Makna Hidup
Masduri
; Pengelola Laskar Ambisius serta Akademisi
Teologi dan Filsafat
pada
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya
|
KOMPAS, 06 Juli 2015
Perjalanan ritual puasa bukan sekadar ritus keagamaan
dengan segenap aturan menahan diri dari hasrat mulut dan kemaluan. Lebih dari
itu, puasa sejatinya merupakan perjalanan spiritual seorang hamba menuju
hakikat kehidupan. Sebuah jalan panjang pencarian makna di tengah-tengah kehidupan
yang begitu kasar dan keras. Kehidupan di dunia banyak membawa orang pada
jalan kesesatan sehingga sering berbuat destruktif. Semua itu terjadi akibat
kosongnya kesadaran hidup.
Mereka seolah-olah
akan hidup selamanya dan menguasai segala yang ada dalam kehidupan ini.
Namun, senyatanya semua itu ilusi sebab tiap manusia esok akan kembali pada
awal mulanya berupa ketiadaan. Manusia akan tiada lagi seperti dahulu sebelum
dicipta oleh Tuhan. Ketiadaan itu kita sebut sebagai kematian.
Guru Besar North
Carolina University Louis O Kattsoff selalu mewanti-wanti agar manusia sadar
hakikat kehidupan adalah menuju kematian, suka tidak suka, mau tidak mau,
manusia pasti akan mengalami yang namanya mati. Manusia datang ke dunia ini
bukan atas kehendak dirinya sendiri, melainkan atas kehendak Tuhan. Tuhan
telah menghendaki manusia untuk ada.
Maka, lahirlah manusia
dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Manusialah satu-satunya ciptaan
Allah SWT, yang sempurna, baik dari segi bentuk, fungsi, maupun keruwetan
(sofistikasi) yang dalam bahasa Al Quran disebut ahsan al-taqwim (QS At-Tin
ayat 4).Meski manusia adalah makhluk terbaik, Allah SWT juga menegaskan bahwa
setiap yang bernyawa, termasuk manusia, akan menemui kematian(QS Ali Imran
ayat 185).
Jika setiap manusia
hakikatnya sedang berlari menuju kematian, lalu mengapa masih begitu banyak
orang berbuat destruktif? Mengapa masih ada orang yang suka membunuh, berbuat
kasar, mencuri, korupsi, tidak adil, diskriminatif, dan segenap perbuatan
destruktif yang melahirkan kemudaratan? Apa mereka tak sadar dirinya
sebenarnya sedang berlari menuju ketiadaan berupa kematian?
Apa makna kemenangan
dalam pertarungan, kekayaan, dan segenap hal yang telah kita miliki? Jika
pada akhirnya setiap yang hidup sedang berlari menuju kematian. Bukankah
kemenangan, harta, dan semua hal yang telah kita kuasai menjadi tak bermakna
bila kematian tiba? Tetapi, selama ini manusia seperti akan hidup selamanya
sehingga sering mengabaikan realitas nyata berupa kematian. Perbuatan
destruktif lahir sebab dirinya sedang tidak sadar jika akhirnya semua yang
hidup akan mati.
Kehilangan kesadaran
akan kematian membuat manusia lupa tugas pokok penciptaan manusia yang
ditegaskan Allah SWT dalam Al Quran sebagai khalifah fil ard (QS Al-Baqarah ayat 30). Manusia memiliki tugas besar
menjaga kehidupan di muka bumi dengan baik sehingga terhindar dari segala
bentuk kerusakan yang merugikan semua manusia. Tugas khalifah fil ard hanya dimiliki manusia. Sebab,
manusia satu-satunya makhluk Allah paling sempurna. Namun, sayang, manusia
sering abai pada tugas pokok ini, manusia begitu mudah berbuat destruktif
terhadap sesama. Mereka telah tercerabut dari akar penciptaannya sebagai
khalifah fil ard.
Hidup bermakna
Manusia yang awalnya
adalah sebaik-baiknya makhluk (ahsan
al-taqwim) dapat menjadi lebih buruk dari binatang bila manusia yang
memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah,
mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda
kekuasaan Allah, dan mereka mempunyai telinga, tetapi tidak dipergunakannya
untuk mendengar ayat-ayat Allah, mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan
lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (baca: QS Al A’Raaf
ayat 179).
Jika dalam pandangan
filsafat, kehilangan kesadaran kematian membuat manusia lupa bahwa seandainya
tak ada orang lain, dirinya tak akan bermakna apa pun. Karena pada
prinsipnya, seperti bahasa Aristoteles, manusia adalah makhluk zoon politicon
yang takbisa hidup sendiri. Manusia bisa hidup berarti karena ada orang lain
yang mengartikan hidupnya. Begitupun manusia bisa hidup bermakna karena ada
orang lain yang memaknai keberadaan dirinya. Seandainya tidak ada orang lain,
manusia hidup hampa dan tidak memiliki arti serta makna apa-apa.
Sebab itulah puasa
hadir sebagai jalan spiritual menuju kesadaran hidup. Puasa sejatinya
pencarian makna hidup (meaning of life).
Melalui pengosongan perut dan hasrat kemaluan dalam puasa, manusia diajak
sadar keberadaan dirinya, bahwa sejatinya manusia itu kosong (tiada). Sebab,
seperti gagasan wahdah al-wujud
Ibnu Arabi, sejatinya setiap yang ada di dunia ini adalah pancaran iradat
Allah.
Segala sesuatu dalam
kehidupan ini pada esensinya substansi wujud Tuhan yang tunggal. Dengan
demikian, manusia sejatinya tiada, yang ada hanya Allah SWT. Tuhan seluruh
alam. Kesadaran akan ketiadaan diri manusia, yang akan melahirkan kesadaran
eksistensial tentang meaning of life.
Manusia jika sadar bahwa dirinya akan tiada, atau sejatinya memang tiada jika
merujuk pada konsep wahdah al-wujud, mestinya sadar bahwa jalan hidup ini
harus dimaknai secara bijaksana denganmengejarkan hal-hal yang konstruktif.
Hassan Hanafi pernah
menegaskan hal mendasar tentang meaning of life, dengan merujuk pada sifat
baqa’ (kekal) Tuhan. Bagi Hanafi, baqa’ berarti pengalaman kemanusiaan yang
muncul dari lawan sifat fana’ (rusak). Baqa’ berarti tuntutan pada manusia
untuk membuat dirinya tidak cepat rusak (fana’), dengan cara melakukan
hal-hal konstruktif; dalam perbuatan maupun pemikiran, menjauhi
tindakan-tindakan yang bisa mempercepat kerusakan di bumi.
Seperti menjaga
kelestarian lingkungan dan alam, tak membunuh dan berbuat kekerasan, tak
mencuri dan korupsi, tak melakukan beragam perbuatan destruktif lain. Serta
baqa’ juga bermakna sebagai tuntutan kepada manusia agar meninggalkan karya-karya besar
bersifat monumental. Agar hidup manusia (meski sejatinya berjalan menuju
ketiadaan) tetap bermakna bagi kemaslahatan bersama, sehingga bisa dikenang
melalui karya monumental itu, meski dirinya telah menyatu dengan tanah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar