Mengawal
Parlemen “Baru” Kita
Joko
Wahyono ; Analis Politik pada Program Pascasarjana
UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 23 Mei 2014
Hasil
Pemilihan Legislatif (Pileg) 9 April telah diumumkan secara resmi oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU). Sebanyak 560 nama calon anggota legislatif (caleg)
terpilih telah ditetapkan dan akan dilantik pada 1 Oktober 2014 mendatang.
Dari 560
anggota parlemen “baru” itu, 321 nama (sekitar 53,1 persen) berwajah baru,
sisanya 239 (sekitar 42,7 persen) merupakan anggota petahana (wajah lama),
termasuk di antaranya sejumlah nama menteri Kabinet Indonesia Bersatu.
Formasi ini tentu saja bisa berubah tergantung pada gugatan sengketa hasil
pileg yang saat ini ditangani Mahkamah Konstitusi (MK).
Kendati
prosesnya terkotori banyaknya praktik kecurangan, politik uang (money politic), transaksi jual-beli,
dan pengalihan suara yang dilakukan penyelenggara pemilu di level bawah,
itulah wajah baru parlemen kita.
Meski
banyak yang memprediksi parlemen yang akan terbentuk nanti tidak lebih baik
dari periode sebelumnya—walaupun kapasitas dan rekam jejam caleg terpilih
belum memberikan ekspektasi apa pun—terpilihnya mereka menunjukkan pilihan
rakyat. Mereka adalah wakil rakyat yang nantinya akan menjadi penghuni
Senayan selama lima tahun ke depan.
Di
pundak dan bahu merekalah seluruh harapan rakyat akan disandarkan. Kehadiran
mereka adalah penginjeksi harapan baru di tengah depresi massal akibat
kesejahteraan yang tak kunjung berpihak kepada rakyat.
Mereka
diharapkan mampu dan mau menegakkan mandat, tanggung jawab, dan keterwakilan
politik rakyat, sehingga apa yang menjadi kerisauan dan keluh kesah rakyat
selama ini didengar untuk kemudian dicarikan jalan keluarnya. Kompleksitas
persoalan yang membelit rakyat menuntut mereka bekerja ekstra keras untuk
menelorkan regulasi-regulasi yang memihak kepada kepentingan rakyat yang
diwakilinya.
Sanggupkah
mereka secara penuh mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya demi mendekap
desah kepiluan rakyat, selaras dengan segala fasilitas, gaji, tunjangan, dan
honorarium lainnya yang diterima? Hal itulah yang layak dibuktikan nantinya.
Tugas
menjadi anggota DPR bukan untuk melayani partai politik pengusungnya.
Sebaliknya, akuntabilitas kinerja mereka harus diperuntukkan bagi kepentingan
rakyat. Mereka harus punya sensibilitas politik dan mampu menyelami
pergumulan batin konstituen pemilihnya. Mereka juga dituntut memiliki
kemampuan teknis dalam pekerjaannya mengolah dan mengarahkan kekuasaan, yang
telah digenggamnya untuk mewujudkan tujuan kesejahteraan bersama. Itu
tidaklah mudah!
Dalam
ajaran klasik tentang demokrasi, rakyat sejatinya berdaulat. Rakyat
seharusnya memerintah dirinya sendiri tanpa menyerahkan kekuasaannya itu
kepada siapa pun dan lembaga mana pun.
Kini,
“rakyat memerintah dirinya sendiri,” menurut F Budi Hardiman (2009), berarti
rakyat tidak hanya menerima atau menolak hasil keputusan pemilu, tetapi juga
melakukan mekanisme kontrol atasnya.
Di
sinilah, mengawal dan mengawasi kinerja anggota DPR baru kita itu menjadi
lebih urgen ketimbang memilih mereka di bilik-bilik suara. Titik puncak dari
pemilu bukan terletak pada “coblosan massal” untuk memilih wakil rakyat.
Memilih
mereka hanyalah satu (tahap awal) dari serangkaian tahapan proses politik
menuju demokrasi yang lebih substansial. Tahap selanjutnya adalah mengawasi
wakil rakyat yang terpilih itu. Dengan kedaulatannya, rakyat berperan sebagai
pengendali arah dan tujuan pemerintahan, termasuk parlemen yang terbentuk
dari hasil pemilu.
Sekalipun
tugas anggota DPR adalah melakukan fungsi pengawasan—selain fungsi legislasi
dan penganggaran—faktanya, justru perilaku merekalah yang kini mendorong untuk
diawasi. Salah satu penyebabnya adalah kasus korupsi. Ya, anggota dewan
terhormat, terutama periode 2009-2014 terindikasi paling banyak terlibat
kasus korupsi.
Menurut Transparency International Indonesia
(TII), indeks persepsi korupsi DPR menyentuh angka tertinggi dibanding
lembaga lain, yakni 4,33 dari 5. Sebagian dari anggota DPR terbukti
memanfaatkan kekuasaan dan kewenangan penyusunan anggaran untuk menumpuk
kekayaan pribadi.
Masalah
lain dari DPR periode sebelumnya adalah gagal memenuhi target legislasi.
Selain itu, banyaknya anggota DPR yang membolos mengikuti berbagai rapat atau
sidang juga semakin menambah kekecewaan rakyat. Kita tidak ingin anggota DPR
terpilih nanti mengulangi dosa-dosa yang sama dengan apa yang telah dilakukan
para pendahulunya.
Rekam
jejak kinerja buruk mereka selama lima tahun lalu, harus menjadi pemantik
bagi anggota DPR baru untuk melakukan perubahan secara substansial dan harus
dibuktikan secara nyata dalam lima tahun yang akan datang.
Untuk
itulah, rakyat (sekali lagi), sebagai kekuataan civil society, harus ikut mengawal mereka, melakukan fungsi
pengawasan secara ketat, menjadi bagian dari pressure group yang setiap saat
bisa mengontrol kinerja mereka. Bahkan, rakyat harus mengembangkan sikap
kritis, bahkan skeptis sekalipun, dalam melakukan pengawasan.
Beberapa
indikator yang dibuat Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi)
bisa menjadi rujukan untuk mengukur kinerja mereka; Di antaranya kunjungan ke
daerah pemilihan (dapil), kepemilikan rumah aspirasi di dapil, kehadiran
rapat-rapat komisi, penyampaian gagasan dan aspirasi dalam rapat komisi,
pelaporan harta kekayaan, serta pelaporan kegiatan selama masa sidang dan
reses.
Sumber
data yang bisa diakses, misalnya lewat dokumen resmi DPR, daftar hadir
komisi, risalah rapat komisi, dokumen fraksi, partai, anggota, dan situs
resmi anggota DPR. Tujuanya agar jangan sampai program yang tampaknya
menyejahterakan, tetapi justru bermotif citra dan pundi-pundi kuasa.
Kita
sebagai warga memiliki tanggung jawab moral untuk mengembalikan politik
kepada makna sejatinya, yakni wahana mewujudkan kesejahteraan bersama (bonum commune). Hanya dengan tanggung
jawab moral dan partisipasi politik melalui pengawasan inilah perbaikan
kondisi, arah, dan masa depan bangsa ini bisa dikawal bersama-sama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar