Selasa, 07 Juli 2015

Melembagakan Optimisme Ekonomi

Melembagakan Optimisme Ekonomi

   A Prasetyantoko  ;   Dosen di Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS, 06 Juli 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tak ada yang istimewa dari pertemuan Presiden (dan Wakil Presiden) dengan para ekonom. Secara rutin Presiden mengundang berbagai kalangan, seperti tokoh politik, media, dan tokoh masyarakat lainnya. Meski demikian, harus diakui, pertemuan dengan para ekonom mencuri banyak perhatian, paling tidak karena dua alasan. Pertama, situasi ekonomi cenderung memburuk. Kedua, meningkatnya isu pergantian menteri.

Sangat mungkin, memburuknya situasi ekonomi meningkatkan urgensi perombakan kabinet. Pada saat bersamaan menumbuhkan kebutuhan bertemu para ekonom. Jadi, antara pertemuan ekonom dan isu perombakan kabinet sebenarnya tak berkaitan. Urgensi keduanya sama-sama meningkat saat perekonomian memburuk. Akan tetapi, tetap tak terhindarkan, dalam diskusi disinggung pula isu pergantian menteri, khususnya bidang ekonomi.

Selain mendengarkan dengan teliti, sebenarnya Presiden juga menyampaikan berbagai upaya mitigasi penurunan siklus ekonomi. Dari situ terlihat bahwa Presiden memahami dengan baik situasi sekaligus langkah mitigasinya. Lalu, mengapa sinyal optimisme tak segera terpancar?

Rupanya, satu fase krusial masih belum dilakukan, yaitu melembagakan optimisme dalam kerangka kebijakan birokrasi. Presiden memulai dengan mengutarakan fokus kebijakannya di bidang infrastruktur berbasis kelautan dalam rangka meningkatkan konektivitas. Itulah mengapa Presiden memberi perhatian sangat besar pada pelabuhan dan industri galangan kapal.

Perhatian tersebut sama sekali bukan omong kosong. Presiden secara langsung memantau kemajuan berbagai proyek infrastruktur. Ironisnya, bahkan di tangan Presiden yang begitu detail dalam hal teknis sekalipun, kemajuan tak bisa disegerakan. Selain masalahnya memang kompleks, birokrasi justru sering membelit pemerintah sehingga banyak program lumpuh.

Presiden memberi ilustrasi soal kemarahan beliau saat meninjau Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Lamanya bongkar muat barang, rata-rata 5,5 hari, adalah puncak gunung es kerumitan birokrasi. Masih ditambah sikap artifisial birokrasi—asal atasan senang—membuat pembenahan mendasar sulit dilakukan. Di sinilah ironinya. Perlu perangkat birokrasi yang mampu menerjemahkan visi Presiden hingga ke level proyek. Pada titik ini, diakui kinerja beberapa kementerian tak cukup mampu diandalkan mengawal program kerja Presiden. Dengan penuh kesadaran Presiden mengakui perlunya pergantian beberapa kementerian. Presiden menyebut fungsi kementerian sebagai playmaker belum maksimal.

Dalam jangka pendek, pemerintah berhadapan dengan isu stabilitas di sektor keuangan. Rupiah terdepresiasi hampir 8 persen sejak awal tahun menjadi Rp 13.300-an per dollar AS, sementara Indeks Harga Saham Gabungan terkoreksi sekitar 5 persen dibandingkan dengan awal tahun, menjadi level 4.900-an. Akibatnya, beban fiskal bertambah, biaya produksi industri naik, dan inflasi bisa meningkat. Belanja pemerintah, investasi, dan konsumsi domestik tertekan. Sementara ekspor tak begitu banyak menikmati pelemahan nilai tukar.

Situasi ini masih mungkin memburuk akibat dampak lanjutan kebangkrutan Yunani. Belum lagi perkembangan suku bunga bank sentral AS, The Fed. Hal yang menghibur, semakin berat krisis Eropa, semakin kecil kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga.

Dalam jangka menengah, pemerintah menghadapi pelambatan ekonomi yang sudah merembet pada mata rantai pasokan industri. Beberapa perusahaan besar sudah mulai mengalihkan vendor ke negara lain guna menekan biaya. Sinyal pelambatan terjadi secara struktural. Mendorong pengeluaran pemerintah di semester II tak menjamin pertumbuhan terdorong ke atas.

Perombakan kabinet menjadi sangat urgen dengan catatan diganti dengan yang lebih baik. Masalahnya, mengganti menteri saja jelas bukan solusi. Birokrasi di tingkat kementerian serta koordinasi dengan istana menjadi urgensi yang lain.

Jadi, langkah yang sebaiknya dilakukan memang bertahap, sistematis, tetapi progresif. Pertama, merapikan koordinasi unit pendukung di bawah presiden. Jangan biarkan publik melihat kontestasi antarunit di istana presiden. Kedua, memperbaiki tatanan birokrasi di tingkat kementerian sekaligus koordinasi dengan unit pendukung di istana. Ketiga, ganti menteri yang terbukti tak kompeten. Dalam waktu bersamaan, pemerintah harus menunjukkan pemahaman situasi, tak saja lewat kebijakan teknis, tetapi juga dalam kerangka regulasinya. Hari-hari ini, pengesahan Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan menjadi sangat mendesak. Dari sana, kemudian bicara revisi Undang-Undang Bank Indonesia dan Undang-Undang Perbankan.

Mengenai isu perombakan kabinet, sebaiknya sesedikit mungkin bicara, tetapi diam-diam disiapkan matang. Jangan biarkan kesempatan memperbaiki negeri ini diombang-ambingkan polemik berkepanjangan mengenai hal yang tak perlu. Semua pihak, termasuk media, harus membantu mengarahkan negeri ini agar lebih fokus pada isu mendasarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar