Pertanian
Jelang Masyarakat Ekonomi ASEAN
Mida
Saragih ; Koordinator
Nasional Forum Masyarakat Sipil
untuk Keadilan
Iklim; Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum UGM
|
KOMPAS,
19 Mei 2014
|
DUA
pekan sebelum menghadiri KTT Ke-24 ASEAN di Myanmar, 11-13 Mei 2014, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014
tentang Daftar Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka dengan
Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
Salah
satu jantung perekonomian negara ini, yakni pertanian, turut diatur di
dalamnya. Aturan ini jadi sorotan nasional karena membuka habis-habisan
sektor pertanian tanpa proteksi. Misalnya, untuk usaha budidaya tanaman
pangan. Dalam aturan ini, investasi asing dibolehkan hingga 49 persen untuk
usaha budidaya tanaman pangan seluas lebih dari 25 hektar, seperti padi,
jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, dan ubi jalar.
Usaha
industri perkebunan lebih parah lagi. Pemerintah membolehkan keberadaan
investasi asing untuk perbenihan hingga 95 persen bagi usaha seluas lebih
dari 25 hektar, yang berlaku bagi tanaman jarak, tebu, tembakau, bahan baku
tekstil dan kapas, jambu mete, kelapa, kelapa sawit; teh, kopi, dan kakao;
dan lada, cengkeh, minyak atsiri, tanaman obat, rempah-rempah, dan karet.
Usaha perkebunan, baik yang terintegrasi dengan unit pengolahan maupun tidak,
plus industri pengolahannya, juga boleh dikuasai asing hingga 95 persen.
Lalu,
untuk usaha perbenihan dan budidaya hortikultura, seperti anggur, buah
semusim, jeruk, apel, buah beri; sayuran daun, sayuran umbi, dan sayuran
buah; tanaman hias dan jamur, dibolehkan investasi asing maksimal 30 persen.
Tak ketinggalan untuk usaha pengolahan, wisata agro hortikultura berikut
usaha jasanya (masing-masing maksimal 30 persen modal asing); usaha
penelitian dan uji mutu hortikultura (maksimal 30 persen modal asing);
penelitian, pengembangan ilmu, serta teknologi rekayasa (maksimal 49 persen
modal asing).
Argumen pemerintah
Pemerintah
mengklaim penerbitan perpres itu untuk menopang komitmen Indonesia dalam
mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015. MEA merupakan pekerjaan
besar, di mana barang, jasa, buruh terlatih, dan ekspansi modal bisa bergerak
bebas dalam satu kawasan. MEA juga berarti penyatuan ekonomi di Asia Tenggara
karena investasi, produksi, dan pasar jadi tidak terbatas untuk menopang
rantai pasokan barang hingga ke negara-negara Barat.
Dalam
hubungan antar-kawasan, integrasi ekonomi MEA merupakan fondasi untuk
membangun poros Asia Tenggara yang kuat sekaligus menghendaki pengorbanan
kedaulatan. Kenyataannya, hampir semua negara anggota enggan menjalankannya
karena rasa tak saling percaya. Tetapi, dengan kondisi semacam itu pun,
Presiden Yudhoyono tetap mengumumkan Perpres No 39/2014 dengan dalih
optimisme terbentuknya MEA.
Dari
situ, upaya untuk mewujudkan masyarakat ekonomi bersama seolah jadi dambaan
yang mau tidak mau harus dipahami jadi solusi untuk menjawab persoalan
perekonomian antarnegara se-ASEAN. Termasuk dalam hal ini upaya untuk
menyelesaikan berbagai persoalan ekonomi di Tanah Air.
Padahal,
di dalam negeri, sektor pertanian kita masih tertinggal dan dibebani volume
impor komoditas pangan dan hortikultura yang terus meningkat, seperti beras,
kedelai, jagung, gula, buah-buahan, dan bawang putih. Untuk kebutuhan di
dalam negeri, data terakhir 2013 menyebutkan ketergantungan pada 100 persen
impor gandum, 54 persen impor gula, dan 95 persen bawang putih. Tapi, tahu
kebutuhan akan pangan terus meningkat, pemerintah tak juga melaksanakan upaya
nyata untuk mengurangi ketergantungan impor.
Sementara
jumlah penduduk miskin di Indonesia terus bertambah 480.000 jiwa dalam kurun
waktu tujuh tahun, menjadi 28 juta jiwa, terhitung sejak Maret-September 2013.
Pola yang berbeda dengan jumlah penduduk miskin, jumlah petani di Indonesia
susut 480.000 setiap tahunnya. Menurut data BPS, jumlah petani di Indonesia
kini tersisa 40 juta per Februari tahun ini, dari sebelumnya 41 juta lebih
pada periode Februari 2013.
Merujuk
pada sumber daya manusia, Indonesia termasuk yang masih rendah untuk semua
bidang. Dari 110,8 juta orang yang bekerja hingga Agustus 2013, sebanyak 52
juta tenaga kerja (46,9 persen) berpendidikan SD.
Belum
lagi masalah aktual yang juga perlu aksi nyata, misalnya terkait kegagalan
panen. Mulai dari akibat serangan hama pengganggu tanaman karena kemarau
basah tiga tahun terakhir sampai penggunaan pestisida berlebihan, bencana
banjir, dan kekeringan (Dwi Andreas
Santosa, Kompas, 14/2/2014). Sementara dukungan pemerintah untuk adaptasi
dan mitigasi guna mengantisipasi penurunan produksi kerap tertinggal.
Jika
mengacu pada kondisi riil yang ada, apakah semua data statistik itu cukup
menguatkan argumen pemerintah untuk nyemplung ke wadah masyarakat bersama?
Atau setidaknya apakah pemerintah sudah bertanya kepada masyarakat mengenai
kesiapan mereka berbaur dalam MEA? Berkaitan dengan antisipasi dampak buruk
perdagangan bebas, selama ini ASEAN tak pernah memberikan perhatian secara
khusus. Ini karena ASEAN lagi-lagi hanya memusatkan perhatian pada
perdagangan bebas sebagai penggerak utama integrasi. Dari situ, sentralitas
ASEAN seperti bergantung sepenuhnya pada pemikiran para pemimpin negara meski
masyarakat sipil berusaha melibatkan diri melalui dialog tahunan Forum
Masyarakat ASEAN.
Alhasil
berbagai perjanjian ekonomi kawasan dan kebijakan nasional dalam rangka MEA
otomatis jadi hukum yang asing bagi petani kita karena hanya bisa dibuat dan
bahkan dipahami oleh individu yang berbekal pendidikan khusus. Beragam
perjanjian ASEAN yang tak bisa diubah ini jelas merugikan Indonesia. Terlebih
proses negosiasi perdagangan bebas di ASEAN ini berlangsung secara top-down
sehingga praktis meminggirkan kaum tani. Petani kita sebagai elemen penting
perekonomian nasional akan memasuki pasar bebas kawasan sendirian tanpa
perlindungan dari pemerintah. Bappenas belum menyiapkan strategi pertanian
nasional menghadapi MEA. Entah dengan cara apa pemerintah bisa
menyejahterakan petani di era MEA.
Tugas utama
Yang pasti,
terbitnya daftar negatif investasi lewat Perpres No 39/2014 dan berlakunya
MEA 2015 lebih menguntungkan petani dari negara tertentu. Argumennya tentu
merujuk kemampuan mereka memproduksi pangan yang tinggi, penguasaan ilmu
pertanian, dan koneksi usaha yang memadai. Contoh nyata, satu pabrik gula di
Thailand dapat menghasilkan hingga 13.000 ton gula per hari, sedangkan
Indonesia hanya mampu memproduksi 3.000 ton per hari.
Dengan
begitu, semua peluang dan kesempatan perdagangan bebas akan mudah mereka raih.
Petani di Indonesia yang sebagian besar berusia nonproduktif (55-60 tahun)
hanya akan jadi penonton karena minus modal, miskin informasi, dan jaringan.
Indonesia
memiliki populasi, luas kawasan, dan ekonomi terbesar di ASEAN. Dengan modal
itu, seharusnya pemerintah lebih tanggap terhadap kepentingan nasional
sebelum bereaksi terhadap berbagai isu kawasan. Karena itu, dalam waktu yang
sangat singkat, pemerintah punya sederet tugas mendesak untuk memperkuat
sektor pertanian.
Pertama,
pemerintah belum menghitung secara persis kesiapan dan daya dukung nasional
dalam menghadapi pasar bebas. Itu sebabnya, Perpres No 39/2014 harus segera
dievaluasi, baik terkait sektor pertanian maupun bidang penting lain, seperti
jasa, manufaktur, dan energi.
Kedua,
gula dari Thailand dan beras dari Vietnam sedang merajai ASEAN. Indonesia
bakal sulit bersaing pada dua komoditas tersebut. Maka, pemerintah harus
segera mendongkrak kapasitas produksi, kualitas pengetahuan, dan permodalan
agar Indonesia tidak bergantung pada impor. Terlebih akibat peningkatan
konsumsi dan pertumbuhan populasi, pasokan pangan dunia semakin seret.
Tiongkok menargetkan impor beras hingga 4 juta ton pada tahun ini, sementara
Filipina menetapkan 1,2 juta ton pasokan beras dari impor dan Malaysia 1,1 juta
ton.
Ketiga,
Pemerintah Indonesia perlu menyiapkan perlindungan tarif bagi petani dengan
penetapan tarif maksimal untuk produk impor, khususnya padi, jagung, gula,
teh, kopi, buah-buahan, sayur-mayur, dan pelbagai produk hortikultura lain
yang merupakan sumber mata pencaharian dan pangan penting penopang kecukupan
gizi bangsa.
Keempat,
pemerintah perlu terus-menerus menyediakan subsidi dan pengadaan kredit lunak
bagi petani guna meningkatkan kemampuan mereka memasok kebutuhan pertanian
seperti benih dan pupuk. Konsistensi strategi pertanian jangka panjang yang
mampu melindungi petani mulai dari praproduksi hingga distribusi akan jauh
lebih mulia ketimbang mengandalkan usaha asing yang lantas melemahkan sektor
pertanian di Indonesia. Jadi, pertanyaannya bukan soal mampu atau tidaknya,
melainkan kemauan dan komitmen pemerintah memulihkan peran dalam melindungi
bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar