Ekonomi Hijau:
dari Egosentris ke Ekosentris
Al Andang L Binawan ; Pengajar
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
|
KOMPAS,
18 September 2012
Produk ramah lingkungan
menjadi pembicaraan serius dalam pertemuan tingkat menteri APEC di Vladivostok
yang baru saja berlalu (Kompas, 7/9).
Topik jelas terkait dengan
pertumbuhan hijau (green growth) dan
juga konsep ekonomi hijau (green economy).
Konsep ekonomi hijau inilah yang ramai didiskusikan lima tahun terakhir,
terutama sejak Program Lingkungan PBB
(UNEP) memunculkannya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun membahas hal ini
dalam pertemuan Rio+20 Juni lalu.
Munculnya konsep ekonomi
hijau tak lepas dari kegagapan dunia menghadapi dampak buruk sistem ekonomi:
kerusakan lingkungan, pemanasan global, dan ketidakadilan sosial. Semakin
disadari bahwa konsep ekonomi zaman ini adalah ekonomi yang serakah. Inilah
konsep ekonomi egosentris.
Konsep ekonomi memang akan
selalu dalam tegangan dua wajah. Wajah yang satu egosentris, sedangkan yang
lain ekosentris. Kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial menjadi bukti
bahwa manusia gagal mencari titik tengah. Dalam konteks ini, apakah konsep
ekonomi hijau sudah ada di titik tengah?
Dua Wajah Ekonomi
Seperti telah disebut, wajah
pertama adalah wajah egosentris. Di sini ekonomi hanya dipahami sebagai
transaksi dalam skema untung-rugi. Ekonomi ini bertolak dari kenyataan bahwa
manusia itu egosentris.
Homo
economicus yang
mendasari dinamika ekonomi adalah manusia yang cenderung berpusat pada dirinya.
Tanpa sifat dasar ini, manusia tidak akan terdorong mencari untung. Dinamika
ekonomi tidak akan terjadi. Dengan itu dapat dikatakan bahwa secara naluriah ekonomi
memang bersifat egosentris.
Wajah kedua ekonomi adalah
wajah ekosentris, yang notabene lama terbenam. Ini wajah klasik karena bertolak
dari tradisi lama bahwa ekonomi pada dasarnya adalah aplikasi dari ekologi.
Etimologinya menyiratkan hal itu. Ekonomi (Yunani: oikos berarti rumah dan nomos
berarti aturan, hukum) adalah pengaturan rumah (tangga), yang tidak bisa
dilepaskan dari ekologi (pengetahuan—logos
atas oikos).
Wajah ekosentris ekonomi
jelas tampak dalam pemahaman bahwa yang termasuk dalam rumah-tangga dunia bukan
hanya manusia, melainkan seisi dunia, termasuk tanah, air, dan udara. Ekonomi
adalah penataan dan pengelolaan oleh manusia agar ekosistem di bumi tetap
terjaga (John B Cobb Jr 1992, Andrew
Dobson 1998).
Ekonomi Hijau
Konsep ekonomi hijau yang
digelindingkan UNEP dipahami sebagai upaya ekonomi yang menjamin hidup manusia
dan keadilan sosial sekaligus meminimalkan dampak buruk ekologis serta
kelangkaan sumber daya alam. Target yang mau disasar adalah sistem ekonomi
dengan emisi karbon rendah, efisiensi sumber daya alam, dan terjaminnya
kehidupan sosial.
Ekonomi hijau diharapkan
bisa menjembatani dua wajah tadi. Dengan demikian, ke depan, dampak buruk
sistem ekonomi yang ada sekarang tidak lagi terjadi atau setidaknya minimal.
Konsep ini memunculkan lagi wajah ekonomi yang ekosentris.
Sejauh mana ekosentris?
Inilah pertanyaan besarnya. Juliet Schor (dalam bukunya Plenitude: The New Economics of True Wealth. 2010) secara tidak
langsung menjawab pertanyaan ini. Ia menyebutkan, ekonomi hijau masih dalam
kategori business as usual (BAU),
tidak ada perubahan.
Pertama, ekonomi hijau masih
mengejar keuntungan dalam ukuran klasik, yaitu lebih bersifat finansial. Kedua,
ekonomi hijau masih dilihat dalam sistem ekonomi makro. Karena itu, dapatlah
dikatakan bahwa ekonomi hijau belum jauh beranjak dari egosentrisme.
Ekosentrisme masih sebatas cakrawala, belum menjadi fokus dan prioritas.
Schor, yang menulis dalam
(dan sebenarnya juga ”untuk”) konteks masyarakat Amerika Serikat memberi usulan
yang lebih radikal dan aplikatif. Usulannya didasarkan pada dua pengandaian
dasar.
Pertama, dinamika ekonomi
yang ekologis harus melibatkan setiap pribadi. Gaya dan pola hidup pribadi juga
perlu diubah. Dengan dasar ini, ia mengusulkan dua prinsip penting, yaitu merevisi
alokasi waktu dan lebih menghargai karya sendiri.
Perbesar Waktu Luang
Menurut Schor, perlu
mengurangi jam kerja dan menambah waktu luang setiap orang agar punya waktu
juga untuk membenahi alam dan kohesi sosial. Dengan kedua prinsip ini,
ketergantungan orang pada dinamika pasar akan berkurang sehingga pola produksi
dan konsumsi juga berubah.
Kedua, kekayaan hidup yang
dikejar oleh ekonomi bukan hanya harta materi dan perbaikan finansial,
melainkan juga waktu luang, lingkungan yang baik, dan relasi sosial yang juga
baik. Itulah ”true wealth” yang
dimaksudnya.
Pengandaian ini mendasari
dua prinsip berikutnya, yaitu menumbuhkan sikap materialisme yang ”utuh” serta
memperbaiki dan memperluas makna investasi. Materialisme utuh berarti secara
penuh menghargai semua materi yang ada. Investasi juga memasukkan pentingnya
modal sosial. Hal ini lama terlupakan dalam pendekatan ekonomis, padahal
memegang peran penting dalam dinamika sosial.
Gagasan Schor di atas memang
tidak langsung mengkritik konsep ekonomi hijau, tetapi cukup jelas bahwa lebih
radikal. Dari kacamata ekologis, kepedulian dan prinsip-prinsip yang diusulkan
memang tampak lebih ekosentris. Dengan kegiatan ekonomis baru itu, manusia
diajak menjadi dirinya dalam relasinya dengan yang lain secara lebih utuh. Pun,
gagasan Schor menjadi tampak lebih radikal karena ia mencoba merumuskan langkah
baru dengan pendekatan dan pengandaian baru.
Meski lahir dari konteks
Amerika, gagasannya tetap layak dipertimbangkan untuk Indonesia, khususnya
masyarakat perkotaan. Gagasannya bisa mendorong agar ekonomi hijau tidak hanya
dijadikan cita-cita dan slogan, tetapi bisa diterapkan. Hanya dengan langkah
nyata dan terobosan-terobosan baru ekonomi hijau bisa makin ekosentris dan
sungguh menyejahterakan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar