Kamis, 13 September 2012

Demokrasi Komikal Kita


Demokrasi Komikal Kita
M Alfan Alfian ;  Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta 
SINDO, 13 September 2012


Sebuah peradaban demokrasi akan menyelamatkan dirinya sendiri hanya jika ia membuat bahasa gambar menjadi stimulus bagi refleksi kritis–bukan undangan untuk hipnosis.” (Umberto Eco)

Ketika membaca kabar komikus RA Kosasih yang wafat pada usia 93 tahun bulan Juli lalu, kemudian menemukan ujaran Umberto Eco di atas, saya terpicu menulis artikel ini. Kosasih melalui komik-komiknya telah meninggali kita bahasa gambar. Mungkin Anda akan segera sepakat dengan saya ketika membaca komik-komik Kosasih, kita tidak akan terhipnosis oleh gambar-gambar itu, melainkan segera keluar dari benak kita refleksi-refleksi kritis.

Misalnya, ketika komik Mahabharata atau Ramayana karya Kosasih kita baca ulang, tokoh-tokohnya segera menyembul keluar dari panel yang membatasinya dan hadir dalam kehidupan politik aktual kita. Tak berlebihan kiranya manakala komik-komik Kosasih itu,meminjam ujaran novelis Umberto Eco di atas, memicu penyelamatan peradaban demokrasi.

Dari komik-komiknya sesungguhnya kita belajar ketokohan, sifat kepahlawanan versus kejahatan, kepantasan versus keserakahan. Dan sadar tidak kita bahwa ikonografi tokoh-tokoh yang menyembul dalam komik-komik itu gambaran dari wajah kepolitikan kita? Refleksi kritis mengemuka, misalnya ketika kita bertanya siapa yang cocok jadi Sangkuni masa kini? Ketika Gus Dur tempo dulu mengingatkan kita pada tokoh Semar, maka apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tepat apabila diidentikkan denganYudhistira?

Komik Indonesia 

Komik adalah jenis media untuk menyampaikan pesan. Memang tidak semua komik Anda klaim bermanfaat,tetapi pembaca yang kritis akan berupaya menangkap hikmahnya. Setidaknya sejak dekade 1950-an, komikus-komikus Indonesia berupaya menampilkan karakter-karakter tokoh universal yang Indonesiawi. Misalnya, Sri Asih merupakan upaya keras Kosasih menghadirkan tokoh kita sendiri walaupun terinspirasi komik Barat.

Penciptaan cita rasa Indonesia penting tidak saja karena nasionalisme, tetapi juga agar kita tidak lupa wajah sendiri. Sebagaimana dicatat peneliti komik Indonesia Marcel Bonef, alur cerita komik-komik kita sejak 1950-an itu khas.Satu sisi ada pihak yang dizalimi tokoh-tokoh jahat. Ada yang menjadi korban kejahatan.Kemudian, hadir tokoh yang tampil membela yang lemah.

Tokoh ini tidak sombong, penampilannya khas tapi sederhana, dan yang terpenting sakti mandraguna. Ada beberapa tokoh rekaan seperti si Buta dari Gua Hantu dan Panji Tengkorak, ada juga tokoh yang diambil dari legenda yang pernah ada seperti si Pitung atau Jampang dari Betawi.

Dari tokoh-tokoh itu, hadir suatu persepsi umum bahwa kita butuh pemimpin yang bisa menyelamatkan kita dari tekanan atau kejahatan keadaan. Kita butuh tokoh yang tulus tanpa pamrih, pahlawan pembela kebenaran yang tidak pernah membebani rakyat, melainkan membebaskan rakyat dari tekanan hidup. Karakterkarakter tokoh komik wayang yang digambarkan Kosasih lebih kompleks lagi, tetapi prinsipnya sama.

Kita akan segera bisa tersambung dengan tokoh yang pantas dan otentik sebagai kesatria sejati serta mana yang serakah alias antagonis. Tidak semua tokoh protagonis itu lurus-lurus saja kehebatannya, melainkan penuh dengan ujian dan cobaan.Artinya, tidak ada tokoh yang muncul seketika, mendadak sakti tanpa sebab yang jelas.

Bahkan Gatotkaca pun perlu digembleng di kawah Candradimuka. Pandawa Lima pun pernah kalah main judi dan sebagai akibatnya mereka terusir dan terlunta-lunta.Para tokoh protagonis selalu sadar akan harga diri dan punya standar etika yang konsisten ditaati. Meskipun tertimpa berbagai ujian dan cobaan, tokoh yang baik secara ikonografis digambarkan sebagai yang lemah lembut secara etika.

Sebaliknya, yang jahat berangasan, anarkistis, dan dipenuhi dengan nafsu kekuasaan yang tinggi untuk merebut dan mempertahankannya dengan segala cara.Misalnya Arjuna yang kesatria lemah lembut itu akan sangat kontras manakala disandingkan dengan Raksasa Cakil atau Buta Terong. Yang tak kalah menarik lagi, baik di sisi baik maupun jahat, terdapat komunitas punakawan yang tugasnya mengingatkan agar yang baik tidak terjerumus jahat, yang jahat bisa menjadi baik. Hanya, komunitas yang terakhir itu biasanya marginal.

Demokrasi Komikal 

Praktik demokrasi politik kita sesungguhnya hampir mirip dengan kisah-kisah tokoh-tokoh komik. Artinya, komik memberi peluang reflektif. Dalam tradisi demokrasi elektoral satu orang satu suara, citra atau kekuatan tokoh itu penting, maka dalam menimbang pemimpin, ukuran umumnya kewajaran dan kepantasan. Karena syarat untuk menjadi tokoh protagonis pertama- tama harus wajar dan pantas.

Di komik juga demikian. Tokoh utama ialah yang memang pantas dan otentik. Wayang sering terlampau ekstrem menggambarkannya secara fisikal. Misalnya, yang protagonis berdada bidang, yang jahat bergigi taring.Tapi, bukan berarti substansi terhilangkan. Karena logikanya, simbol itu muara dari etika dan isi.Yang permukaan perwujudan dari kedalaman. Semua sudah melalui proses panjang kreativitas para pujangga.

Tapi masih bisa terjadi pembalikan simbolik atau anomali, bahwa tidak semua raksasa itu jahat. Tidak semua kesatria berkumpul di kubu politik Pandawa yang berhak atas kekuasaan. Ada banyak kesatria pula di kubu Kurawa. Kadang-kadang banyak absurditas yang kita temui dalam kisah-kisah kepolitikan kita seperti juga dalam komik-komik. Tapi, era kejayaan komik- komik Kosasih dan generasi sesudahnya tampaknya sudah sangat berlalu.

Bahasa gambar yang mendominasi kebudayaan populer kita sekarang ialah sinetron-sinetron alias opera-opera sabun yang lebih komikal dan berpanjangpanjang. Absurditas-absurditas dalam opera sabun kemudian diringkas dalam rumus yang oleh sementara kalangan manjur diterapkan dalam alam demokrasi elektoral, yakni semakin terkesan terzalimi semakin populer dan elektabel.

Bahasa gambar akhirnya sekadar mentok pada sihir-sihir hipnosis tanpa membuka peluang yang lapang bagi publik untuk berpikir kritis. Bahasa gambar itu mempertontonkan adegan-adegan absurd yang menyingkirkan kualifikasi dan proses. Rumah yang mentereng, mobil yang bagus-bagus, konflik kaum elite yang tak menjangkau urusan nyata masyarakat, jalan pintas pemecahan masalah, tampilan-tampilan hedonis dan boros, kata-kata yang menggampangkan dan penuh dendam merupakan catatan-catatan kecil kita ketika menonton opera-opera sabun yang berbuih-buih itu.

Demokrasi komikal kita penuh cerita, tetapi sayangnya segera berujung pada hipnosis, bukan kekritisan justru karena ia diasingkan. Bagaimana mungkin kita bisa menikmati opera sabun dengan kritis manakala ia sengaja tidak memberikan tempat pada kritisisme? Di alam nyata, demokrasi komikal kita banyak yang mengejawantah dalam ekspresi-ekspresi menyanjung para patron masing-masing alias asal bapak senang (ABS).

Atau wujud-wujud turunan yang sekadar menyenangkan mitra kerja calon pejabat, apakah capres, calon kepala daerah ataukah caleg, melalui laporan- laporan riset yang menghipnosis. Kalau semua saling menghipnosis dengan menyingkirkan stimulus-stimulus bagi hadirnya refleksi-refleksi kritis, maka barangkali benar kata Umberto Eco di atas, peradaban demokrasi kita akan kolaps.

Yang menyelamatkan peradaban demokrasi kita kalau begitu rasionalitas sebagai dasar dari hadirnya sikapsikap kritis. Selama bahasa-bahasa gambar itu tidak menjadi reflektor, melainkan menghipnosis, demokrasi hanya akan menjadi embel-embel bagi hadirnya tokoh yang tidak otentik, tokoh seolah-olah.  Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar