Keluar dari “Geronto Politik”
AA GN Ari Dwipayana, DOSEN JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN, FISIPOL UGM
Sumber : KOMPAS, 03 November 2011
Sejarah selalu menyediakan ruang bagi orang-orang muda. Dalam sejarah, pemuda menjelma dari suatu batas umur menjadi mitos yang hidup (Goenawan Mohamad, 1994).
Bung Hatta mendirikan Perhimpunan Indonesia ketika belum berumur 30 tahun. Hitung saja umur Soekarno ketika menyampaikan pidato yang menggemparkan, ”Indonesia Menggugat”, dan menjadi Presiden RI pada usia 44 tahun. Muhammad Natsir jadi perdana menteri pada usia 42 tahun, bahkan Sjahrir dan Sjafruddin Prawiranegara pada usia di bawah 40 tahun. Bukan itu saja, pada 1951, empat serangkai: DN Aidit, Lukman, Njoto, dan Sudisman, menjadi pengendali utama Partai Komunis Indonesia dalam usia tidak lebih dari 30 tahun.
Namun, dalam perjalanan waktu, kita juga jadi saksi bahwa usia para pengendali partai makin lama kian merenta. Saat ini, Presiden SBY memegang posisi puncak di pemerintahan dalam usia 62 tahun. Tidak jauh berbeda, Megawati Soekarnoputri yang sampai saat ini masih mengendalikan PDI-P sudah 64 tahun. Demikian pula umur para pengendali politik di Partai Golkar ataupun rumpun partai medioker. Usia mereka 50-65 tahun: Aburizal Bakrie (65), Wiranto (64), Prabowo Subianto (60), Hatta Rajasa (58), Suryadharma Ali (55), dan Luthfi Hasan (50). Pengecualiannya, hanya ada pada dua partai: PKB dan Partai Demokrat; Muhaimin Iskandar (45) dan Anas Urbaningrum (42). Keduanya di bawah 50 tahun.
Lapis tengah
Kalau posisi puncak umumnya didominasi generasi tua, di lapisan tengah kepemimpinan partai justru dipenuhi generasi yang lebih muda. Boleh dikatakan lapis tengah partai ini makin hari semakin menggelembung karena harus menunggu giliran pergantian kepemimpinan politik.
Gelembung lapisan tengah bisa dilihat dari data perbandingan usia anggota DPR 2009-2014 (Kompas, 25/10/2011). Sebagian besar anggota DPR berusia di bawah 50 tahun. Anggota DPR yang berusia lebih dari 50 tahun hanya sekitar 11 persen. Secara kuantitas, angka ini jelas lebih kecil daripada anggota DPR yang berusia 41-51 tahun yang mencapai 38,98 persen, usia 31-40 tahun sebanyak 21,3 persen, dan di bawah 30 tahun sebesar 3,8 persen.
Lapis tengah akan semakin besar kalau kita juga menghitung aktivis partai yang bergiat di luar parlemen, seperti mengurus organisasi partai, mengisi kepengurusan sayap-sayap partai, atau bahkan sedang berpeluh melakukan kerja-kerja politik di akar rumput, Mereka bagian dari generasi sedang menunggu bergeraknya lokomotif regenerasi kepemimpinan partai.
Waktu tunggu akan makin lama ketika generasi tua masih memiliki kehendak kuat untuk tetap bertahan mengendalikan partai. Bahkan, dalam beberapa minggu terakhir, muncul sejumlah survei dan aspirasi yang menunjukkan masih bertahannya tokoh-tokoh politik tua dalam panggung politik nasional. Dalam beberapa survei terkini, figur politisi tua masih memiliki popularitas, bahkan elektabilitas yang cukup tinggi untuk bersaing dalam Pemilu Presiden 2014. Kemunculan beberapa nama lama seperti Aburizal Bakrie, Megawati Soekarnoputri, sampai Prabowo Subianto memperlihatkan tokoh-tokoh tua masih diminati masyarakat.
Masih bertahannya para pengendali partai di genggaman politisi tua sudah pasti berakibat serius karena hal itu berdampak pada bertambah lamanya waktu tunggu lapis menengah. Ketika benar-benar terjadi regenerasi di mana beberapa di antara lapis menengah ini sudah sampai ke puncak kepemimpinan politik dalam partai, usia mereka sudah renta, seperti halnya generasi sebelumnya. Dengan demikian, ”geronto politik”—usia lanjut alias penuaan di dunia politik—menjadi siklus yang tidak terhindarkan.
Melawan ”geronto politik”
Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah apakah ”geronto politik” bisa dilawan? Bagaimana cara memangkasnya? Jawabannya tak sederhana karena ”geronto politik” tumbuh subur di tengah ”ladang” struktur oligarki elite dalam partai. Memangkas ”geronto politik” sesungguhnya juga bagian dari upaya melawan oligarki elite partai. Generasi politisi tua bisa bertahan sangat lama dalam kekuasaan karena mereka mengendalikan sumber daya politik dan ekonomi partai. Semakin lama para pengendali ini menggenggam kekuasaan dalam partai, relasi kuasa yang terbangun menjadi sangat mempribadi. Artinya, partai menjadi identik dengan figur sang patron.
Hal ini juga menjelaskan mengapa nama-nama politisi muda di lapis tengah tidak akan pernah muncul dalam survei popularitas kepemimpinan nasional, karena persepsi masyarakat atas partai sangat lekat dengan figur patron pengendali partai. Dengan kondisi semacam itu, apa pun manuver politik yang dilakukan politisi muda untuk menggapai popularitas, panggung kepemimpinan nasional tetap hanya diperuntukkan secara eksklusif bagi para pengendali partai.
Dengan demikian, ”geronto politik” hanya bisa berakhir kalau terbangun ruang kompetisi yang terbuka dan demokratis di internal partai. Dalam proses kompetisi terbuka, politisi muda bukan hanya bersaing satu dengan yang lain, sekaligus diuji dulu kemampuan kepemimpinannya. Hal ini penting untuk ditegaskan karena kita menghadapi dua watak dasar yang menjadi perangkap partai politik.
Pertama, watak politik patronase yang juga bisa saja menular ke politisi muda. Dalam logika patronase, politisi muda ditempatkan sebagai klien yang mengabdi untuk kepentingan patron. Ukuran utama dalam persaingan itu adalah kedekatan hubungan dengan patron, bahkan kemampuan untuk mengabdi dan melayani kepentingan patron pengendali partai.
Perangkap patronase ini bisa menjadi bagian dari logika politik kaum muda sehingga persaingan dalam partai menjadi tak sehat. Kaum muda partai akan berebut untuk menjadi penerus patron dengan cara membangun kedekatan personal. Hal ini tentu saja akan membangun regenerasi yang memiliki karakter politik yang sama dengan kaum tua yang digantikannya.
Perangkap kedua adalah politik ”karbitan”. Munculnya fenomena politik karbitan ini ditandai hadirnya politisi muda ”dadakan” yang memiliki akses politik yang kuat ke patron, selanjutnya menduduki posisi penting-strategis dalam partai. Bahkan, beberapa partai politik seperti menyiapkan ”putra mahkota” sebagai bagian dari jalan regenerasi politik. Konsekuensinya, persaingan politik antarlapis tengah seakan-akan sudah ditutup sejalan dengan munculnya ”putra mahkota”.
Akhirnya, untuk keluar dari ”geronto politik”, tidak ada jalan lain kecuali politisi muda dalam partai mendorong reformasi sistem kompetisi internal partainya. Hanya dengan kompetisi partai yang terbuka dan demokratis akan terbuka ruang yang lebih lebar bagi politisi muda untuk bersaing, menunjukkan kualitas berpolitik dan sekaligus jadi arena menguji kerja- kerja politik yang telah dilakukannya. Dengan cara itu, kaum politisi muda bukan hanya mengusung wacana regenerasi dari sisi usia, melainkan juga mengedepankan regenerasi karakter dalam berpolitik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar