Sutan
Syahrir, Bung Kecil yang Besar
Parni
Hadi ; Wartawan dan Aktivis Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 06 Mei 2014
|
Kenang, kenanglah kami/Teruskan, teruskan jiwa
kami/Menjaga Bung Karno/menjaga Bung Hatta/menjaga Bung Sjahrir. Begitu
tulis penyair Chairil Anwar dalam sajak “Krawang-Bekasi”.
Ya, ada
tiga panggilan bung yang sangat terkenal pada awal kemerdekaan RI, yakni Bung
Karno, Bung Hatta, dan Bung Syahrir. Orang yang pertama dan kedua adalah
proklamator yang kemudian menjadi presiden dan wakil presiden pertama,
sedangkan yang ketiga adalah perdana menteri pertama RI.
Bung
Karno dan Bung Hatta sudah banyak ditulis dalam buku-buku sejarah dan
dianalisis dalam kajian politik, sedangkan Bung Syahrir karena “kecelakaan
sejarah” kurang banyak ditulis dan diulas.
Syahrir
berperawakan kecil dan wajahnya seperti anak sekolah. Karena itu, ia
dipanggil dengan nama kesayangan “Bung Kecil”. Ia lahir di Padang Panjang,
Sumatera Barat, 5 Maret 1909, sebagai putra Moh Rasad Gelar Maha Raja Soetan
(awal Kota Gadang, Bukit Tinggi), yang jabatan terakhirnya Jaksa-Kepala
Medan, Sumatera Utara, demikian ditulis dalam buku Mengenang Sjahrir
(Gramedia, 1980), yang disunting wartawan senior H Rosihan Anwar (alm).
Syahrir,
merupakan pejuang kemerdekaan sejak muda, wafat pada 9 April 1966 di Rumah
Sakit Zurich, Swiss, dalam status tahanan politik yang sedang berobat.
Jenazahnya dimakamkan di Taman Pahlawan Nasional, Kalibata, 19 April 1966. Ia
menjadi tahanan politik pemerintahan Bung Karno. Syahrir dan Bung Karno
adalah sesama pejuang kemerdekaan RI. Inilah yang saya sebut sebagai
“kecelakaan sejarah”.
Demikian
pula halnya ketika dwitunggal Soekarno-Hatta pecah. Begitu pula ketika Bung
Karno dinyatakan sebagai tahanan (rumah) oleh pemerintahan Pak Harto, juga
ketika Pak Harto dinyatakan tersangka setelah lengser dan dihujat sebelum
wafat, sama dengan Bung Karno.
Dalam
hiruk-pikuk menjelang Pilpres 2014, “kecelakaan” yang menjadi bagian sejarah
modern Indonesia itu tiba-tiba menguak di benak saya dengan sebuah tanda
tanya besar, “Begitukah nasib pemimpin Indonesia dan sampai kapan?”
Pencinta Kemanusiaan
Syahrir
belajar di sekolah dasar Belanda (ELS), lalu Mulo (setingkat SMP) di Medan,
melanjutkan AMS (setingkat SMA) bagian Sastra Klasik Barat di Bandung. Sejak
kecil, ia dikenal cerdas, berpikiran tajam, kritis, lebih mengutamakan
pengertian daripada menghafalkan pelajaran. Ia menonjol dalam pelajaran
sejarah dan bahasa Latin, berkat buku bacaan bahasa Latin yang mengandung
falsafah dan sejarah Kerajaan Romawi dan Yunani.
Di
Bandung, ia aktif dalam study club Patriae Scientiaque (PSQ), yang berarti
untuk Tanah Air dan pengetahuan. Ia juga terlibat dalam Jong Indonesia, yang
kemudian menjadi Pemuda Indonesia (PI), dan aktif di perkumpulan sandiwara
Batovis. Syahrir melihat ketidakadilan dalam kolonialisme Belanda, tapi lebih
mementingkan pengertian daripada mengembangkan rasa benci terhadap bangsa
Belanda dan dunia Barat.
Namanya
menonjol sebagai pemimpin PI ketika ia berani menegur Bung Karno sebagai
ketua PNI (Partai Nasional Indonesia) yang menggunakan bahasa campuran
Indonesia, Sunda, dan Belanda dalam mengarahkan anggota PI. Ia meminta Bung
Karno berbicara hal-hal yang pokok saja dalam bahasa Indonesia agar mudah
dimengerti. Bung Karno menerima teguran itu.
Lulus
AMS, ia melanjutkan pelajaran di Universitas Amsterdam, Negera Belanda.
Syahrir, kemudian menjadi pendiri dan ketua PSI (Partai Sosialis Indonesia),
begitu sampai langsung menghubungi pengurus klub Mahasiswa Sosialis Demokrat
Amsterdam. Ia berpandangan, kehidupan sosialis yang sesungguhnya ditemukan
pada kelas pekerja. Karena itu, untuk menyelami sosialisme dan gerakan
sosialis, ia masuk gerakan Serikat Buruh dan bekerja di sekretariat Federasi
Serikat Buruh Transport Internasional.
Sebagai
mahasiswa, ia bergabung dalam PI yang dipimpin Moh Hatta. Dalam PI, Hatta dan
Syahrir bermusuhan dengan anggota-anggota yang beraliran komunis. Akibatnya,
keduanya dipecat.
Tahun
1930, Bung Karno ditangkap Belanda dan PNI membubarkan diri. Hatta tidak
setuju langkah itu, lalu berprakarsa mendirikan PNI baru, yakni Pendidikan
Nasional Indonesia dan menerbitkan koran Daulat Rakyat (DR). Hatta dan
Syahrir sepakat, Syahrir pulang ke Indonesia pada akhir 1931 untuk membantu
PNI baru dan DR. Tahun 1932, Syahrir terpilih sebagai Ketum PNI baru.
Berbeda
dengan PNI Bung Karno yang bersifat partai massa, PNI baru adalah partai
kader. Syahrir tidak suka agitasi dan demagogi yang dilakukan Bung Karno.
Sebagai pemikir, ia lebih suka memberikan pendidikan politik kepada rakyat.
Sebagai aktivis buruh, pada akhir 1932, ia terpilih sebagai Ketua Central
Persatuan Buruh Indonesia yang berkedudukan di Surabaya.
Hatta
pulang pada 1933. Syahrir kemudian menyerahkan jabatan Ketum PNI baru kepada
Hatta.
Hatta
dan Syahrir dibuang Belanda ke Boven Digoel, Papua, kemudian ke Banda Neira,
Maluku. Mereka dibebaskan pasukan Jepang dan dipindahkan ke Sukabumi, Jawa
Barat. Dalam zaman penjajahan Jepang, Syahrir menunjukkan sikap anti-Jepang,
tidak seperti Bung Karno dan Bung Hatta yang dicap sebagai kolaborator
Jepang.
Bekerja
di bawah tanah, Syahrir mendengar siaran radio gelap dan mendapat berita
tentang kekalahan Jepang dalam perang melawan sekutu. Info inilah yang
mendorong Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Di mata teman dan
pengikutnya, Syahrir dikenal peduli kerakyatan dan kemanusiaan.
Tiga Kali Perdana Menteri
Pemerintahan
di bawah Presiden Soekarno dan Wapres Moh Hatta, sesuai UUD 45, yang kadang
disebut Kabinet Presidensial, hanya berlangsung dari 17 Agustus-14 November
1945. Presiden Soekarno meminta Syahrir membentuk kabinet, dengan demikian
menjadikannya perdana menteri.
Sekalipun
dalam UUD 45 ini tidak dinyatakan tidak berlaku atau diganti, waktu itu
Indonesia melaksanakan sistem parlementer. Soekarno dan Hatta tetap sebagai
presiden dan wapres. Tapi, sejak 15 November 1945 sampai 27 Juni 1947,
Syahrir tiga kali berturut-turut memimpin kabinet, tidak sebagai pembantu
presiden seperti ditentukan UUD 45, tetapi bertanggung jawab langsung kepada
legislatif (KNIP).
Syahrir
menempuh cara diplomasi dalam menghadapi Belanda untuk mendapatkan pengakuan
dan dukungan internasional, terutama pihak Barat, kepada RI. Jika Bung Karno
dicap kolaborator Jepang, oleh musuhnya Syahrir dicap lembek terhadap
Belanda.
Sejarah
membuktikan, kemerdekaan RI dipertahankan bukan hanya dengan perang gerilya,
melainkan juga dengan langkah-langkah diplomasi. Di sini, Syahrir yang punya
banyak teman di dunia internasional mempunyai peran besar. Ia antara lain
memimpin delegasi pertama RI di sidang Dewan Keamanan PBB.
Sebagai
perdana menteri, ia menawarkan 500.000 ton padi kepada India yang baru
dilanda kekurangan pangan. Itu untuk ditukar dengan alat-alat pertanian dan
bahan pakaian.
Syahrir
ditahan Bung Karno karena dianggap membahayakan tercapainya tujuan revolusi
sesuai Perpres No 3/1963. Di antara keduanya memang terdapat ketidakcocokan
perangai pribadi (tercatat beberapa kali cekcok, yang serius adalah ketika
sama-sama ditawan Belanda di Prapat, Sumatera Utara).
Tidak
ada manusia, termasuk pemimpin yang sempurna, dan ketidaksempurnaan itu tidak
menghapus kepahlawanan seseorang. Sama halnya dengan Bung Karno yang masih
banyak pemujanya sampai sekarang, demikian pula Bung Hatta dan Pak Harto
(dengan moto: Isih enak jamanku to?),
begitu pula dengan Syahrir, terutama di kalangan cendekiawan.
Kita
ingat pidato Bung Hatta dalam pemakaman Syahrir, “Pemuda Indonesia, tanamlah dalam hatimu, Syahrir, pahlawan nasional
Indonesia.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar