Mencegah
Krisis Listrik Berulang
Nur
Pamudji ; Direktur Utama PT PLN (Persero)
|
KOMPAS,
23 Mei 2014
TULISAN
M Jusuf Kalla di Kompas, 3 Maret 2014, lebih banyak menyorot satu sumber
krisis listrik: kemampuan pemerintah melalui PLN untuk membangun pembangkit
listrik baru. Untuk mencegah krisis listrik berulang, selain soal pembangkit
listrik baru, juga diperlukan cara eksekusi yang berbeda dengan cara yang
selama ini ditempuh. Terutama menyangkut penerbitan izin lokasi dari
pemerintah daerah, penerbitan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), cara
pembebasan tanah serta cara pelibatan investor listrik swasta, dan perbaikan
regulasi ketenagalistrikan agar bisa menjamin kemampuan pemerintah melalui
PLN mendanai investasi.
Pemerintah
melalui PLN merencanakan tambahan pembangkit, transmisi, dan gardu induk
dalam bentuk Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) di setiap
provinsi sampai 10 tahun mendatang. Bila eksekusi RUPTL sama dengan cara
sekarang, pasti terjadi krisis listrik yang meluas, termasuk di Jawa-Bali,
pada era pemerintah mendatang. Penyebabnya, ya, cara kerja Indonesia Inc yang
lamban, yang tak cocok dengan ekonomi Indonesia yang sedang mengalami
akselerasi.
Sejak
2009 sampai sekarang, tambahan 5.820 MW dari proyek 10.000 MW dan 2.640 MW
dari listrik swasta telah berhasil mencegah krisis pasokan listrik di Jawa,
pusat ekonomi yang mengonsumsi 77 persen listrik yang disalurkan PLN. Di luar
Jawa, proyek 10.000 MW sudah selesai di Kalimantan Selatan dan Sulawesi
Utara. Yang baru selesai sebagian: Kepulauan Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, dan NTT. Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, dan Lombok
masih dalam pengujian atau persiapan pengujian. Di Riau, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Gorontalo, dan Maluku Utara sedang
konstruksi. Di Sumbawa, Maluku, dan Jayapura proyek akan tertunda oleh
berbagai sebab.
Menyelesaikan perizinan
Tertundanya
pembangunan PLTA Asahan 3 (2 x 87 MW) di Sumatera Utara adalah contoh betapa
10 tahun tak cukup menyelesaikan perizinan. Mulai diajukan 2004, izin lokasi
akhirnya diterbitkan Pejabat Gubernur Sumut pada Maret 2012, dilanjutkan
dengan pengajuan IPPKH. Sampai sekarang baru memperoleh izin prinsip
(September 2013). Izin dispensasi ditolak (Februari 2014) sehingga harus
langsung diproses ke IPPKH. Kemungkinan besar baru selesai akhir 2014. Jadi,
konstruksi tertunda lagi setahun ke 2015.
Dana
membangun PLTA sudah siap sejak 2006. Semestinya kalau izin bisa diperoleh
dalam dua tahun sejak 2004, maka pada 2011 PLTA Asahan 3 sudah beroperasi
melayani masyarakat Sumut dan Aceh. Perlu perbaikan proses izin lokasi proyek
infrastruktur yang berdampak lintas provinsi (seperti kelistrikan dan jalan
tol) dengan mengalihkan kewenangannya kepada pemerintah pusat.
Pembangkit
listrik pada umumnya dibangun jauh dari kota. Diperlukan jaringan transmisi
yang menghubungkan pusat-pusat kota di suatu pulau, melintasi banyak
kabupaten dan provinsi, menembus kawasan hutan. Saat ini proses mendapat izin
membangun menara transmisi di hutan persis sama dengan izin, katakanlah,
membuka tambang mineral.
Di atas
kertas perlu 500 hari untuk izin kehutanan. Praktiknya 2-3 tahun. Ratusan
menara harus didirikan. Maka, ada ratusan petak tanah 15 x 15 meter persegi
(kadang 25 x 25 meter persegi, bergantung pada tinggi menara) yang harus
diurus izinnya. Dimulai dari dinas kehutanan tingkat kabupaten, terus ke
bupati; ke dinas kehutanan provinsi, terus ke gubernur; lalu ke Menteri Kehutanan.
Perbaikan yang disarankan (melalui penambahan UU): izin hutan untuk
infrastruktur atau kepentingan umum harus dibedakan dengan izin penggunaan
hutan untuk keperluan komersial. Waktunya cukup 3-6 bulan. Kewenangannya
harus dipindahkan kepada pemerintah pusat.
Cara
baru membebaskan tanah memang telah dirumuskan dalam UU No 2/2012. Untuk
dapat menggunakan UU ini, PLN sebagai sebuah korporasi harus mendapat
penugasan dari Menteri ESDM dan BPN telah membentuk divisi khusus menangani
pembebasan tanah. Efektifkah UU ini? Masih harus diupayakan. Namun, di atas
kertas terlihat lebih baik dari cara yang ditempuh selama ini: murni
pendekatan komersial, tanpa memanfaatkan kekuasaan negara untuk memaksa.
Sebagai
contoh dari akibat ketiadaan unsur paksa, PLN sejak tiga tahun lalu belum
berhasil membangun transmisi yang melintasi suatu kebun swasta di Sumatera.
Akibatnya, layanan listrik di empat kabupaten di sekitarnya terpaksa
dibekukan, PLN tak dapat menerima pelanggan baru, dan pelanggan yang ada tak
dapat menambah daya sambungnya. Meski sudah diumumkan di media massa, belum
ada instansi pemerintah di daerah ataupun di pusat yang bisa mencari jalan
keluar.
Ketika
transmisi harus melintasi tanah milik pribadi, selain masalah tanah untuk
tapak menara, ada persoalan kompensasi bagi pemilik tanah yang hanya
dilintasi kawat transmisi. Di satu sisi pemerintah harus tegas memberi hak
melintas ke PLN, di sisi lain pemilik tanah harus mendapat kompensasi yang
adil. Apabila ada perselisihan atas nilai kompensasi, harus ada lembaga yang
dapat menyelesaikan dengan cepat dan berkekuatan hukum.
Mulai
beroperasi sejak 1999, pembangkit listrik swasta sampai saat ini mencapai
jumlah daya 7.590 MW, atau 17 persen dari seluruh daya pembangkit yang
memasok jaringan PLN. Energi dari listrik swasta pada 2013 mencapai 23 persen
dari energi listrik yang dikelola PLN. Praktik rente oleh mitra lokal menjadi
penghambat terwujudnya listrik swasta baru.
Ada
beberapa kasus ketika PLN telah menunjuk sebuah konsorsium yang terdiri atas
investor asing dan mitra lokal. Konsorsium itu tak berhasil membentuk
perseroan terbatas karena mitra lokalnya tak mampu bayar ekuitas (malah ada
yang minta dibayar). Proyek batal. Untuk mempercepat penambahan kapasitas,
listrik swasta yang sudah terbukti berhasil diberi hak menambah kapasitas di
lokasi yang sama. Bahkan, dalam hampir dua tahun terakhir, pemerintah sedang
merevisi peraturan yang memungkinkan menambah kapasitas di lokasi yang
berbeda.
Mengalihkan wilayah usaha
Terobosan
yang ditempuh PLN bersama Dirjen Ketenagalistrikan dalam memperbanyak peran
serta listrik swasta adalah mengalihkan wilayah usaha yang semula dikuasai
PLN kepada investor swasta di kawasan industri dan kelak boleh mengalirkan
kapasitas lebih ke PLN. Langkah ini hanya akan berhasil jika swasta yang
pegang konsesi itu punya kemampuan pendanaan. Bila tidak, ia jadi buru rente.
Seleksi
ketat kemampuan pendanaan juga diperlukan ketika memberi konsesi membangun
PLTA atau PLTP karena terkait dengan posisi geografis tempat potensi alam
berada. Bila pemegang konsesi hanya pemburu rente, ia masih harus mencari
mitra investor untuk eksplorasi. Potensi alam di lokasi itu akan sia-sia.
Langkah
strategis lain adalah berinterkoneksi dengan negara tetangga, misalnya
Kalimantan Barat dengan Serawak. Sistem tenaga listrik Kalbar berukuran
kurang dari 200 MW. Satuan pembangkit listrik yang bisa dibangun adalah
ukuran 25 MW yang tak ekonomis dan ringkih. Dengan menyambungkan Kalbar dan
Serawak yang berukuran 3.000 MW menjadi satu sistem kelistrikan, ukuran di
Kalbar bisa langsung melompat ke 100 MW, lalu 200 MW, dan 400 MW.
Potensi
smelter alumina di Kalbar yang butuh listrik lebih dari 100 MW jadi bisa
dilayani tanpa mengkhawatirkan kestabil- an pasokan. Potensi batubara di
Putussibau bisa dipakai untuk pembangkit listrik mulut tambang ukuran 2 x 400
MW. Jadi, interkoneksi Kalbar dengan Serawak (yang saat ini dituangkan dalam
bentuk kontrak) bukan sekadar beli listrik dari Malaysia seharga 9,3 sen
dollar AS per kWh.
Lebih
dari itu, ia akan mentransformasi Kalbar dari sistem tenaga listrik ukuran
gurem ke sistem tenaga listrik yang mampu melayani smelter. Upaya
transformasi serupa juga dilakukan antara Kalimantan Utara dan Sabah,
Sumatera dengan Semenanjung Malaya, dan Kepulauan Riau dengan Singapura.
Perbaikan
regulasi ketenagalistrikan harus dimulai dengan perubahan pola pikir
pemerintah dan masyarakat, dari ”listrik harus murah” ke ”listrik harus andal
walaupun lebih mahal”. Ketika Indonesia berstatus investment grade dalam
kurun 1994-1997, tarif listrik berubah otomatis (naik atau turun) setiap tiga
bulan mengikuti gerakan kurs valuta asing, harga minyak dan inflasi, sehingga
PLN punya kemampuan keuangan yang sehat mendanai operasi dan investasi tanpa
subsidi.
Sejak
1998 perubahan tarif otomatis ini dihentikan dan semua risiko kurs, perubahan
harga bahan bakar, dan inflasi dipikul pemerintah dalam bentuk subsidi, yang
tiap tahun terus naik dan sudah mencapai Rp 100 triliun per tahun. Pada 2013
subsidi rata-rata per kWh Rp 556. Belanja investasi sudah di kisaran Rp 60
triliun per tahun, dan sebagian besar didanai dari utang.
Upaya
efisiensi internal antara lain menurunkan porsi listrik asal BBM dari 36
persen (2008) ke 12 persen (2013), menu- runkan persentase listrik hilang
dari dua digit ke kisaran 9 persen, menerapkan komputerisasi ke seluruh
pelosok negeri dalam pengumpulan rekening serta memangkas biaya investasi dan
memangkas harga trafo tegangan tinggi menjadi tinggal setengahnya dengan cara
pembelian partai besar langsung ke pabrik dalam negeri alih-alih beli eceran
lewat pedagang.
Untuk
memperbaiki kemampuan investasi, perubahan tarif otomatis seperti yang dulu
pernah diberlakukan sebelum krisis ekonomi 1998 harus diaktifkan kembali.
Daripada membiayai investasi dengan berutang, lebih baik merealokasi dana subsidi
untuk investasi. Fakta bahwa biaya melanggan ponsel yang dikeluarkan per
rumah tangga di Indonesia jauh lebih besar dari biaya listrik yang dibayarkan
ke PLN menunjukkan adanya kemampuan masyarakat bayar listrik lebih mahal guna
memperoleh listrik yang lebih andal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar