Senin, 19 Mei 2014

Kepastian Hukum dalam Pemilu

Kepastian Hukum dalam Pemilu

Ramlan Surbakti  ;   Guru Besar Perbandingan Politik
FISIP Universitas Airlangga, Surabaya
KOMPAS,  19 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
UNDANG-Undang Pemilu yang berisi penjabaran pemilu yang demokratis dan mengandung kepastian hukum merupakan parameter kedua dari pemilu yang adil dan berintegritas.

Sebagian negara memiliki UU tentang pemilu yang menjamin kepastian hukum, tetapi isi UU Pemilu tidak menjabarkan prinsip-prinsip pemilu yang demokratis. Pemilu seperti inilah yang disebut sebagai authoritarian election sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru. Pemilu yang diselenggarakan berdasarkan UU Pemilu yang tidak hanya berisi penjabaran prinsip-prinsip pemilu demokratis, tetapi juga mengandung kepastian, merupakan pemilu demokratis.

Berikut prinsip-prinsip demokrasi yang harus dijabarkan dalam UU Pemilu. Pertama, kesetaraan antarwarga negara dalam pemilu baik dalam keterwakilan maupun pemungutan dan penghitungan suara. Kedua, persaingan yang bebas dan adil antarpeserta pemilu. Ketiga, partisipasi semua unsur masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu.

Keempat, penyelenggara pemilu yang independen dan profesional. Kelima, pemungutan dan penghitungan suara serta rekapitulasi hasil perhitungan suara berdasarkan asas-asas pemilu yang demokratis. Keenam, penyelesaian sengketa pemilu yang adil dan tepat waktu.

Kepastian hukum dalam pengaturan pemilu akan terwujud apabila (1) semua aspek pemilu diatur secara komprehensif sehingga tidak terjadi kekosongan hukum; (2) semua ketentuan yang mengatur pemilu konsisten satu sama lain sehingga tidak terjadi kontradiksi antar-ketentuan; (3) semua ketentuan mengandung arti yang jelas dan tunggal sehingga tidak terjadi ketentuan yang multitafsir; dan (4) semua ketentuan dapat dilaksanakan.

Prinsip demokrasi

UU No 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD belum sepenuhnya memenuhi parameter pemilu yang adil dan berintegritas, tetapi sudah lebih baik daripada undang-undang yang mengatur penyelenggaraan Pemilu 2009 (UU No 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD). Sebagian besar parameter pemilu yang adil dan berintegritas sudah diatur dalam UU Pemilu, tetapi isinya belum sepenuhnya bermuatan keadilan dan berintegritas.

Berikut merupakan data pendukung penilaian ini.

Alokasi kursi DPR kepada provinsi dan pembentukan daerah pemilihan (dapil) yang menjamin kesetaraan antarwarga negara belum diatur secara lengkap. Alokasi kursi dan dapil ditetapkan begitu saja oleh pembuat UU dan dijadikan sebagai lampiran UU tanpa kriteria dan proses yang jelas. Tidak heran kalau "harga" kursi paling mahal dan paling murah untuk DPR terletak di provinsi di luar Pulau Jawa dan setidak-tidaknya tiga dapil DPR yang janggal karena merupakan gabungan sejumlah kabupaten/kota.

Namun, di antara kabupaten/kota itu terdapat kabupaten yang menjadi bagian dari dapil lain. UU Pemilu malahan tak menjamin ”setiap suara dihitung secara setara” karena adanya ambang batas masuk DPR sebesar 3,5 persen dan pemberian suara kepada seorang nama calon bernilai lebih tinggi daripada pemberian suara kepada satu partai. Berbagai aspek untuk menjamin persaingan yang bebas dan adil antarpeserta pemilu sudah diatur, tetapi belum diatur secara lengkap. Pengaturan dana kampanye, misalnya, tidak hanya belum diatur secara lengkap, tetapi juga belum mengarah pada upaya menjamin persaingan yang adil. Partisipasi berbagai unsur masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu sudah diatur dalam UU Pemilu walaupun belum sistematik.

Pemantauan pemilihan umum, misalnya, tidak ditempatkan pada bab tentang partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu. Namun, lembaga survei sudah ditempatkan pada bab partisipasi masyarakat. Terdapat ketidakadilan dalam pengaturan sanksi. Unsur masyarakat yang melanggar ketentuan dikenai sanksi, tetapi pihak lain yang mempersukar akses unsur masyarakat berpartisipasi tidak dikenai sanksi.

Penyelenggara pemilu yang independen dan profesional sudah diatur dalam UU tersendiri. Seleksi dan rincian tugas panitia pelaksana pemungutan suara yang bersifat ad hoc (KPPS, PPS, dan PPK) sudah diatur, tapi persyaratan dan seleksi belum sepenuhnya menggambarkan independensi dan profesionalitas. Penyelesaian sengketa pemilu yang adil dan tepat waktu juga sudah diatur secara relatif lengkap walaupun masih perlu disempurnakan.

Integritas pemungutan dan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil perhitungan suara pada umumnya sudah diatur berdasarkan asas-asas pemilu, tetapi masih ada sejumlah aspek penting yang belum diatur. Salah satu aspek yang belum diatur adalah upaya menjamin kesetaraan dalam penggunaan hak pilih. Misalnya, kesempatan memberikan suara kepada pemilih yang sudah terdaftar karena suatu hal tidak bisa memberikan suara pada hari pemungutan suara; mahasiswa dan pekerja yang sudah terdaftar di daerah asal tetapi tengah kuliah atau bekerja di daerah lain; pemilih difabel yang sudah terdaftar; dan pemilih yang tinggal di pedalaman yang jauh dari pusat kegiatan.

Kepastian hukum

Dari segi kepastian hukum, UU No 8/2012 juga sudah lebih baik daripada UU No 10/2008. Aspek apa saja yang belum diatur dalam UU Pemilu sudah dikemukakan di atas. Karena itu, dari segi cakupan hukum, UU Pemilu masih mengandung kekosongan hukum. Kriteria alokasi kursi DPR kepada provinsi, persyaratan dan pembentukan dapil, pengendalian dana kampanye, dan sanksi administratif bagi pelanggaran ketentuan administrasi pemilu (partai wajib menyimpan sumbangan dana di dalam dan membiayai kegiatan kampanye dari dana yang disimpan di rekening khusus dana kampanye, tetapi tanpa sanksi apa pun bagi partai yang tak mematuhinya) merupakan empat aspek yang masih mengandung kekosongan hukum.

Dari segi konsistensi antarketentuan, UU Pemilu juga mengandung sejumlah kontradiksi. Sebagai ilustrasi, dua contoh diberikan. Pelaksana kampanye, petugas kampanye, dan peserta kampanye dilarang melakukan satu sampai sepuluh tindakan yang dikategorikan tindak pidana (Pasal 86 Ayat (1) Huruf a sampai dengan Huruf j). Akan tetapi, pada Pasal 301, hanya pelaksana kampanye saja yang akan diproses secara hukum kalau terbukti melanggar ketentuan Pasal 86 Ayat (1).

Karena itu, timbul pertanyaan, apakah peserta kampanye atau petugas kampanye yang terbukti melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 86 Ayat (1) akan diproses secara hukum? Sebagian pihak yang berangkat dari perspektif keadilan berpandangan penyimpangan itu harus diproses secara hukum. Akan tetapi, pihak yang berangkat dari perspektif hukum tekstual berpandangan penyimpangan itu tidak dapat diproses secara hukum.

Ketentuan pidana pemilu dirumuskan sebagai tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan pemilu (Pasal 260). Namun, rincian pasal pada Bab Ketentuan Pidana Pemilu hanya dibagi dua, yaitu pasal-pasal mengenai tindak pidana pemilu yang masuk kategori pelanggaran dan pasal-pasal mengenai tindak pidana pemilu yang masuk kategori kejahatan. Tidak ada pasal tindak pidana pemilu yang termasuk kategori pelanggaran dan kejahatan sekaligus. Seharusnya rumusan Pasal 260 tidak menggunakan kata ”atau” dan tanda garis miring (/).

UU Pemilu juga mengandung sejumlah ketentuan yang tidak dapat dilaksanakan. Ketentuan yang tidak dapat dilaksanakan terutama tampak pada Bab Ketentuan Pidana Pemilu, khususnya yang mengatur batas waktu bagi Bawaslu, Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan untuk melaksanakan tugas masing-masing. Pengaturan batas waktu bagi setiap pihak untuk menyelesaikan tugasnya memang penting diatur demi memenuhi parameter penyelesaian yang tepat waktu. Akan tetapi, batas waktu yang ditentukan dalam UU itu sangat tak realistis bagi semua pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar