Transisi dan Koordinasi Jasa Keuangan
Firmanzah, DEKAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 18 November 2011
Pengesahan
Undang- Undang Otoritas Jasa Keuangan, 27 Oktober 2011, menandai babak baru
industri jasa keuangan di Indonesia.
Kehadiran
lembaga baru ini diharapkan secara komprehensif akan mengatur dan mengawasi
jasa keuangan di sektor pasar modal, perbankan, asuransi, dana pensiun, lembaga
pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lain.
Semakin
kompleksnya industri jasa keuangan memang meningkatkan risiko sehingga menuntut
pengawasan lebih. Pengaturan dan pengawasan sejumlah sektor jasa keuangan juga
diharapkan menjadi sinergi kebijakan dan produk untuk menurunkan biaya
transaksi.
Dengan demikian, dapat dibangun arsitektur jasa keuangan yang lebih
kuat dan terintegrasi.
Maka,
peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi taruhan agar kondisi jasa keuangan
Indonesia lebih berdaya saing. Banyak pelajaran berharga bisa dipetik, dari
krisis ekonomi 1997-1998 hingga sejumlah fraud oleh perusahaan jasa keuangan
besar di AS. Pengalaman kegagalan single-supervisory seperti FSA di Inggris dan
Irish Financial Regulator menunjukkan, efektivitas organisasi mutlak perlu
untuk menghindari kegagalan manajemen.
Sementara sejumlah negara seperti
Denmark, Jerman, Singapura, Belgia, dan Korsel mencontohkan persiapan dan
pengelolaan single-supervisory.
Tekanan
Transisi
Transisi
tugas dan peran Direktorat Pengawasan Bank Indonesia serta Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) membuat OJK berada dalam dua tekanan.
Pertama,
kesiapan internal penggabungan regulator jasa keuangan sebagai faktor penentu
kelancaran penggabungan. Dari sisi kepegawaian, diperkirakan OJK perlu
2.000-2.500 pegawai. Penggabungan juga membutuhkan harmonisasi semua sistem
teknologi, basis data, logistik, sampai pengambilan keputusan.
Kedua,
proses transisi tak terjadi dalam ruang hampa. Industri jasa keuangan Indonesia
terus berjalan dan terintegrasi dengan sentimen regional ataupun global. Karena
migrasi pengaturan dan pengawasan jasa keuangan ini terjadi di tengah krisis
Eropa dan proses pemulihan ekonomi AS, perlu kejelasan pembagian wewenang, baik
oleh BI maupun Bapepam-LK. Jangan sampai terjadi kondisi ”stuck in the middle”
di mana aturan lama sudah tak berlaku, tetapi aturan baru tak siap, yang bisa
membuat industri jasa keuangan chaos.
Besarnya
total dana investasi juga perlu diatur karena mismanagement tak hanya berdampak
pada industri keuangan, tetapi juga sektor riil. Semua pihak, baik BI,
pemerintah, maupun DPR, perlu mengawasi proses ini.
Harmonisasi
Kebijakan
Membangun
industri jasa keuangan Indonesia yang kuat memerlukan totalitas sektor sebagai
kesatuan industri. Misalnya, pengaturan perbankan yang bisa berdampak langsung
dan tidak langsung pada sektor pasar modal ataupun lembaga pembiayaan lain.
Karena OJK hadir di tengah-tengah regulasi dan ketentuan industri yang telah
tertanam, tak mengherankan jika harmonisasi kebijakan sektoral perlu mendapat
perhatian serius.
Fungsi
koordinasi dan harmonisasi kebijakan tidak cukup hanya mengandalkan fungsi
representasi dari BI ataupun Kementerian Keuangan. Strategisnya fungsi
koordinasi dan harmonisasi kebijakan juga tidak cukup dijalankan oleh tim atau
satuan tugas yang bersifat ad hoc.
Tantangan
masa transisi tidak hanya mengisi anggota dewan komisioner, tetapi jauh lebih
penting adalah menentukan desain, struktur, dan proses organisasi OJK yang
efisien dan efektif.
Untuk
memudahkan komunikasi dan koordinasi antarlembaga, OJK-BI-pemerintah
membutuhkan arsitektur data dan informasi sebagai decision-support-system.
Apalagi,
kondisi ketidakpastian global, regional, dan domestik membutuhkan kecepatan
respons yang ditopang akurasi data dan informasi.
Oleh
karena itu, kehadiran OJK dituntut agar mampu menyeimbangkan kepentingan
makro-mikro sekaligus melindungi konsumen dari penipuan produk ataupun jasa
keuangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar