Rabu, 07 Mei 2014

SBY; King Maker atau King Over

SBY; King Maker atau King Over

Arif Afandi ;   Mantan Wartawan, Ketum BKS-BUMD-SI
JAWA POS,  07 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
PEMILIHAN presiden tinggal dua bulan lagi. Partai politik sekarang sedang sibuk menggalang koalisi satu sama lain. Sebab, berdasar hasil hitung cepat (quick count) pemilihan legislatif lalu, ternyata tak ada satu pun parpol yang bisa mengusung calon sendirian. Semua harus bergabung dengan partai lain. Tak ada partai yang memenuhi presidential threshold, 25 persen, batas perolehan suara untuk bisa mencalonkan presiden.

Komposisi perolehan suara membuat peta pilpres ini menjadi sangat menarik. Semua kemungkinan masih bisa terjadi. Masing-masing bisa saling mengunci. Kalau tidak ada perubahan yang luar biasa, baru PDIP yang sudah bisa lolos mengajukan pasangan calon. Tentu kalau sikap Partai Nasional Demokrat tetap tidak berubah.

Yang ditunggu sekarang adalah langkah politik Partai Demokrat pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Perolehan suara partai penguasa selama dua periode ini memang terjun payung. Dari 21 persen di pemilu 2009 menjadi hanya 9 persen dalam pemilu sekarang. Dengan demikian, dia tidak akan leluasa membangun poros baru. Tetapi, suaranya masih sangat berpengaruh.

Pendulum

Banyak yang melupakan bahwa saat pemilihan presiden berlangsung, SBY masih berkuasa penuh sebagai presiden. Ini berbeda dengan beberapa kali pemilu sebelumnya. Hampir setiap suksesi kepemimpinan nasional berlangsung saat presiden tidak lagi mempunyai kekuasaan penuh. Tak jarang presiden seperti lame duck, bebek lumpuh, sebelum pemilihan presiden berlangsung. Singkatnya, suksesi kepemimpinan selalu dilaksanakan pada saat yang digantikan tidak berada dalam kondisi digdaya secara kekuasaan.

Sebut saja, pergantian antara Presiden Soekarno ke Soeharto. Lantas, suksesi kepemimpinan zaman reformasi dari Soeharto ke Habibie. Presiden ketiga ini gagal menjadi presiden lagi karena pertanggungjawabannya ditolak MPR. Dia lantas digantikan KH Abdurrahman Wahid.

Nah, Gus Dur -demikian presiden keempat itu biasa dipanggil- bernasib lebih tragis daripara presiden sebelumnya. Gus Dur hanya berhasil menduduki tampuk kekuasaan selama dua tahun lebih. Dia dilengserkan MPR yang kemudian memilih Megawati Soekarnoputri sebagai presiden. SBY terpilih melalui pilpres langsung pertama. Dia berhasil mengalahkan presiden incumbent Megawati yang hanya berkuasa selama 2,5 tahun.

Kali ini pilpres berlangsung ketika SBY sudah dua periode menjadi presiden. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah memunculkan dan mendukung calon presiden. Hampir semua pengamat mengakui bahwa SBY masih punya kemampuan untuk menggalang poros koalisi baru untuk mengusung capres dan cawapres. Sebagai pemimpin poros koalisi di pemerintahan selama 10 tahun, SBY pasti bisa membangun poros baru untuk tujuan baru.

Lagi pula, dia akan meninggalkan gelanggang kekuasaan tidak dalam keadaan buruk. Berdasar survei, 55 persen warga masih puas dengan kinerja pemerintahan SBY. Dengan persepsi publik seperti itu, dia masih memiliki pengaruh yang cukup jika mendukung calon presiden mendatang. Endorsement (dukungan) SBY tersebut akan menjadi semacam modal dasar elektabilitas bagi capres, siapa pun dia.

Singkatnya, posisi Partai Demokrat sebagai partai menengah dalam perolehan suara dan posisi SBY sebagai presiden tidak bisa diabaikan dalam pilpres saat ini. SBY dengan Partai Demokrat tetap memainkan posisi strategis sebagai pendulum politik di tanah air.

King Over ?

Masalahnya, akan maukah SBY menggunakan peluang membangun poros baru untuk mencalonkan presiden sendiri atau mendukung salah satu dari capres yang ada? Seperti diketahui, paling tidak ada tiga capres yang sudah berusaha menggalang poros koalisi. Mereka adalah Prabowo Subianto (Gerindra), Joko Widodo (PDIP), dan Abu Rizal Bakrie (Golkar). Tiga simpul figur capres inilah yang sekarang sedang berebut dukungan partai lain untuk memenuhi presidential threshold 25 persen suara atau 20 persen kursi di DPR.

Diyakini banyak pihak, SBY sedang menghitung dengan cermat berbagai kemungkinan ini. Keputusan akhir SBY inilah yang sampai sekarang ditunggu sejumlah partai untuk menentukan sikap koalisi. Jika memutuskan mengusung calon sendiri, SBY bisa saja menggalang partai yang selama ini tergabung dalam sekretariat gabungan partai di kabinet yang dia pimpin.

Jika ini terjadi, salah satu di antara tiga poros koalisi yang ada bisa tidak mampu memenuhi presidential threshold. Yang paling terancam tentu poros Gerindra yang mencalonkan Prabowo. Golkar juga bisa terancam jika ngotot mengajukan capres Aburizal Bakrie. Yang sudah dipastikan aman hanyalah PDIP yang sejak awal sudah menggandeng Partai Nasional Demokrat sebagai mitra utamanya.

Tentu yang akan menjadi pertimbangan SBY bukan semata-mata kecukupan dukungan koalisi partai dalam mengusung capres. Dia pasti akan mempertimbangkan akankah capres yang diusung cukup mampu menandingi elektabilitas capres lainnya? Bisakah dia menggalang dukungan dana untuk mengajukan capres alternatif? Apa pun yang disebut terakhir sangat menentukan kemenangan kandidat yang diusungnya.

Yang pasti, jika memutuskan membangun koalisi baru dengan capres alternatif dan memenangkan pilpres, SBY akan dikenang sebagai king maker. Demikian juga kalau dia berkoalisi dengan partai lain mendukung salah satu calon presiden yang ada. Sebaliknya, jika dia tidak mendukung calon yang ada atau tidak membuat poros koalisi baru, partainya akan hanya menjadi oposisi. Jika ini dilakukan, dia akan dikenang sebagai king over alias raja yang sudah habis masa kekuasaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar