Sabtu, 05 November 2011

Sosok Mutakhir Manusia Indonesia


Sosok Mutakhir Manusia Indonesia
Limas Sutanto, KONSULTAN PSIKOTERAPI DI MALANG
Sumber : KOMPAS, 05 November 2011



Jakarta makin menakutkan. Itulah kepala berita utama harian Kompas edisi 31 Oktober 2011.
Litbang Kompas menyodorkan data: dalam kurun Januari- September 2011 di wilayah Polda Metro Jaya terjadi 53 pembunuhan, 1.455 penganiayaan berat, 663 pencurian dengan kekerasan, 5.211 pencurian dengan pemberatan. Harian ini juga mencatat betapa kejahatan di Ibu Kota makin meningkat, baik kualitas maupun kuantitas, dan terjadi merata di semua wilayahnya.

Potret itu barangkali mewakili tiga bagian penting dari sosok mutakhir manusia Indonesia. Pertama, kemiskinan, yang memaksa warga menghalalkan cara apa pun demi sesuap nasi. Kedua, realisasi penegakan hukum yang amburadul, terutama ditandai dengan dijadikannya dunia penegakan hukum sebagai ladang mencari keuntungan finansial dan material. Ketiga, elite yang narsisistik dan egosentris. Mereka hanya ingat pada kebutuhan dan nafsu diri sendiri, terus menumpuk keuntungan dan kekayaan untuk diri sendiri, kehilangan rasa solidaritas sesama warga bangsa, dan sibuk mempertahankan kedudukan dengan menghalalkan segala cara.

Realisasi ketiga ciri sosok mutakhir manusia Indonesia itu menyirnakan kebajikan-kebajikan terpenting, yang niscaya ada dan hidup dalam pribadi manusia untuk suatu kehidupan biopsikososial yang sehat dan baik.

”Jalan mengerti”

Kebajikan pertama yang hilang adalah ”jalan mengerti” (the way of understanding) di tengah hidup pribadi, hidup interpersonal, dan hidup bersama lingkungan. Dengan menempuh jalan mengerti di tengah kehidupan, manusia mengejawantahkan sikap dan perbuatan bijak. Bijak dan jahat adalah dua titik yang berseberangan diametral. Semakin tinggi dan kuat sikap dan perbuatan bijak (kebijaksanaan), semakin rendah dan lemah sikap dan perbuatan jahat (kejahatan).

Jalan mengerti dipraktikkan manusia dengan mewujudkan tiga perbuatan berturut-turut. Pertama, berbuat, menjalankan tugas, dan menjalani hidup tanpa mencari-cari kesalahan pihak lain dan tanpa upaya membenar- benarkan diri sendiri. Kedua, berupaya mengungkap latar dan makna perbuatan orang lain atau peristiwa yang dialami. Ketiga, berbuat nyata berlandaskan pengertian tentang latar belakang dan makna yang terungkap.

Elite kaya Indonesia yang menempuh jalan mengerti tak akan sekadar membenar-benarkan diri sendiri di hadapan orang miskin yang melakukan kejahatan. Ia akan menghadapi realitas kejahatan yang dilakukan orang miskin dengan berupaya mengungkap latar belakang dan makna dari perbuatan kejahatan itu. Misalnya, latar belakangnya adalah telah hilangnya kemungkinan- kemungkinan yang baik untuk mendapatkan sesuap nasi, dan maknanya adalah jalan akhir, termudah, dan satu-satunya untuk mendapatkan sesuap nasi.

Berdasarkan pengertian ini, elite kaya Indonesia yang menempuh jalan mengerti itu akan berbuat nyata memberikan kemungkinan yang lebih baik bagi orang miskin untuk mendapatkan sesuap nasi. Misalnya, dengan uang berlimpah yang dimilikinya, elite menciptakan lapangan kerja bagi orang-orang miskin, yang tidak memberikan keuntungan material dan finansial bagi dirinya sendiri, tetapi memberikan penghasilan yang lebih baik bagi orang miskin.

Menerima realitas

Kebajikan kedua yang hilang adalah kebajikan menerima realitas (accepting). Orang miskin adalah realitas di tengah kehidupan bangsa Indonesia.

Selama ini apakah realitas orang miskin diterima oleh elite Indonesia atau serta-merta ditolak? Perbuatan menerima realitas ini jadi makin bajik karena perwujudan perbuatan tersebut diresapi emosi yang baik dan konstruktif (terutama berempati dan berbelas kasihan).

Sikap ini sungguh berbeda dengan perbuatan dan sikap lawannya, yaitu perbuatan dan sikap menolak, yang biasanya diresapi emosi yang buruk dan destruktif (terutama jijik, risi, dan marah). Sikap menolak orang miskin—yang diresapi emosi jijik, risi, dan marah—akan memojokkan orang miskin, membuat mereka nyeri. Semua itu makin menjadikan orang miskin tidak memiliki kemungkinan-kemungkinan yang baik untuk mendapatkan sesuap nasi. Jadilah mereka sebagai pelaku kejahatan.

Melepaskan

Kebajikan ketiga yang hilang adalah kebajikan melepaskan atau membiarkan dan merelakan apa yang dimiliki lepas dari diri sendiri (letting go). Jika elite yang kaya-raya memiliki kebajikan ini, ia akan melepaskan dengan rela sebagian dari kekayaannya untuk penyejahteraan orang miskin.

Melepaskan sebagian kekayaan tak berarti membagikan uang bagi orang miskin. Justru yang lebih penting adalah melepaskan sebagian kekayaan untuk membiayai berbagai kegiatan nirlaba yang dapat menghilangkan kemiskinan. Misalnya kegiatan mendidik dan melatih orang miskin untuk mengembangkan bakat masing-masing dan untuk memiliki keterampilan yang dapat menopang hidup mereka.

Sosok mutakhir manusia Indonesia yang tercoreng oleh kemiskinan dan kejahatan meniscayakan elite Indonesia menggugah diri untuk memiliki dan mengejawantahkan tiga kebajikan utama—jalan mengerti, menerima, dan melepaskan—demi perbaikan kehidupan. Jika tidak, bangsa ini seperti tidak kunjung mendapatkan jalan keluar dari masalah mendasar kemiskinan dan kejahatan. Dan, sosok mutakhir manusia Indonesia pun makin memalukan.

1 komentar:

  1. Kalau tidak salah pada tahun 1970-an dulu Mochtar Lubis pernah menulis tentang Manusia Indonesia. Dalam tulisannya tersebut ia antara lain menggambarkan manusia Indonesia yang munafik dan bermental menerabas. Saya tidak tahu apakah pada tahun 1970-an dulu kemiskinan dan kejahatan bukan merupakan masalah. Yang saya tahu penggambaran sosok manusia Indonesia akan selalu mengundang kontroversi terutama karena selain ia sebenarnya merupakan sosok manusia yang beragam ia juga bisa dilihat secara subyektif dari berbagai perspektif.

    BalasHapus