Merawat
Solidaritas Bangsa
Peter
C Aman ; Direktur Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC)
Fransiskan Indonesia dan pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
|
SINAR
HARAPAN, 07 Mei 2014
Hiruk-pikuk
dan riuh rendah “plaza” sosial-politik kita pasca-Pileg 9 April 2014,
menghadirkan suatu “gelagat yang mencemaskan”. Itu adalah menguatnya
pertarungan demi pemenangan kepentingan pribadi serta golongan, tanpa memberi
aksentuasi kepada tawaran gagasan cemerlang, demi pencapaian bonum commne
serta keindonesiaan yang lebih bermutu, utuh, satu, dan baru.
Rakyat,
yang suaranya didulang partai politik, kini agak dilupakan. Hal yang menguat
ke permukaan adalah pencitraan figur serta kepentingan kelompok politik
(partai), untuk memenangi kekuasaan pada pertarungan 9 Juli. Kursi kekuasaan
diincar, sedangkan penggarapan konsep-konsep atau cetak biru pembangunan ke
depan, sebagai materi suatu wacana deliberatif publik, belum dikemas dan
dilontarkan. Konsep dan desain sistem yang efektif demi pencapaian
kesejahteraan umum, sepertinya menjadi sekunder dibanding kegemparan
mempromosikan figur.
“Memoria Passionis”
Secara
historis, bangunan kesatuan bangsa Indonesia dibentuk dan didirikan di atas
solidaritas karena kesamaan pengalaman serta cita-cita pembebasan dari
kekuasaan asing. Kemerdekaan diimajinasikan sebagai momentum mewujudkan
kesatuan serta solidaritas demi mewujudkan tujuan bersama, yakni melindungi
bangsa dan tumpah darah Indonesia, pencerdasan kehidupan bangsa, partisipasi
demi perwujudan dunia yang damai, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Dalam
dua dekade terakhir, kekuatan bangunan kesatuan bangsa serta api solidaritas
itu terasa mulai keropos dan nyaris padam. Hal yang tampil kuat ke permukaan
adalah kepentingan sektarian yang dipicu regionalisme, agama, ideologi
kelompok, kepentingan sosial-ekonomi, serta suku.
Figur-figur
segregasionis bermunculan dan menguasai ruang serta kebijakan publik. Mereka
bermetamorfosis menjadi “nasionalis” melalui kanal-kanal demokrasi
prosedural-elektoral. Lalu secara demokratis formal memperjuangkan
agenda-agenda sektariannya, yang secara potensial menggerogoti kesatuan
bangsa. Tanpa disadari, pilar dasar kesatuan kita, Pancasila, menjadi goyah.
Jika tidak dilakukan aksi “tanggap darurat” serius, ini akan segera roboh.
Di sisi
lain, gempuran globalisasi ekonomi membuat kebijakan publik di bidang vital
ini membeo kepada kepentingan negara-negara besar. Bukan rahasia lagi
korporasi-korporasi besar dari negara-negara kaya ditopang habis-habisan oleh
politik luar negeri, baik pemerintahnya maupun kekuatan militernya.
Kita
kembali terpasung kepentingan asing, yang dengan wacana elok-memesona,
meyakinkan kita. Seolah mereka berjeripayah untuk keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Gagasan profetis neokolim (neokolonialisme dan
imperialisme) Bung Karno sekarang nyata kebenarannya.
Kita
kembali tertindas dan menderita karena anak-anak bangsa, yang didaulat
menjadi penentu kebijakan demi kesejahteraan dan keadilan, menjadi kolaboran
kepentingan ekonomi asing. Ini berakibat eksploitasi kekayaan alam serta
penghancuran lingkungan hidup secara sembrono dan tak adil. Jutaan anak
bangsa terlunta-lunta menjadi pekerja-buruh di negari asing, tanpa jaminan
serta perlindungan bukan saja atas upah, melainkan jaminan keamanan kerja dan
hidupnya. Kita jatuh ke lubang yang sama. Kembali terjajah.
Momentum
pada tahun politik ini mesti dikemas menjadi momentum memoria passionis. Menghidupkan lagi kenangan derita bersama pada
masa silam (memoria passionis)
ketika terjajah; Bahwa kondisi ketertindasan itu membangkitkan kesadaran akan
solidaritas untuk merajut kesatuan yang kuat dan utuh, demi pembebasan serta
kedaulatan untuk menentukan hidup juga masa depan sebagai bangsa merdeka.
Kita butuh revitalisasi ideologi bangsa, bukan figur-figur.
Merawat Solidaritas
Solidaritas
bukan wacana baru dalam masyarakat kita. Emile Durkheim memperkenalkan konsep
solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Distingsi makna keduanya
dirumuskan Durkheim sebagai berikut; Solidaritas mekanis merupakan suatu
kewajiban moral. Masyarakat mesti saling peduli dan mengutamakan kepentingan
bersama. Hal yang harus diupayakan adalah sinergi nurani pribadi, nurani
kolektif, serta tujuan bersama.
Solidaritas
mekanik merupakan solidaritas tansisional menuju solidaritas organik.
Solidaritas organik adalah “roh kolaborasi dan kesatuan” dari masyarakat yang
makin maju, yang ditandai kemajuan industri dan diferensiasi kerja. Ketika
masyarakat makin maju dengan diferensiasi kerja makin kuat, ketergantungan
dan saling membutuhkan akan makin terasa. Agar solidaritas organik ini tidak
jatuh ke dalam liberalisme-kapitalis atau relasi di antara masyarakat yang
dibangun di atas kontrak, Durkheim memberikan landasan moral.
Pada
pemikiran Durkheim, moral adalah keseluruhan kondisi yang memaksa manusia menyesuaikan
perilakunya dengan nilai-nilai dan kepentingan bersama, bukan hanya atas
dasar impuls-impuls egoisme. Solidaritas mesti dibangun di atas kesadaran dan
penerimaan realitas, bahwa masyarakat saling bergantung dan saling
membutuhkan. Hanya dalam solidaritas kesatuan sebagai masyarakat terjaga dan
dirawat, kepentingan bersama didahulukan dan spirit pengorbanan demi
kesejahteraan umum dapat diaplikasikan.
Tali
pengikat solidaritas mesti dipintal kembali. Bahan-bahan mentahnya ada dalam
Pancasila. Api solidaritas harus dinyalakan terus. “Bahan bakar” serta
“sumbuhnya” ada dalam kesadaran bersama sebagai bangsa yang sama-sama
menderita karena ketertindasan kolonial (memoria
passionis), serta ingin bangkit mewujudkan tujuan bersama (solidaritas).
Solidaritas bukan hanya perasaan iba dan kasihan pada nasib buruk sesama,
melainkan tekad yang teguh dan kuat, serta komitmen untuk mewujudkan
kesejahteraan umum (SRS 38).
Peristiwa
pada tahun politik ini mestinya dijalani atas dasar revitalisasi nilai-nilai
kebangsaan dan penyegaran kembali cita-cita bersama, demi Indonesia yang
satu, utuh, dan adil-sejahtera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar