Kamis, 08 Mei 2014

Merawat Solidaritas Bangsa

Merawat Solidaritas Bangsa

Peter C Aman  ;   Direktur Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Fransiskan Indonesia dan pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
SINAR HARAPAN,  07 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Hiruk-pikuk dan riuh rendah “plaza” sosial-politik kita pasca-Pileg 9 April 2014, menghadirkan suatu “gelagat yang mencemaskan”. Itu adalah menguatnya pertarungan demi pemenangan kepentingan pribadi serta golongan, tanpa memberi aksentuasi kepada tawaran gagasan cemerlang, demi pencapaian bonum commne serta keindonesiaan yang lebih bermutu, utuh, satu, dan baru.

Rakyat, yang suaranya didulang partai politik, kini agak dilupakan. Hal yang menguat ke permukaan adalah pencitraan figur serta kepentingan kelompok politik (partai), untuk memenangi kekuasaan pada pertarungan 9 Juli. Kursi kekuasaan diincar, sedangkan penggarapan konsep-konsep atau cetak biru pembangunan ke depan, sebagai materi suatu wacana deliberatif publik, belum dikemas dan dilontarkan. Konsep dan desain sistem yang efektif demi pencapaian kesejahteraan umum, sepertinya menjadi sekunder dibanding kegemparan mempromosikan figur.

“Memoria Passionis”

Secara historis, bangunan kesatuan bangsa Indonesia dibentuk dan didirikan di atas solidaritas karena kesamaan pengalaman serta cita-cita pembebasan dari kekuasaan asing. Kemerdekaan diimajinasikan sebagai momentum mewujudkan kesatuan serta solidaritas demi mewujudkan tujuan bersama, yakni melindungi bangsa dan tumpah darah Indonesia, pencerdasan kehidupan bangsa, partisipasi demi perwujudan dunia yang damai, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam dua dekade terakhir, kekuatan bangunan kesatuan bangsa serta api solidaritas itu terasa mulai keropos dan nyaris padam. Hal yang tampil kuat ke permukaan adalah kepentingan sektarian yang dipicu regionalisme, agama, ideologi kelompok, kepentingan sosial-ekonomi, serta suku.

Figur-figur segregasionis bermunculan dan menguasai ruang serta kebijakan publik. Mereka bermetamorfosis menjadi “nasionalis” melalui kanal-kanal demokrasi prosedural-elektoral. Lalu secara demokratis formal memperjuangkan agenda-agenda sektariannya, yang secara potensial menggerogoti kesatuan bangsa. Tanpa disadari, pilar dasar kesatuan kita, Pancasila, menjadi goyah. Jika tidak dilakukan aksi “tanggap darurat” serius, ini akan segera roboh.

Di sisi lain, gempuran globalisasi ekonomi membuat kebijakan publik di bidang vital ini membeo kepada kepentingan negara-negara besar. Bukan rahasia lagi korporasi-korporasi besar dari negara-negara kaya ditopang habis-habisan oleh politik luar negeri, baik pemerintahnya maupun kekuatan militernya.

Kita kembali terpasung kepentingan asing, yang dengan wacana elok-memesona, meyakinkan kita. Seolah mereka berjeripayah untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Gagasan profetis neokolim (neokolonialisme dan imperialisme) Bung Karno sekarang nyata kebenarannya.

Kita kembali tertindas dan menderita karena anak-anak bangsa, yang didaulat menjadi penentu kebijakan demi kesejahteraan dan keadilan, menjadi kolaboran kepentingan ekonomi asing. Ini berakibat eksploitasi kekayaan alam serta penghancuran lingkungan hidup secara sembrono dan tak adil. Jutaan anak bangsa terlunta-lunta menjadi pekerja-buruh di negari asing, tanpa jaminan serta perlindungan bukan saja atas upah, melainkan jaminan keamanan kerja dan hidupnya. Kita jatuh ke lubang yang sama. Kembali terjajah.
Momentum pada tahun politik ini mesti dikemas menjadi momentum memoria passionis. Menghidupkan lagi kenangan derita bersama pada masa silam (memoria passionis) ketika terjajah; Bahwa kondisi ketertindasan itu membangkitkan kesadaran akan solidaritas untuk merajut kesatuan yang kuat dan utuh, demi pembebasan serta kedaulatan untuk menentukan hidup juga masa depan sebagai bangsa merdeka. Kita butuh revitalisasi ideologi bangsa, bukan figur-figur.

Merawat Solidaritas

Solidaritas bukan wacana baru dalam masyarakat kita. Emile Durkheim memperkenalkan konsep solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Distingsi makna keduanya dirumuskan Durkheim sebagai berikut; Solidaritas mekanis merupakan suatu kewajiban moral. Masyarakat mesti saling peduli dan mengutamakan kepentingan bersama. Hal yang harus diupayakan adalah sinergi nurani pribadi, nurani kolektif, serta tujuan bersama.

Solidaritas mekanik merupakan solidaritas tansisional menuju solidaritas organik. Solidaritas organik adalah “roh kolaborasi dan kesatuan” dari masyarakat yang makin maju, yang ditandai kemajuan industri dan diferensiasi kerja. Ketika masyarakat makin maju dengan diferensiasi kerja makin kuat, ketergantungan dan saling membutuhkan akan makin terasa. Agar solidaritas organik ini tidak jatuh ke dalam liberalisme-kapitalis atau relasi di antara masyarakat yang dibangun di atas kontrak, Durkheim memberikan landasan moral.

Pada pemikiran Durkheim, moral adalah keseluruhan kondisi yang memaksa manusia menyesuaikan perilakunya dengan nilai-nilai dan kepentingan bersama, bukan hanya atas dasar impuls-impuls egoisme. Solidaritas mesti dibangun di atas kesadaran dan penerimaan realitas, bahwa masyarakat saling bergantung dan saling membutuhkan. Hanya dalam solidaritas kesatuan sebagai masyarakat terjaga dan dirawat, kepentingan bersama didahulukan dan spirit pengorbanan demi kesejahteraan umum dapat diaplikasikan.

Tali pengikat solidaritas mesti dipintal kembali. Bahan-bahan mentahnya ada dalam Pancasila. Api solidaritas harus dinyalakan terus. “Bahan bakar” serta “sumbuhnya” ada dalam kesadaran bersama sebagai bangsa yang sama-sama menderita karena ketertindasan kolonial (memoria passionis), serta ingin bangkit mewujudkan tujuan bersama (solidaritas). Solidaritas bukan hanya perasaan iba dan kasihan pada nasib buruk sesama, melainkan tekad yang teguh dan kuat, serta komitmen untuk mewujudkan kesejahteraan umum (SRS 38).

Peristiwa pada tahun politik ini mestinya dijalani atas dasar revitalisasi nilai-nilai kebangsaan dan penyegaran kembali cita-cita bersama, demi Indonesia yang satu, utuh, dan adil-sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar