Rabu, 19 September 2012

Anomali Hubungan


Anomali Hubungan
Ibnu Burdah ;  Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam
KOMPAS, 19 September 2012


Peristiwa-peristiwa di Mesir pasca-Revolusi 25 Februari semakin menunjukkan bangsa Mesir kurang ”bersahabat” dengan Israel kendati kedua negara terikat perjanjian damai.
Respons berbagai kalangan di Mesir terhadap tragedi di perbatasan yang menewaskan 16 tentara negeri itu baru-baru ini meneguhkan kesimpulan tersebut. Para analis, suara jalanan, hingga Jamaah Ikhwan al-Muslimin menuduh Mosad, dinas rahasia Israel untuk urusan luar negeri, terlibat dalam peristiwa berdarah itu.

Faktanya, Israel sama sekali tidak mengimbangi dinamika di dalam negeri itu dengan sikap yang sama. Berbagai kalangan di Israel bahkan terus melontarkan harapan agar Mesir tetap memelihara perdamaian dan kerja sama keamanan dengan negeri tersebut. Tuntutan untuk kembali menganeksasi Sinai demi menopang keamanan Israel di front Barat, sebagaimana dahulu sering mengemuka, kecil sekali terdengar bahkan dari kalangan kelompok agama berhaluan Hawkist, seperti Yizrael Beituna ataupun Mifdel.

Mengapa Israel tampak begitu ”mengalah” dengan Mesir hingga saat ini dan seolah-olah tak terpancing dengan berbagai provokasi yang menyudutkannya? Jawabannya sederhana: Mesir adalah negara amat penting bagi keamanan, ekonomi, dan pergaulan Israel di kawasan.

Jangkar Keamanan

Mesir adalah negara terbesar, terkuat, dan paling berpengaruh di antara negara-negara yang berbatasan langsung dengan Israel. Berada di dataran rendah dan wilayahnya yang terlalu sempit dan dikepung negara-negara yang bermusuhan, Israel adalah negara yang sangat rentan dari sisi keamanan dan pertahanan.

Permusuhan dengan Mesir berarti ancaman yang demikian besar bagi pertahanan dan keamanan negeri itu, bahkan eksistensinya di kawasan. Sebaliknya, kerja sama keamanan dengan Mesir amat berguna bagi kepentingan keamanan dan pertahanan Israel, setidaknya untuk beberapa hal berikut.

Pertama, Israel menghadapi beberapa kelompok perlawanan yang berbasis di Gaza, seperti Hamas, Jihad Islamiy, dan kelompok kecil lain, baik faksi dari kedua gerakan tersebut maupun yang lain. Sejauh ini Israel mampu menahan serangan berbagai negara Arab, tetapi sering kali kewalahan menghadapi gerakan- gerakan perlawanan yang bergerak dengan pola yang tidak mudah dibaca itu.

Jalan yang ditempuh Israel menghadapi kelompok-kelompok itu kemudian adalah mengisolasi Gaza kendati itu merupakan kekejian kolektif dan membawa dampak krisis kemanusiaan yang luar biasa. Tanpa dukungan Mesir, strategi isolasi ini mustahil berhasil secara efektif.

Sikap sedikit longgar Mesir terhadap kelompok-kelompok pejuang Palestina dan kelompok-kelompok teroris yang bergerak di sepanjang perbatasan Mesir- Israel dan Mesir-Gaza sudah merupakan ancaman serius bagi Israel. Negara tersebut kerap menyampaikan desakan, termasuk dalam kasus terakhir di perbatasan, agar Mesir mengetatkan kontrolnya di Sinai dan sekitarnya. Hal terakhir ini sebenarnya berpotensi paradoks bagi Israel sebab bisa dijadikan alasan Mesir untuk menghadirkan kekuatan militernya di wilayah itu, sebuah klausul larangan dalam Perjanjian Camp David.

Kedua, pengaruh Mesir terhadap negara-negara Arab lain. Israel belum pernah menghadapi perang terbuka dengan negara- negara Arab setelah berhasil ”mengikat” Mesir dalam perjanjian damai tahun 1979. Kendati masih dalam status bermusuhan, Suriah dan Lebanon belum pernah melakukan ofensif terhadap Israel pascaperjanjian tersebut. Padahal, mereka adalah negara yang hampir selalu terlibat dalam beberapa kali perang Arab-Israel.

Sebaliknya, langkah Mesir untuk berdamai dengan Israel ternyata diikuti oleh Jordania (1994) dan Palestina (baca: Fatah) meskipun hingga kini belum mencapai kesepakatan final dan menyeluruh.

Bagi keamanan dan pertahanan Israel, memelihara perdamaian dengan Mesir adalah mutlak. Karena itu, negara tersebut akan berupaya keras mempertahankan status damai dengan Mesir meskipun perkembangan demi perkembangan menunjukkan bahwa negara tersebut semakin menjauh dari Israel.

Normalisasi

Kepentingan strategis Israel yang lain di kawasan adalah normalisasi hubungan dengan negara-negara di sekitarnya, terutama di bidang ekonomi. Israel adalah negara yang hingga kini masih terkucil dalam pergaulan kawasan. Memelihara perdamaian dengan Mesir diharapkan akan menjadi pintu masuk untuk membangun hubungan lebih normal dengan negara-negara Arab di sekitarnya.

Sejauh ini banyak negara Arab yang telah membuka hubungan dagang dengan Israel, tetapi secara umum masih sangat terbatas, masih malu-malu, dan kurang terbuka.
Mesir, khususnya, adalah pasar sangat potensial bagi ekspansi hasil-hasil industri dan jasa Israel yang jauh lebih maju. Jumlah populasi Mesir hingga 80 juta jiwa dengan wilayah sangat luas dan berdekatan dengan Israel tentu merupakan pasar menggiurkan. 

Karena itu, Israel mati-matian mempertahankan hubungan damai dengan Mesir sebab target negeri yang sejak kelahirannya ditolak oleh semua negara tetangga dan di sekitarnya tersebut adalah diterima secara normal dalam pergaulan di kawasan.
Lebih dari itu, mereka ingin menjadi kekuatan militer, politik, dan ekonomi yang tak tertandingi, bahkan menjadi pusat keilmuan dan kebudayaan di Timur Tengah Raya.

Ambisi itu tak mungkin terwujud jika Israel tak mampu memelihara hubungan baik dengan Mesir. Sekali lagi, hubungan baik dengan Mesir adalah kepentingan mutlak negeri itu saat ini terutama untuk menjadi jembatan bagi hubungan dengan negara-negara di kawasan. Bersitegang dengan Mesir, dengan alasan apa pun, berarti semakin menjauhkan Israel dari cita-cita tersebut dan menjerumuskan kembali negeri itu ke dalam ”bara”. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar