonomi lulusan Berkeley University,
California, pada 1960-an menjadi think
tank dan penyangga sistem perekonomian Orde Baru - termasuk penyebab
kerapuhan struktur ekonomi nasional ketika dihantam krisis ekonomi regional,
1996-1997.
“Kami
mendukung kesatuan wilayah Indonesia termasuk Papua dan Papua Barat di
dalamnya”. Pernyataan Hillary ini tentu saja bukan kalimat yang muncul di ruang
hampa. Ini seperti pernyataan kondisional, bahwa “kami bisa jadi tidak lagi
mendukung kesatuan Papua dan Papua Barat di dalam NKRI jika pihak NKRI tidak
mendukung kepentingan kami di sini”. Secara historis hal ini telah terjadi
berkali-kali, AS akan sangat ringan melepaskan dukungan kepada negara dan
pemimpin negara yang menjadi sekutunya jika kepentingan globalnya berubah.
Jaime Roldos, Manuel Noriega, Soeharto, Osama Bin Laden, dan Saddam Hussein adalah
sedikit contoh sekutu yang akhirnya dilibas.
Sejarah “Kecut” Freeport
Perusahaan
Freeport telah berada di Indonesia tak lama ketika pemerintahan Soekarno
runtuh. Sebenarnya sejak 1960 Freeport telah mengetahui potensi tambang di
Papua, namun Soekarno mempersulit persyaratan kontrak karena menganggap
eksploitasi tidak memihak Indonesia.
Pemerintahan
baru di bawah Soeharto dianggap mitra strategis untuk mengembangkan industri
ekstraktif sekaligus mengeksploitasi kekayaan Indonesia melalui perusahaan Amerika
dan dukungan utang dari Bank Dunia dan IMF (Perkins, 2007).
Kegiatan
utama Freeport pada 1967 bertujuan utama eksplorasi biji tembaga dengan lahan
seluas 100 ribu hektar. Saat itu sebagian besar saham dimiliki oleh Freeport
McMoRan Copper&Gold Corp (80 persen), sedangkan pemerintah Indonesia hanya
memiliki saham 9,36 (persen).Ternyata secara diam-diam Freeport memperluas
areal penambangan karena menemukan emas dan perak dengan jumlah puluhan kali
lipat dibanding tembaga.
Operasi
diam-diam itu akhirnya baru diketahui pemerintah Indonesia pada 1978. Anehnya
pemerintah tidak memberikan penalti atas pelanggaran kontrak lahan, bahkan
melakukan persetujuan perluasan lahan tambang.
Saat ini area tambang PT. Freeport mencapai 2,3 juta hektar.
Keberadaan
Freeport menjadi pintu masuk bagi eksploitasi sumber daya alam di Papua secara
besar-besaran dan tak terkendali. Keberhasilan Freeport mendapatkan keuntungan
hingga 2,3 miliar dollar pertahun telah menjadi gula-gula bagi perusahaan migas
lainnya. Saat ini sedikitnya delapan perusahaan migas multinasional dengan blok
eksplorasi seluas 11,9 juta hektar telah menguasai Papua (Carla Natan, 2012).
Nasib Sub-etnis Papua
Keberadaan
perusahaan Freeport yang demikian berkuasa dan meluas di wilayah Papua membuat
dampak lingkungan, ekologis, dan kultural yang sangat negatif bagi masyarakat
Papua. Misalnya, tujuh suku-suku utama yang terdampak langsung kegiatan
eksplorasi di wilayah pegunungan Mimika harus digusur ke Kwanki Lama, di
wilayah dekat ibukota Mimika, Timika. Arogansi kebijakan seperti ini
menimbulkan konflik sosial-budaya yang semakin disalahpahami. Belum lagi
kepunahan sub-etnik akibat perluasan eksploitasi di wilayah pedalaman. Jika
pada awal 1960-an keberadaan sub-etnik Papua berjumlah lebih 300, kini tersisa hanya 252 sub-etnik (Neles
Tebay, 2011). Kepunahan yang paling nyata adalah bahasa dan dialek.
Contoh
lain, politik migrasi sejak masa pemerintahan Soeharto, menyebabkan penurunan
populasi asli Papua. Jika statistik pada 1971 menunjukkan perbandingan antara
populasi asli dan non-asli Papua adalah 96 persen dan empat persen, dan pada
tahun 1990 telah melonjak menjadi 75 persen dan 25 persen, maka pada tahun 2011
populasi Papua dan non-Papua asli menjadi 48 persen dan 52 persen. Etnis bukan
asli Papua akhirnya menguasai wilayah dan sektor ekonomi-politik-budaya Tanah
Papua.
Kekecewaan
itu juga bercampur dengan tindakan represif pemerintahan Indonesia dalam
menyelesaikan gejolak yang muncul di tengah masyarakat Papua. Pendekatan
militer selalu diprioritaskan berbarengan dengan kebijakan reintegrasi Papua ke
Indonesia. Ini pula yang menyebabkan referendum rakyat Papua atau yang disebut
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 dianggap sebagai kebijakan
manipulatif dan tidak berlangsung secara demokratis.
Kompleksitas
ini menunjukkan bahwa setelah 14 tahun reformasi dan hampir 50 tahun Papua
bersatu bersama Indonesia (jika dihitung hari integrasi Papua ke Indonesia pada
1 Mei 1963), belum banyak langkah maju dalam menyelesaikan kasus Papua. Kompleksitas
berlapis antara masalah marjinalisasi dan diskriminasi, salah urus pembangunan,
gagalnya memahami status dan sejarah
masyarakat Papua, dan kekerasan militer dan pelanggaran HAM, baik yang
diinisiasi oleh pemerintah Indonesia dan perusahaan multi-nasional, menyebabkan
proses demokratisasi dan perdamaian di tanah Papua tidak pernah bersemi.
Upaya
dari bawah yang dilakukan jaringan perdamaian Papua (LSM, tokoh agama, tokoh
adat, dan sukarelawan perdamaian) melalui “Deklarasi Papua Tanah Damai” pada
5-7 Juli 2011, belum memiliki dampak yang cukup signifikan, karena belum ada
sambutan dari pemerintah dan dunia internasional. Inti yang diinginkan adalah
seharusnya masalah Papua diserahkan kepada masyarakat Papua sendiri, dan setiap
kerumitan dalam menyelesaikan masalah hendaknya dikedepankan jalan dialog yang
santun dan setara.
Jika
ini tak diindahi, maka setiap pendekatan ekonomi-politik yang dilakukan oleh
pemerintah RI dan Freeport (AS) di tanah Papua hanya memperbesar kepentingan
pragmatis mereka sendiri, tidak membahagiakan masyarakat Papua. Pendekatan ekonomi yang serakah dan
pendekatan politik yang represif sebenarnya sketsa wajah kekuasaan yang
menghancurkan banyak kebudayaan, termasuk kebudayaan Papua dan masyarakatnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar