Selasa, 07 Juli 2015

Makna Hidup

Makna Hidup

   Masduri  ;   Pengelola Laskar Ambisius serta Akademisi Teologi dan Filsafat
pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya
KOMPAS, 06 Juli 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Perjalanan ritual puasa bukan sekadar ritus keagamaan dengan segenap aturan menahan diri dari hasrat mulut dan kemaluan. Lebih dari itu, puasa sejatinya merupakan perjalanan spiritual seorang hamba menuju hakikat kehidupan. Sebuah jalan panjang pencarian makna di tengah-tengah kehidupan yang begitu kasar dan keras. Kehidupan di dunia banyak membawa orang pada jalan kesesatan sehingga sering berbuat destruktif. Semua itu terjadi akibat kosongnya kesadaran hidup.

Mereka seolah-olah akan hidup selamanya dan menguasai segala yang ada dalam kehidupan ini. Namun, senyatanya semua itu ilusi sebab tiap manusia esok akan kembali pada awal mulanya berupa ketiadaan. Manusia akan tiada lagi seperti dahulu sebelum dicipta oleh Tuhan. Ketiadaan itu kita sebut sebagai kematian.

Guru Besar North Carolina University Louis O Kattsoff selalu mewanti-wanti agar manusia sadar hakikat kehidupan adalah menuju kematian, suka tidak suka, mau tidak mau, manusia pasti akan mengalami yang namanya mati. Manusia datang ke dunia ini bukan atas kehendak dirinya sendiri, melainkan atas kehendak Tuhan. Tuhan telah menghendaki manusia untuk ada.

Maka, lahirlah manusia dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Manusialah satu-satunya ciptaan Allah SWT, yang sempurna, baik dari segi bentuk, fungsi, maupun keruwetan (sofistikasi) yang dalam bahasa Al Quran disebut ahsan al-taqwim (QS At-Tin ayat 4).Meski manusia adalah makhluk terbaik, Allah SWT juga menegaskan bahwa setiap yang bernyawa, termasuk manusia, akan menemui kematian(QS Ali Imran ayat 185).

Jika setiap manusia hakikatnya sedang berlari menuju kematian, lalu mengapa masih begitu banyak orang berbuat destruktif? Mengapa masih ada orang yang suka membunuh, berbuat kasar, mencuri, korupsi, tidak adil, diskriminatif, dan segenap perbuatan destruktif yang melahirkan kemudaratan? Apa mereka tak sadar dirinya sebenarnya sedang berlari menuju ketiadaan berupa kematian?

Apa makna kemenangan dalam pertarungan, kekayaan, dan segenap hal yang telah kita miliki? Jika pada akhirnya setiap yang hidup sedang berlari menuju kematian. Bukankah kemenangan, harta, dan semua hal yang telah kita kuasai menjadi tak bermakna bila kematian tiba? Tetapi, selama ini manusia seperti akan hidup selamanya sehingga sering mengabaikan realitas nyata berupa kematian. Perbuatan destruktif lahir sebab dirinya sedang tidak sadar jika akhirnya semua yang hidup akan mati.

Kehilangan kesadaran akan kematian membuat manusia lupa tugas pokok penciptaan manusia yang ditegaskan Allah SWT dalam Al Quran sebagai khalifah fil ard (QS Al-Baqarah ayat 30). Manusia memiliki tugas besar menjaga kehidupan di muka bumi dengan baik sehingga terhindar dari segala bentuk kerusakan yang merugikan semua manusia. Tugas khalifah fil ard hanya dimiliki manusia. Sebab, manusia satu-satunya makhluk Allah paling sempurna. Namun, sayang, manusia sering abai pada tugas pokok ini, manusia begitu mudah berbuat destruktif terhadap sesama. Mereka telah tercerabut dari akar penciptaannya sebagai khalifah fil ard.

Hidup bermakna

Manusia yang awalnya adalah sebaik-baiknya makhluk (ahsan al-taqwim) dapat menjadi lebih buruk dari binatang bila manusia yang memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah, mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mereka mempunyai telinga, tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah, mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (baca: QS Al A’Raaf ayat 179).

Jika dalam pandangan filsafat, kehilangan kesadaran kematian membuat manusia lupa bahwa seandainya tak ada orang lain, dirinya tak akan bermakna apa pun. Karena pada prinsipnya, seperti bahasa Aristoteles, manusia adalah makhluk zoon politicon yang takbisa hidup sendiri. Manusia bisa hidup berarti karena ada orang lain yang mengartikan hidupnya. Begitupun manusia bisa hidup bermakna karena ada orang lain yang memaknai keberadaan dirinya. Seandainya tidak ada orang lain, manusia hidup hampa dan tidak memiliki arti serta makna apa-apa.

Sebab itulah puasa hadir sebagai jalan spiritual menuju kesadaran hidup. Puasa sejatinya pencarian makna hidup (meaning of life). Melalui pengosongan perut dan hasrat kemaluan dalam puasa, manusia diajak sadar keberadaan dirinya, bahwa sejatinya manusia itu kosong (tiada). Sebab, seperti gagasan wahdah al-wujud Ibnu Arabi, sejatinya setiap yang ada di dunia ini adalah pancaran iradat Allah.

Segala sesuatu dalam kehidupan ini pada esensinya substansi wujud Tuhan yang tunggal. Dengan demikian, manusia sejatinya tiada, yang ada hanya Allah SWT. Tuhan seluruh alam. Kesadaran akan ketiadaan diri manusia, yang akan melahirkan kesadaran eksistensial tentang meaning of life. Manusia jika sadar bahwa dirinya akan tiada, atau sejatinya memang tiada jika merujuk pada konsep wahdah al-wujud, mestinya sadar bahwa jalan hidup ini harus dimaknai secara bijaksana denganmengejarkan hal-hal yang konstruktif.

Hassan Hanafi pernah menegaskan hal mendasar tentang meaning of life, dengan merujuk pada sifat baqa’ (kekal) Tuhan. Bagi Hanafi, baqa’ berarti pengalaman kemanusiaan yang muncul dari lawan sifat fana’ (rusak). Baqa’ berarti tuntutan pada manusia untuk membuat dirinya tidak cepat rusak (fana’), dengan cara melakukan hal-hal konstruktif; dalam perbuatan maupun pemikiran, menjauhi tindakan-tindakan yang bisa mempercepat kerusakan di bumi.

Seperti menjaga kelestarian lingkungan dan alam, tak membunuh dan berbuat kekerasan, tak mencuri dan korupsi, tak melakukan beragam perbuatan destruktif lain. Serta baqa’ juga bermakna sebagai tuntutan kepada manusia agar meninggalkan karya-karya besar bersifat monumental. Agar hidup manusia (meski sejatinya berjalan menuju ketiadaan) tetap bermakna bagi kemaslahatan bersama, sehingga bisa dikenang melalui karya monumental itu, meski dirinya telah menyatu dengan tanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar