Sabtu, 05 November 2011

Vonis Bebas dan Lepas


Vonis Bebas dan Lepas
Ahmad Yani, WAKIL KETUA FRAKSI PPP DPR
Sumber : SINDO, 05 November 2011



Pro-kontra putusan bebas atau lepas bagi para terdakwa kasus-kasus korupsi, suap-menyuap,gratifikasi, dan sebagainya semakin kencang setelah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Samarinda menjatuhkan putusan lepas bagi 14 terdakwa kasus penerimaan dana tunjangan operasional DPRD Kutai Kartanegara. 

Menurut hakim, para terdakwa yang diadili secara terpisah terbukti menerima dana, namun perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, sehingga terdakwa dilepaskan dari tuntutan hukum. Sayangnya, sebagian pihak keliru dalam memahami putusan hakim tersebut.Mereka menyamakan vonis bagi Anggota DPRD Kutai Kartanegara Periode 2004-2009 itu dengan putusan yang diterima Wali Kota Bekasi Mochtar Mohamad atau Gubernur Bengkulu Agusrin Nadjamuddin.

Vonis yang diterima Mochtar atau Agusrin adalah putusan bebas,yang berarti hakim menilai bukti-bukti yang diajukan jaksa tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa secara sah dan meyakinkan. Adapun putusan lepas bermakna hakim memutuskan terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, tetapi perbuatan tersebut tidak dapat digolongkan tindak pidana.

Dalam beberapa kasus lain, terdakwa boleh jadi dilepaskan dari tuntutan hukum karena hakim menilainya sakit permanen, sakit jiwa,atau dipaksa melakukan perbuatan tersebut. Salah satu contohnya sangat fenomenal, yakni kasus mantan Presiden Soeharto. Dasar hukum hakim memutuskan bebas atau lepas terhadap terdakwa juga jelas,yakni Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1991).

Pasal 191 ayat (1) berbunyi: “jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan padanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Selanjutnya, ayat (2) “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.

Perbedaan putusan bebas atau lepas terlihat dari upaya hukum yang bisa dilakukan terdakwa atau penuntut umum terhadap putusan hakim tersebut. Terhadap putusan bebas, UU KUHAP bersikap sangat jelas dan tegas bahwa itu terlarang. Pasal 67 berbunyi: “terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat”.

Selanjutnya, Pasal 244 berbunyi: “terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Dari kedua ayat tersebut dapat dipahami bahwa baik proses banding maupun kasasi tidak dapat dilakukan terdakwa atau penuntut umum terhadap putusan bebas.

Ketentuan ini berlaku umum, baik dalam lingkup pengadilan negeri maupun pengadilan tipikor, dan mencakup semua kasus, apakah itu korupsi, terorisme, pencemaran nama baik, dan sebagainya. Ketentuan ini juga berlaku bagi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang terlihat berniat melakukan kasasiterhadap putusanbebas Mochtar,dan mungkin pada putusan bebas lainnya.

Masalahnya, tidak ada aturan khusus (lex specialis) dalam undangundang yang ditetapkan lebih mutakhir dibanding UU KUHAP yang mengubah ketentuan ketidakbolehan banding dan kasasi terhadap putusan bebas, baik dalam UU No 20/2001 yang mengubah UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Satu-satunya pengecualian daripada ketentuan KUHAP tersebut adalah jika kasasi diajukan Jaksa Agung demi kepentingan hukum. Sesuai Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI Pasal 35 huruf d bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang (salah satunya) adalah“ mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara”.

Sayangnya, dulu terbit yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) No K/275/Pid/ 1983 yang membolehkan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas.Yurisprudensi MA ini seolah-olah menggantikan atau menghapus kan ketentuan dalam UU KUHAP.Dengan kata lain,yurisprudensi MA ini bertindak atau diberlakukan seperti undang-undang.Padahal, yurisprudensi MA tidak dikenal sebagai suatu peraturan perundang-undangan. Pertanyaannya,adakah satu ayat dalam Undang-Undang Dasar, yang hierarkinya lebih tinggi dari undang-undang, yang dapat menjadi dasar hukum diperbolehkannya kasasi terhadap putusan bebas?

Apakah yurisprudensi MA lebih tinggi kedudukannya daripada undang-undang? Ataukah MA sudah menjadi pembuat undang-undang baru, selain DPR dan pemerintah yang berarti mendelusi Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21,dan Pasal 22A Undang- Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 sebagai salah satu pilar negara dan bangsa Indonesia? Diakui, ada persoalan ketidaktegasan UU KUHAP dalam menyikapi upaya hukum terhadap putusan lepas.

Jika Pasal 67 memungkinkan muncul tafsir bolehnya melakukan banding terhadap putusan lepas, mengapa Pasal 244 menutup pintu kasasi terhadap putusan lepas sama sekali? Kiranya, persoalan ini perlu diagendakan pemerintah dan DPR saat membahas RUU KUHAP. Akhirnya, spirit pemberantasan korupsi harus tetap dilandasi keadilan sebagai prinsip penegakan hukum.

Keadilan adalah hak asasi bagi setiap manusia, termasuk mereka yang menjadi tersangka, terdakwa, dan bahkan terpidana kasus-kasus korupsi, suap-menyuap, gratifikasi,dan sebagainya. Termasuk keadilan untuk melakukan penindakan terhadap kasus-kasus megakorupsi triliunan rupiah yang berdampak sistemik terhadap keuangan negara dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar