Koalisi
Rakyat Vs Partai
FS
Swantoro ; Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 07 Mei 2014
|
PERJALANAN
waktu setelah pileg 9 April lalu hingga sekarang adalah momen partai-partai
menjalin komunikasi untuk menjajaki koalisi. Koalisi menjadi isu sentral yang
menawarkan konstelasi setelah pemilu legislatif. Koalisi antarpartai
merupakan keniscayaan setelah hasil Pemilu 2014 menempatkan PDIP sebagai
pemenang tapi tidak mampu melampaui ambang batas presiden 25% suara nasional.
Posisi
tawar partai menengah menjadi kuat di mata tiga partai besar, PDIP, Golkar,
dan Gerindra. Koalisi antarpartai politik tak boleh hanya bagi-bagi kekuasaan
dan idealnya mendasarkan kesamaan ideologi dan platform. Koalisi ramping
merupakan pilihan rasional untuk membentuk pemerintahan yang efektif dan
tangguh siapa pun presiden yang terpilih. Perjalanan satu dasa warsa terakhir
memberi pelajaran riil ketika kabinet membangun koalisi gemuk yang hampir tak
memberi manfaat bagi efektivitas pemerintahan.
Pada
saat sama kegagalan koalisi pemerintahan SBY juga terjadi di parlemen
mengingat PKS dan Golkar sering tak seiring dengan koalisi yang dipimpin
Partai Demokrat. Padahal secara matematis koalisi yang tergabung dalam setgab
partai pendukung pemerintahan SBY menguasai 75% kursi DPR.
Realitasnya
mereka sering gaduh dan kedodoran. Sebenarnya tak sulit membangun koalisi
yang bermanfaat bagi masa depan bangsa dan negara, yakni berkoalisi dengan
rakyat. Rakyat adalah pemilik kedaulatan dan jika rakyat mendukung partai
pemenang maka kekuatan politik dan tokoh mana pun tak akan bisa
membendungnya.
Jaminan Dukungan
Pada
sisi lain, Gerindra yang mengusung Prabowo Subianto sebagai capres, juga telah
mendapat jaminan dukungan PAN dan PKS, meski dua partai Islam itu masih
meminta klarifikasi Gerindra soal keterlibatan Prabowo dalam pelanggaran HAM
kasus penculikan pada kerusuhan Mei 1998. Jika Prabowo bisa meyakinkan kedua
partai itu, koalisi Gerindra dengan PAN dan PKS tinggal ketok palu mengingat
telah memenuhi syarat presidential threshold.
Dari
gambaran singkat, terbayang minimal ada dua poros yang maju dalam pilpres.
Tinggal Golkar, Demokrat , Hanura, dan PPP yang sampai kini belum jelas arah
koalisinya.
Tapi ada
kemungkinan PPP merapat ke PDIP atau ke Gerindra, bergantung hasil rapimnas
pada bulan ini. Artinya publik tinggal menunggu sikap Golkar, Demokrat dan
Hanura. Sebetulnya, Hanura yang dipimpin Wiranto cenderung ingin merapat ke
PDIP. Tapi, karena faktor Harry Tanoe yang berseberangan dengan Surya Paloh,
Ketua Umum Partai Nasdem, merasa keberatan jika Hanura membawa Harry Tanoe.
Ke mana
Golkar dan Partai Demokrat akan berlabuh (berkoalisi)? Bila Partai Golkar,
Demokrat, dan Hanura berkoalisi, mereka bisa memajukan capres-cawapres
sendiri. Pasalnya berdasarkan hasil hitung cepat, tiga partai ini memenuhi
persyaratan ambang batas presiden 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional .
Berarti
nanti bisa ada tiga poros yang berkontestasi dalam pilpres, yaitu poros
Jokowi, poros Prabowo, dan poros Aburizal Bakrie (ARB). Tapi andai Demokrat
tidak mau berkoalisi dengan Golkar dan Hanura, atau memilih menjadi oposisi
di luar pemerintahan maka Golkar terjepit dan tak bisa maju dalam kontestasi
pilpres.
Dalam
kondisi ’’buruk’’ seperti itu, Golkar cenderung merapat ke PDIP ketimbang ke
Gerindra yang kemungkinan besar memenangi pilpres. Kini semua pimpinan partai
masih menjalin komunikasi intensif sembari menunggu pengumuman hasil pileg
pada 9 Mei mendatang. Untuk itu, PDIP dan Gerindra harus hati-hati dan jangan
terjebak memilih partai yang justru menjadi bumerang bila menggandengnya.
Problem riil sekarang kita menjadi kelompok negara dengan pendapatan
menengah, berpendapatan per kapita 3.542,9 dolar AS.
Hal itu
menjadi tidak bermakna ketika kita memahami bahwa yang menikmati kue
pembangunan sebenarnya timpang dan tidak proporsional. Merujuk indikator
pembangunan dari Bank Dunia (2013), 10% penduduk memiliki 65,4% dari aset
total nasional. Indonesia berada pada peringkat ke-17 negara dengan
kesenjangan ekonomi tinggi, dari 150 negara yang disurvei.
Tidak
mengherankan angka indeks Gini makin melebar dari 0,329 pada 2002 menjadi
0,413 pada 2011, apalagi dibanding era Orde Baru sebesar 0,3. Hal itu menunjukkan
kesenjangan ekonomi antara orang kaya dan miskin pada era reformasi semakin
melebar. Ketimpangan ekonomi masih ditambah makin sulitnya akses rakyat atas
pangan, energi, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan.
Untuk
itu, pemerintah hasil koalisi harus berani menjadikan angka penurunan
kemiskinan dan kesenjangan ekonomi sebagai tolok ukur pembangunan, dengan
memasukkan persyaratan itu menjadi asumsi dasar dan target penyusunan APBN.
Kata kuncinya adalah berkoalisi dengan rakyat dan bukan berkoalisi dengan
partai politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar