Jumat, 21 September 2012

Boikot Pajak Versi NU


Boikot Pajak Versi NU
Chandra Budi ;  Bekerja di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Alumnus Pascasarjana IPB
KORAN TEMPO, 20 September 2012
Bandingkan dengan artikel Chandra Budi di Jawa Pos 18 September 2012


Lantas, apakah wacana boikot pajak saat ini sudah tepat? Kalau berkaca dari pendapat KH Masdar Farid Mas'udi di atas, selama pemerintah masih berkomitmen dan konsisten untuk tetap adil dan mensejahterakan rakyatnya, wacana boikot pajak justru menyebabkan pemerintah semakin terperosok dalam ketidakadilan.

Ketika Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj mengemukakan akan meninjau ulang kewajiban membayar pajak, semua pihak terkejut. Bahkan wacana tersebut berkembang menjadi desakan agar PBNU mengeluarkan rekomendasi atau fatwa agar masyarakat tidak membayar pajak, akibat maraknya korupsi atas uang pajak tersebut. Pun, pada pidato pembukaan Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar PBNU 15-17 September 2012 di Pesantren Kempek Cirebon, KH Said Aqil Siradj kembali menyebutkan, jika pajak dikorupsi, kewajiban membayar pajak akan ditinjau ulang. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tinjauan ulang atas kewajiban membayar pajak ini sangatlah mungkin karena pajak merupakan kewajiban kenegaraan, bukan kewajiban agama. Warga NU wajib membayar pajak karena taat kepada negara, bukan menjalankan kewajiban agama seperti halnya kewajiban zakat.

Menarik untuk membahas munculnya ajakan tidak membayar (boikot) pajak versi NU. Setidaknya ada beberapa hal yang melatarbelakanginya, mengutip pendapat salah satu Ketua NU, KH Masdar Farid Mas'udi, dalam bukunya Pajak Itu Zakat (Mizan, 2005), yang menyatakan bahwa esensi pajak itu sebenarnya adalah zakat yang dibayarkan ke negara dengan maksud untuk kesejahteraan rakyat. Tujuan pajak dan zakat pun sama, yaitu redistribusi kekayaan untuk kemaslahatan dan keadilan bagi semua. Karena makna pajak adalah zakat, hak pemajakan merupakan mandat dari Allah, yang dananya merupakan milik Allah. Sebagai milik Allah, pajak yang dihimpun oleh pemerintah haruslah dipergunakan untuk kepentingan yang diizinkan oleh Allah, yakni kemakmuran segenap rakyat terutama bagi yang tidak mampu. 

Nah, wacana boikot pajak bermuara dari kekhawatiran bahwa pemerintah tidak mempedulikan aspirasi keadilan dan kesejahteraan rakyatnya. Tentunya, secara formal, pemerintah telah memiliki komitmen untuk tetap mensejahterakan rakyatnya melalui alokasi belanja negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang masih dititikberatkan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat miskin. Namun, dalam prakteknya, harus diakui masih ada penyelewengan oleh oknum pejabat negara yang berkolusi dengan oknum masyarakat yang memanfaatkan uang pajak untuk kepentingan pribadi. 

Lantas, apakah wacana boikot pajak saat ini sudah tepat? Kalau berkaca dari pendapat KH Masdar Farid Mas'udi di atas, selama pemerintah masih berkomitmen dan konsisten untuk tetap adil dan mensejahterakan rakyatnya, wacana boikot pajak justru menyebabkan pemerintah semakin terperosok dalam ketidakadilan. Yah, bagaimana dapat menjalankan program pro-rakyat kalau uang pajak untuk membiayainya tidak tersedia. Akibatnya, rakyat menjadi semakin miskin, keadilan sulit ditegakkan, dan redistribusi pendapatan tidak berjalan. Negara akan gagal menjalankan fungsinya dan terancam bubar. Karena itu, yang diperlukan adalah pengawasan bersama oleh semua pihak terkait agar pemerintah dapat menjalankan fungsinya secara akuntabel, transparan, dan bersih. 

Komitmen
Setidaknya ada dua aksi nyata pemerintah untuk mewujudkan komitmen terhadap rasa keadilan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Pertama, menempatkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pun, dalam isi UUD 1945 diatur jelas kewajiban warga negara menaati hukum pajak dan hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, negara Indonesia adalah negara hukum. Karena itu, setiap warga negara Indonesia wajib menaati hukum yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Kewajiban membayar pajak diatur dalam Pasal 23A UUD 1945, yaitu pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Dengan demikian, dapat dikatakan, kewajiban membayar pajak bagi warga negara Indonesia merupakan wujud ketaatan terhadap hukum yang berlaku.

Secara filosofis, kewajiban membayar pajak juga merupakan bentuk partisipasi warga negara kepada negaranya. Partisipasi ini bahkan setara dengan hak dan kewajiban warga negara yang lain, yaitu ikut serta dalam upaya pembelaan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, apabila setiap warga negara mematuhi kewajibannya untuk membayar pajak, hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 dapat tercukupi.

Aksi nyata pemerintah kedua adalah menempatkan anggaran belanja yang berpihak kepada peningkatan kesejahteraan rakyat miskin (pro-poor), penciptaan lapangan kerja (pro-job), peningkatan pertumbuhan ekonomi (pro-growth), dan ramah lingkungan (pro-environment). Direncanakan, pada 2013, penerimaan pajak akan menembus angka Rp 1.031 triliun, di mana lebih dari 80 persennya dibelanjakan untuk mewujudkan rasa keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk pendidikan 20 persen dari keseluruhan rencana anggaran belanja tahun 2013 sebesar Rp 1.657,9 triliun. Pemerintah menyadari pendidikan merupakan kunci bagi rakyat miskin untuk keluar dari jerat kemiskinan. Sikap pro-rakyat semakin ditunjukkan dengan mengalokasikan 19,1 persen dari total anggaran belanja untuk keperluan subsidi. Mekanisme subsidi masih diyakini dinikmati sebagian besar oleh rakyat kecil, utamanya subsidi bahan bakar minyak dan listrik. Alokasi belanja yang cukup besar lainnya adalah untuk program penanggulangan kemiskinan, yaitu sebesar 6,4 persen dari total anggaran belanja. Program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan meliputi bantuan dan perlindungan sosial, pemberdayaan masyarakat, pengembangan usaha kecil dan mikro, serta program pro-rakyat melalui penyediaan sarana dan prasarana murah.

Apabila pemerintah telah nyata-nyata menjadi zalim, pembangkangan sosial dalam bentuk boikot pajak tentunya didukung oleh seluruh rakyat. Namun, selama ini, pemerintah telah menunjukkan komitmen nyata untuk mensejahterakan rakyat. Jadi, buat apa boikot pajak? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar