Rabu, 07 Mei 2014

Sodom Gomora Kejahatan Seks pada Anak

Sodom Gomora Kejahatan Seks pada Anak

Sumiati Anastasia  ;   Kolumnis dan Seorang Ibu di Balikpapan
JAWA POS,  07 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
RASA aman di masyarakat, khususnya di hati orang tua, seolah runtuh seiring dengan maraknya kasus kejahatan seks pada anak seperti dialami anak TK di Jakarta International School (JIS) dan kasus Emon di Sukabumi yang menjadi 73 orang.

Emon menyusul jejak Babeh dan Robot Gedek. Pada awal 2010, nama Babeh pernah menggemparkan media di tanah air. Pria asal Purworejo, itu menyodomi dan membunuh sekitar sebelas anak.

Sedangkan Robot Gedek menggemparkan kita di era 1990-an. Robot Gedek melakukan sodomi dan pembunuhan terhadap enam anak usia belasan tahun, mulai 1994 hingga 1996. Pada persidangan 21 Mei 1997, PN Jakpus menjatuhkan vonis mati. Ketika pada 2008, mendengar segera dieksekusi, Robot Gedek mendadak meninggal. Konon, dia takut dieksekusi mati.

Emon, Babeh, atau Robot Gedek hanyalah beberapa nama dari predator seks yang diketahui publik. Sedangkan para predator lain masih bergentayangan mencari korban. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) maupun Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyebutkan, negeri kita memang berada pada status darurat kejahatan seks anak secara nasional.

Menurut Komnas PA, pada semester pertama 2013, terdapat 294 kasus (28 persen) kekerasan fisik, 203 kasus (20 persen) kekerasan psikis, dan 535 kasus (52 persen) adalah kekerasan seksual sebesar.

Itu berarti setiap bulan terdapat 90-100 anak mengalami kekerasan seksual. Kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan sosial tercatat 385 kasus (54 persen), lingkungan keluarga 193 kasus (27 persen), dan lingkungan sekolah 121 kasus (17 persen). Bentuk kekerasan seksual berupa sodomi (52 kasus), pemerkosaan (280 kasus), pencabulan (182 kasus), dan inses (21 kasus).

Menyedihkan merenungkan anak-anak yang masih polos ibarat kertas putih dirusak martabat luhurnya oleh para predator seks yang tidak berakal budi. Sayang, berdasar pengalaman, banyak pelaku kejahatan seks biasanya justru orang-orang yang sudah dikenal para korban. Misalnya, sopir, tukang becak, guru di sekolahnya, petugas "cleaning service", bahkan ayah kandung atau ayah tiri.

Tentu saja adanya predator yang membidik anak demi pelampiasan seks harus mendorong kita sebagai orang tua meningkatkan kewaspadaan. Menurut psikolog Dr Leigh M. Baker dalam buku Protecting Your Children from Sexual Predators, para predator kerap tampak sopan, tapi manipulatif. Mereka kadang memaksa membantu dan cinta kepada anak-anak.

Psikolog dari Maryland, AS, itu meminta sejak dini, anak-anak dibeli pengetahuan untuk menjaga diri dari para predator seks. Anak-anak harus diberi tahu anggota-anggota tubuhnya, seperti dada atau bawah perut, yang tidak boleh dipegang oleh siapa pun.

Malaysia gencar menayangkan iklan layanan masyarakat di televisi dengan bintang Upin dan Ipin. Isinya, panduan bagi anak untuk menghindar dari para predator seks. Televisi kita mungkin juga perlu meniru langkah tersebut, bukan malah terus sibuk menayangkan konten kekerasan yang ujung-ujungnya justru malah mengorbankan masa depan anak-anak Indonesia.

Yang mengerikan, jika setiap korban sodomi kelak dewasa juga akan menjadi pelaku kejahatan seks seperti Emon, akan jadi apa negeri ini kelak? Jelas spiral atau lingkaran kekerasan seks itu harus kita patahkan dari sekarang. Karena itu, perlu gerakan masal atau koalisi berbagai pihak guna bersama melawan kejahatan dahsyat tersebut.

Di media sosial seperti Facebook atau Twitter sudah muncul desakan agar Indonesia punya national sex offender registry atau daftar pelaku kekerasan seks nasional, yang berisi daftar nama dan foto para pelaku kekerasan seksual, seperti di negara-negara lain. Media massa, baik televisi maupun koran, sesungguhnya juga bisa berperan lebih banyak untuk mengekspos para predator seks agar tidak memakan korban lagi.

Apalagi, dari sisi agama, kita patut malu karena di negeri yang bersila Ketuhanan Yang Maha Esa ini terjadi kasus kejahatan seks yang mengerikan. Tiga agama samawi, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, sama-sama sangat mengutuk perbuatan sodomi. Kata sodomi sendiri berasal dari nama Kota Sodom yang bersama kota Gomora pernah dihancurkan karena azab Allah. Hancurnya dua kota yang, konon, berada di Laut Mati itu disebabkan kejahatan para warganya yang senang melakukan hubungan seks sesama jenis.

Azab Allah memang akan menghukum setiap penjahat seks, khususnya pada anak. Namun, hukum positif kita sebenarnya bisa memberikan efek jera asal vonisnya tidak hanya 15 tahun penjara seperti tertuang dalam UU No 23/2002. Dalam praktik, banyak pelaku yang divonis kurang dari 10 tahun. Vonis tersebut juga terlalu ringan jika dibandingkan dengan banyak negara lain.

Jelas pemerintah dan DPR hasil pileg dan pilpres tahun ini perlu merevisi UU tersebut agar negeri ini bisa steril dari predator seks. Dengan begitu, rasa aman di masyarakat, khususnya di hati para orang tua, bisa pulih kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar