Janji Negosiasi Ulang Kontrak Tambang
Pri Agung Rakhmanto, FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI, UNIVERSITAS TRISAKTI
Sumber : KOMPAS, 07 November 2011
Berbagai pemberitaan tentang negosiasi ulang kontrak pertambangan belakangan mengesankan seolah ada progres signifikan. Benarkah ada progres yang menjanjikan?
Pertama, dalam hal klaim pemerintah bahwa 65 persen dari total perusahaan pertambangan yang terikat kontrak telah menyetujui prinsip-prinsip negosiasi ulang kontrak (di antaranya yang utama menyangkut besaran royalti) untuk disesuaikan dengan UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba 4/2009) (Kompas, 22 September 2011).
Dari jumlah itu, ada yang telah menyetujui seluruh prinsip, ada yang baru menyetujui sebagian saja. Berdasarkan data Kementerian ESDM, saat ini tercatat ada 42 perusahaan yang terikat Kontrak Karya (untuk pertambangan mineral) dan 76 perusahaan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Jika didasarkan atas jumlah kontrak (perusahaan) yang ada, klaim ini bisa jadi memang dapat diterima. Namun, berdasarkan kajian ReforMiner Institute atas data itu, 35 persen perusahaan yang belum (tidak) menyetujui prinsip-prinsip negosiasi ulang, skala produksinya mendominasi total produksi mineral utama dan batubara nasional.
Sebanyak 75,5 persen produksi batubara, 82,4 persen produksi emas, 85,1 persen produksi perak, dan 100 persen produksi tembaga nasional selama kurun 2003-2010 dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam 35 persen yang tak menyetujui prinsip-prinsip negosiasi ulang. Artinya, klaim keberhasilan negosiasi ulang, jika pun benar, itu hanya berlaku untuk perusahaan atau kontrak tambang dengan skala remeh-temeh, tidak signifikan.
Posisi lemah
Kedua, dasar argumentasi yang digunakan pemerintah dalam melakukan negosiasi ulang itu sendiri sesungguhnya dapat dikatakan sangat lemah. UU Minerba 4/2009 sebagai dasar argumentasi sangat ambigu di dalam ketentuannya: Pasal 169 butir b menyatakan, ketentuan yang tercantum dalam pasal Kontrak Karya dan PKP2B disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak UU Minerba diundangkan (Januari 2009).
Akan tetapi, Pasal 169 butir a menyatakan bahwa Kontrak Karya dan PKP2B yang telah ada sebelum berlakunya UU Minerba ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.
Jadi, mana yang benar? Jika UU yang ada tidak ambigu seperti itu pun, posisi pemerintah dalam negosiasi ulang kontrak tambang juga sudah lemah karena pasal- pasal yang ada dalam kontrak tambang memang sudah sedemikian banyak yang berat sebelah. Sebagai contoh, hanya untuk menentukan perusahaan tambang itu lalai saja, pemerintah tidak bisa sendiri, tetapi harus melalui arbitrase.
Ketiga, dalam hal penetapan tarif royalti yang saat ini oleh pemerintah diharapkan dapat dinaikkan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Ini merupakan bukti lain, posisi pemerintah dalam negosiasi ulang kontrak tambang selama ini sejatinya memang lemah. PP yang sudah ada dan berlaku sejak 2003 saja nyatanya selama ini tidak dipatuhi oleh kontrak-kontrak tambang ada.
Jadi, apakah masih akan terus menjanjikan negosiasi ulang kontrak tambang dengan membungkusnya dengan klaim-klaim keberhasilan semu atau akan benar-benar merealisasikan dengan kerja nyata membenahi hal-hal fundamental terlebih dulu? Kita butuh bukti, bukan janji. ●
Idealnya, semestinya dulu, dan juga nanti, kita betul-betul serius dan hati-hati ketika membuat kontrak. Tetapi bagaimanapun, dengan atau tanpa janji, proses negosiasi ulang kontrak tambang harus terus dilanjutkan. Para pakar pertambangan, termasuk Pri Agung Rakhmanto, bisa dilibatkan dalam proses penyusunan strategi negosiasi untuk menyampaikan solusi terbaik terhadap masalah kontrak pertambangan yang sangat rumit tersebut. Menemukan kelemahan, atau yang diduga sebagai kelemahan, biasanya sangat mudah. Untuk mampu mengatasi kelemahan tersebut biasanya diperlukan kerja ekstra keras. Tidak cukup dengan janji. Tidak juga cukup dengan kritik.
BalasHapus