Melembagakan Optimisme Ekonomi
A
Prasetyantoko ;
Dosen di Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS, 06 Juli 2015
Tak ada yang istimewa
dari pertemuan Presiden (dan Wakil Presiden) dengan para ekonom. Secara rutin
Presiden mengundang berbagai kalangan, seperti tokoh politik, media, dan
tokoh masyarakat lainnya. Meski demikian, harus diakui, pertemuan dengan para
ekonom mencuri banyak perhatian, paling tidak karena dua alasan. Pertama,
situasi ekonomi cenderung memburuk. Kedua, meningkatnya isu pergantian
menteri.
Sangat mungkin,
memburuknya situasi ekonomi meningkatkan urgensi perombakan kabinet. Pada
saat bersamaan menumbuhkan kebutuhan bertemu para ekonom. Jadi, antara
pertemuan ekonom dan isu perombakan kabinet sebenarnya tak berkaitan. Urgensi
keduanya sama-sama meningkat saat perekonomian memburuk. Akan tetapi, tetap
tak terhindarkan, dalam diskusi disinggung pula isu pergantian menteri,
khususnya bidang ekonomi.
Selain mendengarkan
dengan teliti, sebenarnya Presiden juga menyampaikan berbagai upaya mitigasi
penurunan siklus ekonomi. Dari situ terlihat bahwa Presiden memahami dengan
baik situasi sekaligus langkah mitigasinya. Lalu, mengapa sinyal optimisme
tak segera terpancar?
Rupanya, satu fase
krusial masih belum dilakukan, yaitu melembagakan optimisme dalam kerangka
kebijakan birokrasi. Presiden memulai dengan mengutarakan fokus kebijakannya
di bidang infrastruktur berbasis kelautan dalam rangka meningkatkan
konektivitas. Itulah mengapa Presiden memberi perhatian sangat besar pada
pelabuhan dan industri galangan kapal.
Perhatian tersebut
sama sekali bukan omong kosong. Presiden secara langsung memantau kemajuan
berbagai proyek infrastruktur. Ironisnya, bahkan di tangan Presiden yang
begitu detail dalam hal teknis sekalipun, kemajuan tak bisa disegerakan.
Selain masalahnya memang kompleks, birokrasi justru sering membelit
pemerintah sehingga banyak program lumpuh.
Presiden memberi
ilustrasi soal kemarahan beliau saat meninjau Pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta. Lamanya bongkar muat barang, rata-rata 5,5 hari, adalah puncak
gunung es kerumitan birokrasi. Masih ditambah sikap artifisial birokrasi—asal
atasan senang—membuat pembenahan mendasar sulit dilakukan. Di sinilah
ironinya. Perlu perangkat birokrasi yang mampu menerjemahkan visi Presiden
hingga ke level proyek. Pada titik ini, diakui kinerja beberapa kementerian
tak cukup mampu diandalkan mengawal program kerja Presiden. Dengan penuh
kesadaran Presiden mengakui perlunya pergantian beberapa kementerian.
Presiden menyebut fungsi kementerian sebagai playmaker belum maksimal.
Dalam jangka pendek,
pemerintah berhadapan dengan isu stabilitas di sektor keuangan. Rupiah
terdepresiasi hampir 8 persen sejak awal tahun menjadi Rp 13.300-an per
dollar AS, sementara Indeks Harga Saham Gabungan terkoreksi sekitar 5 persen
dibandingkan dengan awal tahun, menjadi level 4.900-an. Akibatnya, beban
fiskal bertambah, biaya produksi industri naik, dan inflasi bisa meningkat.
Belanja pemerintah, investasi, dan konsumsi domestik tertekan. Sementara ekspor
tak begitu banyak menikmati pelemahan nilai tukar.
Situasi ini masih
mungkin memburuk akibat dampak lanjutan kebangkrutan Yunani. Belum lagi
perkembangan suku bunga bank sentral AS, The Fed. Hal yang menghibur, semakin
berat krisis Eropa, semakin kecil kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga.
Dalam jangka menengah,
pemerintah menghadapi pelambatan ekonomi yang sudah merembet pada mata rantai
pasokan industri. Beberapa perusahaan besar sudah mulai mengalihkan vendor ke
negara lain guna menekan biaya. Sinyal pelambatan terjadi secara struktural.
Mendorong pengeluaran pemerintah di semester II tak menjamin pertumbuhan
terdorong ke atas.
Perombakan kabinet
menjadi sangat urgen dengan catatan diganti dengan yang lebih baik.
Masalahnya, mengganti menteri saja jelas bukan solusi. Birokrasi di tingkat
kementerian serta koordinasi dengan istana menjadi urgensi yang lain.
Jadi, langkah yang
sebaiknya dilakukan memang bertahap, sistematis, tetapi progresif. Pertama,
merapikan koordinasi unit pendukung di bawah presiden. Jangan biarkan publik
melihat kontestasi antarunit di istana presiden. Kedua, memperbaiki tatanan
birokrasi di tingkat kementerian sekaligus koordinasi dengan unit pendukung
di istana. Ketiga, ganti menteri yang terbukti tak kompeten. Dalam waktu
bersamaan, pemerintah harus menunjukkan pemahaman situasi, tak saja lewat
kebijakan teknis, tetapi juga dalam kerangka regulasinya. Hari-hari ini,
pengesahan Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan menjadi
sangat mendesak. Dari sana, kemudian bicara revisi Undang-Undang Bank
Indonesia dan Undang-Undang Perbankan.
Mengenai isu
perombakan kabinet, sebaiknya sesedikit mungkin bicara, tetapi diam-diam
disiapkan matang. Jangan biarkan kesempatan memperbaiki negeri ini
diombang-ambingkan polemik berkepanjangan mengenai hal yang tak perlu. Semua
pihak, termasuk media, harus membantu mengarahkan negeri ini agar lebih fokus
pada isu mendasarnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar