Kepastian
Hukum dalam Pemilu
Ramlan
Surbakti ; Guru Besar
Perbandingan Politik
FISIP
Universitas Airlangga, Surabaya
|
KOMPAS,
19 Mei 2014
|
UNDANG-Undang
Pemilu yang berisi penjabaran pemilu yang demokratis dan mengandung kepastian
hukum merupakan parameter kedua dari pemilu yang adil dan berintegritas.
Sebagian
negara memiliki UU tentang pemilu yang menjamin kepastian hukum, tetapi isi
UU Pemilu tidak menjabarkan prinsip-prinsip pemilu yang demokratis. Pemilu
seperti inilah yang disebut sebagai authoritarian election sebagaimana
terjadi pada masa Orde Baru. Pemilu yang diselenggarakan berdasarkan UU
Pemilu yang tidak hanya berisi penjabaran prinsip-prinsip pemilu demokratis,
tetapi juga mengandung kepastian, merupakan pemilu demokratis.
Berikut
prinsip-prinsip demokrasi yang harus dijabarkan dalam UU Pemilu. Pertama,
kesetaraan antarwarga negara dalam pemilu baik dalam keterwakilan maupun
pemungutan dan penghitungan suara. Kedua, persaingan yang bebas dan adil
antarpeserta pemilu. Ketiga, partisipasi semua unsur masyarakat dalam
penyelenggaraan pemilu.
Keempat,
penyelenggara pemilu yang independen dan profesional. Kelima, pemungutan dan
penghitungan suara serta rekapitulasi hasil perhitungan suara berdasarkan
asas-asas pemilu yang demokratis. Keenam, penyelesaian sengketa pemilu yang
adil dan tepat waktu.
Kepastian
hukum dalam pengaturan pemilu akan terwujud apabila (1) semua aspek pemilu
diatur secara komprehensif sehingga tidak terjadi kekosongan hukum; (2) semua
ketentuan yang mengatur pemilu konsisten satu sama lain sehingga tidak
terjadi kontradiksi antar-ketentuan; (3) semua ketentuan mengandung arti yang
jelas dan tunggal sehingga tidak terjadi ketentuan yang multitafsir; dan (4)
semua ketentuan dapat dilaksanakan.
Prinsip demokrasi
UU No
8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD belum sepenuhnya memenuhi
parameter pemilu yang adil dan berintegritas, tetapi sudah lebih baik
daripada undang-undang yang mengatur penyelenggaraan Pemilu 2009 (UU No
10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD). Sebagian besar parameter
pemilu yang adil dan berintegritas sudah diatur dalam UU Pemilu, tetapi
isinya belum sepenuhnya bermuatan keadilan dan berintegritas.
Berikut
merupakan data pendukung penilaian ini.
Alokasi
kursi DPR kepada provinsi dan pembentukan daerah pemilihan (dapil) yang
menjamin kesetaraan antarwarga negara belum diatur secara lengkap. Alokasi
kursi dan dapil ditetapkan begitu saja oleh pembuat UU dan dijadikan sebagai
lampiran UU tanpa kriteria dan proses yang jelas. Tidak heran kalau
"harga" kursi paling mahal dan paling murah untuk DPR terletak di
provinsi di luar Pulau Jawa dan setidak-tidaknya tiga dapil DPR yang janggal
karena merupakan gabungan sejumlah kabupaten/kota.
Namun,
di antara kabupaten/kota itu terdapat kabupaten yang menjadi bagian dari
dapil lain. UU Pemilu malahan tak menjamin ”setiap suara dihitung secara
setara” karena adanya ambang batas masuk DPR sebesar 3,5 persen dan pemberian
suara kepada seorang nama calon bernilai lebih tinggi daripada pemberian
suara kepada satu partai. Berbagai aspek untuk menjamin persaingan yang bebas
dan adil antarpeserta pemilu sudah diatur, tetapi belum diatur secara
lengkap. Pengaturan dana kampanye, misalnya, tidak hanya belum diatur secara
lengkap, tetapi juga belum mengarah pada upaya menjamin persaingan yang adil.
Partisipasi berbagai unsur masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu sudah
diatur dalam UU Pemilu walaupun belum sistematik.
Pemantauan
pemilihan umum, misalnya, tidak ditempatkan pada bab tentang partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu. Namun, lembaga survei sudah
ditempatkan pada bab partisipasi masyarakat. Terdapat ketidakadilan dalam
pengaturan sanksi. Unsur masyarakat yang melanggar ketentuan dikenai sanksi,
tetapi pihak lain yang mempersukar akses unsur masyarakat berpartisipasi
tidak dikenai sanksi.
Penyelenggara
pemilu yang independen dan profesional sudah diatur dalam UU tersendiri.
Seleksi dan rincian tugas panitia pelaksana pemungutan suara yang bersifat ad
hoc (KPPS, PPS, dan PPK) sudah diatur, tapi persyaratan dan seleksi belum
sepenuhnya menggambarkan independensi dan profesionalitas. Penyelesaian
sengketa pemilu yang adil dan tepat waktu juga sudah diatur secara relatif
lengkap walaupun masih perlu disempurnakan.
Integritas
pemungutan dan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil perhitungan suara
pada umumnya sudah diatur berdasarkan asas-asas pemilu, tetapi masih ada
sejumlah aspek penting yang belum diatur. Salah satu aspek yang belum diatur
adalah upaya menjamin kesetaraan dalam penggunaan hak pilih. Misalnya,
kesempatan memberikan suara kepada pemilih yang sudah terdaftar karena suatu
hal tidak bisa memberikan suara pada hari pemungutan suara; mahasiswa dan pekerja
yang sudah terdaftar di daerah asal tetapi tengah kuliah atau bekerja di
daerah lain; pemilih difabel yang sudah terdaftar; dan pemilih yang tinggal
di pedalaman yang jauh dari pusat kegiatan.
Kepastian hukum
Dari
segi kepastian hukum, UU No 8/2012 juga sudah lebih baik daripada UU No
10/2008. Aspek apa saja yang belum diatur dalam UU Pemilu sudah dikemukakan
di atas. Karena itu, dari segi cakupan hukum, UU Pemilu masih mengandung
kekosongan hukum. Kriteria alokasi kursi DPR kepada provinsi, persyaratan dan
pembentukan dapil, pengendalian dana kampanye, dan sanksi administratif bagi
pelanggaran ketentuan administrasi pemilu (partai wajib menyimpan sumbangan
dana di dalam dan membiayai kegiatan kampanye dari dana yang disimpan di
rekening khusus dana kampanye, tetapi tanpa sanksi apa pun bagi partai yang
tak mematuhinya) merupakan empat aspek yang masih mengandung kekosongan
hukum.
Dari
segi konsistensi antarketentuan, UU Pemilu juga mengandung sejumlah
kontradiksi. Sebagai ilustrasi, dua contoh diberikan. Pelaksana kampanye,
petugas kampanye, dan peserta kampanye dilarang melakukan satu sampai sepuluh
tindakan yang dikategorikan tindak pidana (Pasal 86 Ayat (1) Huruf a sampai
dengan Huruf j). Akan tetapi, pada Pasal 301, hanya pelaksana kampanye saja yang
akan diproses secara hukum kalau terbukti melanggar ketentuan Pasal 86 Ayat
(1).
Karena
itu, timbul pertanyaan, apakah peserta kampanye atau petugas kampanye yang
terbukti melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 86 Ayat (1) akan
diproses secara hukum? Sebagian pihak yang berangkat dari perspektif keadilan
berpandangan penyimpangan itu harus diproses secara hukum. Akan tetapi, pihak
yang berangkat dari perspektif hukum tekstual berpandangan penyimpangan itu
tidak dapat diproses secara hukum.
Ketentuan
pidana pemilu dirumuskan sebagai tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan
pemilu (Pasal 260). Namun, rincian pasal pada Bab Ketentuan Pidana Pemilu
hanya dibagi dua, yaitu pasal-pasal mengenai tindak pidana pemilu yang masuk
kategori pelanggaran dan pasal-pasal mengenai tindak pidana pemilu yang masuk
kategori kejahatan. Tidak ada pasal tindak pidana pemilu yang termasuk
kategori pelanggaran dan kejahatan sekaligus. Seharusnya rumusan Pasal 260
tidak menggunakan kata ”atau” dan tanda garis miring (/).
UU
Pemilu juga mengandung sejumlah ketentuan yang tidak dapat dilaksanakan.
Ketentuan yang tidak dapat dilaksanakan terutama tampak pada Bab Ketentuan
Pidana Pemilu, khususnya yang mengatur batas waktu bagi Bawaslu, Polri,
Kejaksaan, dan Pengadilan untuk melaksanakan tugas masing-masing. Pengaturan
batas waktu bagi setiap pihak untuk menyelesaikan tugasnya memang penting
diatur demi memenuhi parameter penyelesaian yang tepat waktu. Akan tetapi,
batas waktu yang ditentukan dalam UU itu sangat tak realistis bagi semua
pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar