Kamis, 08 Mei 2014

Sutan Syahrir, Bung Kecil yang Besar

Sutan Syahrir, Bung Kecil yang Besar

Parni Hadi  ;   Wartawan dan Aktivis Sosial
SINAR HARAPAN,  06 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Kenang, kenanglah kami/Teruskan, teruskan jiwa kami/Menjaga Bung Karno/menjaga Bung Hatta/menjaga Bung Sjahrir. Begitu tulis penyair Chairil Anwar dalam sajak “Krawang-Bekasi”.

Ya, ada tiga panggilan bung yang sangat terkenal pada awal kemerdekaan RI, yakni Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Syahrir. Orang yang pertama dan kedua adalah proklamator yang kemudian menjadi presiden dan wakil presiden pertama, sedangkan yang ketiga adalah perdana menteri pertama RI.

Bung Karno dan Bung Hatta sudah banyak ditulis dalam buku-buku sejarah dan dianalisis dalam kajian politik, sedangkan Bung Syahrir karena “kecelakaan sejarah” kurang banyak ditulis dan diulas.

Syahrir berperawakan kecil dan wajahnya seperti anak sekolah. Karena itu, ia dipanggil dengan nama kesayangan “Bung Kecil”. Ia lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 5 Maret 1909, sebagai putra Moh Rasad Gelar Maha Raja Soetan (awal Kota Gadang, Bukit Tinggi), yang jabatan terakhirnya Jaksa-Kepala Medan, Sumatera Utara, demikian ditulis dalam buku Mengenang Sjahrir (Gramedia, 1980), yang disunting wartawan senior H Rosihan Anwar (alm).

Syahrir, merupakan pejuang kemerdekaan sejak muda, wafat pada 9 April 1966 di Rumah Sakit Zurich, Swiss, dalam status tahanan politik yang sedang berobat. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pahlawan Nasional, Kalibata, 19 April 1966. Ia menjadi tahanan politik pemerintahan Bung Karno. Syahrir dan Bung Karno adalah sesama pejuang kemerdekaan RI. Inilah yang saya sebut sebagai “kecelakaan sejarah”.

Demikian pula halnya ketika dwitunggal Soekarno-Hatta pecah. Begitu pula ketika Bung Karno dinyatakan sebagai tahanan (rumah) oleh pemerintahan Pak Harto, juga ketika Pak Harto dinyatakan tersangka setelah lengser dan dihujat sebelum wafat, sama dengan Bung Karno.

Dalam hiruk-pikuk menjelang Pilpres 2014, “kecelakaan” yang menjadi bagian sejarah modern Indonesia itu tiba-tiba menguak di benak saya dengan sebuah tanda tanya besar, “Begitukah nasib pemimpin Indonesia dan sampai kapan?”

Pencinta Kemanusiaan

Syahrir belajar di sekolah dasar Belanda (ELS), lalu Mulo (setingkat SMP) di Medan, melanjutkan AMS (setingkat SMA) bagian Sastra Klasik Barat di Bandung. Sejak kecil, ia dikenal cerdas, berpikiran tajam, kritis, lebih mengutamakan pengertian daripada menghafalkan pelajaran. Ia menonjol dalam pelajaran sejarah dan bahasa Latin, berkat buku bacaan bahasa Latin yang mengandung falsafah dan sejarah Kerajaan Romawi dan Yunani.

Di Bandung, ia aktif dalam study club Patriae Scientiaque (PSQ), yang berarti untuk Tanah Air dan pengetahuan. Ia juga terlibat dalam Jong Indonesia, yang kemudian menjadi Pemuda Indonesia (PI), dan aktif di perkumpulan sandiwara Batovis. Syahrir melihat ketidakadilan dalam kolonialisme Belanda, tapi lebih mementingkan pengertian daripada mengembangkan rasa benci terhadap bangsa Belanda dan dunia Barat.

Namanya menonjol sebagai pemimpin PI ketika ia berani menegur Bung Karno sebagai ketua PNI (Partai Nasional Indonesia) yang menggunakan bahasa campuran Indonesia, Sunda, dan Belanda dalam mengarahkan anggota PI. Ia meminta Bung Karno berbicara hal-hal yang pokok saja dalam bahasa Indonesia agar mudah dimengerti. Bung Karno menerima teguran itu.

Lulus AMS, ia melanjutkan pelajaran di Universitas Amsterdam, Negera Belanda. Syahrir, kemudian menjadi pendiri dan ketua PSI (Partai Sosialis Indonesia), begitu sampai langsung menghubungi pengurus klub Mahasiswa Sosialis Demokrat Amsterdam. Ia berpandangan, kehidupan sosialis yang sesungguhnya ditemukan pada kelas pekerja. Karena itu, untuk menyelami sosialisme dan gerakan sosialis, ia masuk gerakan Serikat Buruh dan bekerja di sekretariat Federasi Serikat Buruh Transport Internasional.

Sebagai mahasiswa, ia bergabung dalam PI yang dipimpin Moh Hatta. Dalam PI, Hatta dan Syahrir bermusuhan dengan anggota-anggota yang beraliran komunis. Akibatnya, keduanya dipecat.

Tahun 1930, Bung Karno ditangkap Belanda dan PNI membubarkan diri. Hatta tidak setuju langkah itu, lalu berprakarsa mendirikan PNI baru, yakni Pendidikan Nasional Indonesia dan menerbitkan koran Daulat Rakyat (DR). Hatta dan Syahrir sepakat, Syahrir pulang ke Indonesia pada akhir 1931 untuk membantu PNI baru dan DR. Tahun 1932, Syahrir terpilih sebagai Ketum PNI baru.

Berbeda dengan PNI Bung Karno yang bersifat partai massa, PNI baru adalah partai kader. Syahrir tidak suka agitasi dan demagogi yang dilakukan Bung Karno. Sebagai pemikir, ia lebih suka memberikan pendidikan politik kepada rakyat. Sebagai aktivis buruh, pada akhir 1932, ia terpilih sebagai Ketua Central Persatuan Buruh Indonesia yang berkedudukan di Surabaya.
Hatta pulang pada 1933. Syahrir kemudian menyerahkan jabatan Ketum PNI baru kepada Hatta.

Hatta dan Syahrir dibuang Belanda ke Boven Digoel, Papua, kemudian ke Banda Neira, Maluku. Mereka dibebaskan pasukan Jepang dan dipindahkan ke Sukabumi, Jawa Barat. Dalam zaman penjajahan Jepang, Syahrir menunjukkan sikap anti-Jepang, tidak seperti Bung Karno dan Bung Hatta yang dicap sebagai kolaborator Jepang.

Bekerja di bawah tanah, Syahrir mendengar siaran radio gelap dan mendapat berita tentang kekalahan Jepang dalam perang melawan sekutu. Info inilah yang mendorong Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Di mata teman dan pengikutnya, Syahrir dikenal peduli kerakyatan dan kemanusiaan.

Tiga Kali Perdana Menteri

Pemerintahan di bawah Presiden Soekarno dan Wapres Moh Hatta, sesuai UUD 45, yang kadang disebut Kabinet Presidensial, hanya berlangsung dari 17 Agustus-14 November 1945. Presiden Soekarno meminta Syahrir membentuk kabinet, dengan demikian menjadikannya perdana menteri.

Sekalipun dalam UUD 45 ini tidak dinyatakan tidak berlaku atau diganti, waktu itu Indonesia melaksanakan sistem parlementer. Soekarno dan Hatta tetap sebagai presiden dan wapres. Tapi, sejak 15 November 1945 sampai 27 Juni 1947, Syahrir tiga kali berturut-turut memimpin kabinet, tidak sebagai pembantu presiden seperti ditentukan UUD 45, tetapi bertanggung jawab langsung kepada legislatif (KNIP).

Syahrir menempuh cara diplomasi dalam menghadapi Belanda untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan internasional, terutama pihak Barat, kepada RI. Jika Bung Karno dicap kolaborator Jepang, oleh musuhnya Syahrir dicap lembek terhadap Belanda.

Sejarah membuktikan, kemerdekaan RI dipertahankan bukan hanya dengan perang gerilya, melainkan juga dengan langkah-langkah diplomasi. Di sini, Syahrir yang punya banyak teman di dunia internasional mempunyai peran besar. Ia antara lain memimpin delegasi pertama RI di sidang Dewan Keamanan PBB.

Sebagai perdana menteri, ia menawarkan 500.000 ton padi kepada India yang baru dilanda kekurangan pangan. Itu untuk ditukar dengan alat-alat pertanian dan bahan pakaian.

Syahrir ditahan Bung Karno karena dianggap membahayakan tercapainya tujuan revolusi sesuai Perpres No 3/1963. Di antara keduanya memang terdapat ketidakcocokan perangai pribadi (tercatat beberapa kali cekcok, yang serius adalah ketika sama-sama ditawan Belanda di Prapat, Sumatera Utara).

Tidak ada manusia, termasuk pemimpin yang sempurna, dan ketidaksempurnaan itu tidak menghapus kepahlawanan seseorang. Sama halnya dengan Bung Karno yang masih banyak pemujanya sampai sekarang, demikian pula Bung Hatta dan Pak Harto (dengan moto: Isih enak jamanku to?), begitu pula dengan Syahrir, terutama di kalangan cendekiawan.

Kita ingat pidato Bung Hatta dalam pemakaman Syahrir, “Pemuda Indonesia, tanamlah dalam hatimu, Syahrir, pahlawan nasional Indonesia.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar