Sabtu, 24 Mei 2014

Mengawal Parlemen “Baru” Kita

Mengawal Parlemen “Baru” Kita

Joko Wahyono  ;   Analis Politik pada Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
SINAR HARAPAN,  23 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Hasil Pemilihan Legislatif (Pileg) 9 April telah diumumkan secara resmi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebanyak 560 nama calon anggota legislatif (caleg) terpilih telah ditetapkan dan akan dilantik pada 1 Oktober 2014 mendatang.

Dari 560 anggota parlemen “baru” itu, 321 nama (sekitar 53,1 persen) berwajah baru, sisanya 239 (sekitar 42,7 persen) merupakan anggota petahana (wajah lama), termasuk di antaranya sejumlah nama menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Formasi ini tentu saja bisa berubah tergantung pada gugatan sengketa hasil pileg yang saat ini ditangani Mahkamah Konstitusi (MK).

Kendati prosesnya terkotori banyaknya praktik kecurangan, politik uang (money politic), transaksi jual-beli, dan pengalihan suara yang dilakukan penyelenggara pemilu di level bawah, itulah wajah baru parlemen kita.

Meski banyak yang memprediksi parlemen yang akan terbentuk nanti tidak lebih baik dari periode sebelumnya—walaupun kapasitas dan rekam jejam caleg terpilih belum memberikan ekspektasi apa pun—terpilihnya mereka menunjukkan pilihan rakyat. Mereka adalah wakil rakyat yang nantinya akan menjadi penghuni Senayan selama lima tahun ke depan.

Di pundak dan bahu merekalah seluruh harapan rakyat akan disandarkan. Kehadiran mereka adalah penginjeksi harapan baru di tengah depresi massal akibat kesejahteraan yang tak kunjung berpihak kepada rakyat.

Mereka diharapkan mampu dan mau menegakkan mandat, tanggung jawab, dan keterwakilan politik rakyat, sehingga apa yang menjadi kerisauan dan keluh kesah rakyat selama ini didengar untuk kemudian dicarikan jalan keluarnya. Kompleksitas persoalan yang membelit rakyat menuntut mereka bekerja ekstra keras untuk menelorkan regulasi-regulasi yang memihak kepada kepentingan rakyat yang diwakilinya.

Sanggupkah mereka secara penuh mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya demi mendekap desah kepiluan rakyat, selaras dengan segala fasilitas, gaji, tunjangan, dan honorarium lainnya yang diterima? Hal itulah yang layak dibuktikan nantinya.

Tugas menjadi anggota DPR bukan untuk melayani partai politik pengusungnya. Sebaliknya, akuntabilitas kinerja mereka harus diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Mereka harus punya sensibilitas politik dan mampu menyelami pergumulan batin konstituen pemilihnya. Mereka juga dituntut memiliki kemampuan teknis dalam pekerjaannya mengolah dan mengarahkan kekuasaan, yang telah digenggamnya untuk mewujudkan tujuan kesejahteraan bersama. Itu tidaklah mudah!

Dalam ajaran klasik tentang demokrasi, rakyat sejatinya berdaulat. Rakyat seharusnya memerintah dirinya sendiri tanpa menyerahkan kekuasaannya itu kepada siapa pun dan lembaga mana pun.

Kini, “rakyat memerintah dirinya sendiri,” menurut F Budi Hardiman (2009), berarti rakyat tidak hanya menerima atau menolak hasil keputusan pemilu, tetapi juga melakukan mekanisme kontrol atasnya.

Di sinilah, mengawal dan mengawasi kinerja anggota DPR baru kita itu menjadi lebih urgen ketimbang memilih mereka di bilik-bilik suara. Titik puncak dari pemilu bukan terletak pada “coblosan massal” untuk memilih wakil rakyat.

Memilih mereka hanyalah satu (tahap awal) dari serangkaian tahapan proses politik menuju demokrasi yang lebih substansial. Tahap selanjutnya adalah mengawasi wakil rakyat yang terpilih itu. Dengan kedaulatannya, rakyat berperan sebagai pengendali arah dan tujuan pemerintahan, termasuk parlemen yang terbentuk dari hasil pemilu.

Sekalipun tugas anggota DPR adalah melakukan fungsi pengawasan—selain fungsi legislasi dan penganggaran—faktanya, justru perilaku merekalah yang kini mendorong untuk diawasi. Salah satu penyebabnya adalah kasus korupsi. Ya, anggota dewan terhormat, terutama periode 2009-2014 terindikasi paling banyak terlibat kasus korupsi.

Menurut Transparency International Indonesia (TII), indeks persepsi korupsi DPR menyentuh angka tertinggi dibanding lembaga lain, yakni 4,33 dari 5. Sebagian dari anggota DPR terbukti memanfaatkan kekuasaan dan kewenangan penyusunan anggaran untuk menumpuk kekayaan pribadi.

Masalah lain dari DPR periode sebelumnya adalah gagal memenuhi target legislasi. Selain itu, banyaknya anggota DPR yang membolos mengikuti berbagai rapat atau sidang juga semakin menambah kekecewaan rakyat. Kita tidak ingin anggota DPR terpilih nanti mengulangi dosa-dosa yang sama dengan apa yang telah dilakukan para pendahulunya.

Rekam jejak kinerja buruk mereka selama lima tahun lalu, harus menjadi pemantik bagi anggota DPR baru untuk melakukan perubahan secara substansial dan harus dibuktikan secara nyata dalam lima tahun yang akan datang.

Untuk itulah, rakyat (sekali lagi), sebagai kekuataan civil society, harus ikut mengawal mereka, melakukan fungsi pengawasan secara ketat, menjadi bagian dari pressure group yang setiap saat bisa mengontrol kinerja mereka. Bahkan, rakyat harus mengembangkan sikap kritis, bahkan skeptis sekalipun, dalam melakukan pengawasan.

Beberapa indikator yang dibuat Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) bisa menjadi rujukan untuk mengukur kinerja mereka; Di antaranya kunjungan ke daerah pemilihan (dapil), kepemilikan rumah aspirasi di dapil, kehadiran rapat-rapat komisi, penyampaian gagasan dan aspirasi dalam rapat komisi, pelaporan harta kekayaan, serta pelaporan kegiatan selama masa sidang dan reses.

Sumber data yang bisa diakses, misalnya lewat dokumen resmi DPR, daftar hadir komisi, risalah rapat komisi, dokumen fraksi, partai, anggota, dan situs resmi anggota DPR. Tujuanya agar jangan sampai program yang tampaknya menyejahterakan, tetapi justru bermotif citra dan pundi-pundi kuasa.

Kita sebagai warga memiliki tanggung jawab moral untuk mengembalikan politik kepada makna sejatinya, yakni wahana mewujudkan kesejahteraan bersama (bonum commune). Hanya dengan tanggung jawab moral dan partisipasi politik melalui pengawasan inilah perbaikan kondisi, arah, dan masa depan bangsa ini bisa dikawal bersama-sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar