Peluang
Makroprudensial
HR
Fasha ; Peneliti
Stabilitas Sistem Keuangan, BI
|
KOMPAS,
19 Mei 2014
|
KRISIS
keuangan global 2007-2008 yang dipicu bangkrutnya Lehman Brothers, lembaga
keuangan terbesar keempat dunia, memberi empat pelajaran.
Pertama,
otoritas yang ada saat itu tak memadai menjaga stabilitas sistem keuangan
(SSK). Otoritas moneter ataupun mikroprudensial tak dapat mencegah bahkan
gagal memberi sinyal akan datangnya krisis. Kedua, biaya krisis amat
tinggi—mencapai 56 persen produk domestik bruto—dibandingkan dengan biaya
untuk mencegahnya.
Ketiga,
dampak negatif terhadap kinerja sektor riil. Kinerja perekonomian Amerika
Serikat mengalami kontraksi, bahkan resesi selama enam kuartal (2008-2009).
Perekonomian dunia pun, khususnya negara maju, mengalami resesi.
Terakhir,
instabilitas politik dan kekuasaan. Rezim pemerintah yang berkuasa
bertumbangan. Di Inggris, Partai Konservatif (David Cameron) menggantikan
petahana Partai Buruh (Gordon Brown) yang berkuasa empat periode. Hal serupa
terjadi di AS, Italia, Yunani, dan Siprus. Saat krisis keuangan 1997-1998,
Indonesia turut andil melengserkan rezim yang berkuasa 32 tahun.
Namun,
krisis keuangan global menumbuhkan kesadaran arti pentingnya SSK serta
kebijakan makroprudensial yang diyakini banyak pakar mampu mencegah atau
mengurangi dampak krisis. Fokus kebijakan makroprudensial antara lain
mencegah ketidakseimbangan sistem keuangan dan mengurangi risiko sistemik.
Empat risiko utama
Salah
satu definisi kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang ditetapkan bank
sentral untuk mencapai dan memelihara SSK, melalui pengaturan dan pengawasan
sistem keuangan, untuk mencegah dan membatasi risiko sistemik, meningkatkan
fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, dan meningkatkan akses dan
efisiensi sistem keuangan agar perekonomian nasional tumbuh stabil dan
berkelanjutan.
Pertama,
risiko eksternal sis- tem keuangan global. Sistem keuangan global dalam
kondisi dan tren ketakseimbangan yang kian memburuk. Studi oleh Oxfam (2014),
lembaga nirlaba berpusat di Inggris, menunjukkan bahwa gabungan kekayaan 85
orang terkaya dunia sebesar 1 triliun poundsterling, setara dengan gabungan
kekayaan 3,5 miliar penduduk miskin dunia.
Ketidakseimbangan
global ini akhirnya akan berdampak pada SSK Indonesia. Yang lebih
mengkhawatirkan, masih menurut Oxfam, warga superkaya dunia dengan kekuasaan
dan sumber daya yang dimiliki memengaruhi berbagai kebijakan dan sistem hukum
untuk menguntungkan mereka, tetapi kurang peduli terhadap sisa penduduk dunia
lainnya. Sisi negatif sistem kapitalisme belum ada penawarnya.
Kedua,
risiko internal (pengawasan) sistem keuangan. Pemisahan fungsi pengawas
makroprudensial (BI) dan pengawas mikroprudensial (Otoritas Jasa Keuangan)
menimbulkan risiko koordinasi dan kesenjangan data dan informasi yang sangat
kritis untuk menghasilkan SSK dan kebijakan makroprudensial yang kredibel.
Seperti
dialami Inggris, pemisahan fungsi pengawas makroprudensial (bank sentral)
dengan pengawas mikroprudensial (FSA) terbukti gagal. Akhirnya Inggris
mengembalikan pengawasan tersebut ke bank sentral setelah sempat dipisah
beberapa tahun. Koordinasi mudah di atas kertas, tetapi susah diwujudkan.
Agar
Indonesia tak mengulang kegagalan Inggris, model pengawasan SSK di Jerman dan
AS dapat jadi acuan. Model Jerman, misalnya, pengawas makroprudensial (bank
sentral) dan mikroprudensial (BaFin) memiliki data dan informasi yang
identik, bahkan keduanya berwenang melakukan pemeriksaan dengan tujuan
masing-masing meski ada sedikit risiko duplikasi. Namun, mereka lebih
memprioritaskan mencegah risiko kegagalan SSK daripada mempersoalkan risiko
duplikasi pemeriksaan.
Ketiga,
risiko teori iron triangle (Hubert,
2003), yaitu politikus, pebisnis, dan birokrat pemerintahan bekerja sama
memaksimalkan kepentingan masing-masing, bukan kepentingan bangsa. Terlebih
tren pebisnis merangkap politikus dan politikus menjadi birokrat semakin
meningkat dan mengkhawatirkan di Indonesia. Kasus Banten adalah contoh
terbaru dari aplikasi teori itu.
Tegas dan konsisten
Berkaca
dari kasus Robert Tantular dan kawan-kawan, pebisnis sebagai
pemilik/pengendali bank justru menjadi risiko utama sehingga otoritas terkait
perlu lebih ekstra hati-hati, tegas, dan konsisten menegakkan aturan main
agar sistem keuangan bermanfaat optimal bagi pembangunan bangsa, bukan
menjadi beban. Kebijakan nol toleransi kepatuhan terhadap pelanggaran aturan
main perlu lebih diwujudkan sehingga tidak ada lagi pemilik, pengendali, atau
pengelola bank mencoba bermain atau berulah menguras energi dan dana bangsa.
Terakhir,
risiko terkonsentrasinya alokasi kredit pada debitor besar. Untuk itu,
kebijakan makroprudensial harus dilengkapi kewenangan pengaturan yang
memadai. Misalnya, mengatur alokasi kredit ke sektor yang masih menyumbang
defisit transaksi berjalan atau mendorong ekspor, bagi 100 debitor terbesar
penikmat alokasi kredit dalam 5-10 tahun terakhir. Jika tidak, alokasi kredit
tersebut dialihkan kepada UMKM/debitor lainnya yang selama ini porsi mereka
tertutup debitor besar. Maka, risiko debitor besar pun dapat dikendalikan.
Jika
faktor lainnya dianggap konstan, alokasi kredit akan berimbang, efektif, dan
perekonomian tumbuh dan berkualitas. Sayangnya, instrumen makroprudensial
saat ini hanya mengatur sampai tingkat sektoral seperti pembatasan penyaluran
kredit untuk sektor tertentu, properti misalnya.
Hakikat
pencegahan krisis keuangan dari sudut lain adalah seni mengatur dan
mengendalikan perilaku pelaku sektor keuangan sesuai dengan ungkapan bijak
”makanlah ketika lapar dan berhentilah sebelum kenyang”. Kewenangan bank
sentral dan instrumen makroprudensialnya sepatutnya mewujudkan hal itu:
mengalokasikan kredit perbankan ke sektor/(calon) debitor yang masih
kelaparan dan menghentikan ke sektor/debitor gendut yang sudah kekenyangan.
Bukan sebaliknya. Maka, alokasi kredit dapat efektif efisien memakmurkan
rakyat serta jadi obat alternatif kapitalisme.
Badai
krisis global telah berlalu. Saatnya politikus, pebisnis, dan birokrat
terintegrasi bekerja sama mencapai dan menjaga SSK, menyelesaikan inti soal
struktural ekonomi Indonesia.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar