Selasa, 07 Juli 2015

AIIB, Indonesia dan Kemandirian Asia

AIIB, Indonesia dan Kemandirian Asia

   PLE Priatna  ;   Wakil Kepala Perwakilan RI di Beijing, Tiongkok
KOMPAS, 06 Juli 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Menteri Keuangan RI Bambang Brodjonegoro baru saja menandatangani akta keanggotaan Indonesia di Bank Investasi Infrastruktur Asia di Beijing, Tiongkok, 29 Juni 2015. Upacara peresmian Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) ini dihadiri 50 menteri keuangan dan 7 deputi menteri keuangan dari belahan Asia, Eropa, Timur Tengah, dan Afrika, kecuali Amerika Serikat, Jepang, Taiwan, dan empat negara lainnya.

”Indonesia telah menjadi anggota pendiri AIIB. Bagi Indonesia, kehadiran AIIB, ADB (Bank Pembangunan Asia), dan Bank Dunia adalah untuk saling melengkapi dalam memenuhi kebutuhan pembangunan,” ujarBambang saat berbincang dengan penulis dan wartawan Antara di Hotel Ritz-Carlton, Beijing, seusai peresmian.

Tidak ada tabu

Apa keistimewaan AIIB?

Menurut Menkeu, melalui AIIB, Indonesia akan memanfaatkannya untuk membantu mendanai proyek-proyek infrastruktur besar. Lebih dari itu, AIIB tidak tabu untuk mendanai, misalnya, proyek PLTU menggunakan batubara, sementaraproyek serupa tidak bisa lagi dimodali Bank Dunia. MelaluiAIIB, sektor swasta bisa masuk memperoleh fasilitas pendanaan proyek infrastruktur.Ini yang tidak didapat dari lembaga bank lain.

Ada dua hal menarik dari pernyataan Menkeu ini untuk diperhatikan. Pertama, AIIB tidak tabu terhadap proyek yang bersinggungan dengan agenda prasyarat green and clean technology dalam penentuan proyeknya.

Kalau benar nantinya AIIB bisa terbebas dari agenda politik, kondisionalitas non-ekonomis dan hanya pada pertimbangan kalkulasi ekonomi, maka AIIB bisa berperan lebih netral bagi negara berkembang.

Kedua, melalui AIIB, kredit bisa disalurkan kepada pihak swasta untuk turut membiayai proyek infrastruktur di negara berkembang (Pasal 2 Ayat 3 statuta Articles of Agreement 5th Chief Negotiators’ Meeting AIIB). Sinergi kekuatan membangun prasarana dan sarana semakin luas diberikan kepada pelaku usaha.

Joseph Stiglitz menyambut baik kehadiran AIIB sebagai multilateralisme Asia, berikut perputaran modal Asia. Bank Dunia terlalu dibebani ideologi, pasar bebas ala konsensus Washington. Bahkan, dana yang ada pun disalurkan hanya melalui lembaga bantuan AS.

Stiglitz, mantan Chief Economist Bank Dunia, menjadi saksi seperti yang ditulisnya, kondisionalitas tak hanya menjadi syarat umum meminjam uang dan mengembalikannya. Akan tetapi, lebih dari itu, Bank Dunia menciptakan kondisi yang memaksa satu pihak yaitu dengan mengubah pemberian utang sebagai cara, alat, atau kebijakan tertentu (dengan kata lain untuk menekan).

Sejarah membuktikan kondisionalitas politik menjadi agenda di balik bantuan. Indonesia pernah menghentikan bantuan dari Belanda (Johannes Pronk) sebagai Ketua IGGI, membubarkannya dan membentuk CGI.

Bebas agenda politik

Indonesia dannegara ASEAN seyogianya bisa menjaga agar AIIB nanti bersikap netral, mandiri, dan tidak menerapkan kondisionalitas politik. Tidak mengulangi gaya angkuh IMF dan Bank Dunia, atau lembaga donor lainnya, sekalipun Tiongkok di AIIBmemegang 30,34 persen saham dengan voting power 26,06 persen.

Kita mencatat pengalaman buruk masa lalu,satu dua negara kuat, berhasil membuat Tiongkok tidak berdaya menghentikan operasikondisionalitas itu. Walaupun di Bank Dunia, Tiongkok menguasai 5,25 persen saham, di atas Jerman (4,56 persen), Perancis (4,06 persen), dan Inggris (4,06 persen), dandi Bank Pembangunan Asia, Tiongkok memiliki 6,5 persen saham.

AIIB yang didukung Jerman, Perancis, Inggris, Belanda, Spanyol, dan Australia harus bisa menjalankan bisnis lembaga bank sepenuhnya, berdasar kalkulasi ekonomi dan tidak menerapkan agenda politik dalam pemberian fasilitas kreditnya. AIIB harus dapat mengedepankan aspek ekonomi, konektivitas pembangunan infrastruktur yang merata, dari kawasan ke kawasan dan negara ke negara.

Satu misi penting Indonesia adalah merebut maksimum alokasi anggaran pendanaan AIIB terutama bagi pembangunan infrastruktur. Indonesia dengan saham 33,607 dengan modal Rp 3,4 triliun dan voting power hanya 3 persen ini bisa mendapat suntikan maksimum modal berupa pinjaman berbunga rendah dalam jangka panjang, di bawah standar komersial bunga London Interbank Offered Rate (LIBOR).
Alokasi pendanaan AIIB harus jadi instrumen kesadaran politik dan kerja sama baru Utara-Selatan dan Selatan-Selatan.Di tengah paradoks persaingan dan perseteruan politik AS-Tiongkok atau ketegangan Tiongkok-Jepang, AIIB bisa menjadi instrumen perekat, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas keamanan.

Dewan Gubernur, Dewan Direktur, Presiden AIIB, Wakil Presiden, serta staf yang menjalankan penentuan proyek dan pencairan dana AIIB harus benar transparan dan akuntabel. Tidak seperti pengalaman di Bank Dunia menjadikan preferensi kepentingan politik pribadi dalam mengelola dan menggelontorkan proyek (Rabia Malik dan Randall W Stone, Private Politics in World Bank Lending, 3 Februari, 2015).

Bukti netralitas

Selain Indonesia diharapkan bisa menempati salah satu posisi penting itu, dibukanya kantor regional AIIB diJakarta bisa menjadi bukti netralitas dan kemandirian dalam sentralitas Asia yang lebih terbuka.

AIIB bukan semata keberhasilan Tiongkok menggalang sentralitas Asia melalui multilateralisme konektivitas infrastruktur. Indonesia, ASEAN, dan negara berkembang lainnya juga turut membangun kemandirian, menghadapi suara sumbang terhadap IMF dan Bank Dunia yang bermarkas di AS.

Oleh sebab itu, pembangunan infrastruktur sebagai lingua franca global ini mendapat sambutan. Inilah bahasa diplomasi yang memberi harapan dan solusi alternatif di tengah ancaman konflik, anarki, dan perseteruan politik yang merugikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar