Deteksi
Kejahatan Seksual pada Anak
Etty
Indriati ; Guru Besar Antropologi Kedokteran Universitas Atma Jaya
Jakarta
|
KOMPAS,
06 Mei 2014
|
BANYAK
orang heran mengapa anak tidak langsung bercerita saat kejadian pertama
kejahatan seksual menimpa dirinya.
Sebagian
anak (21-49 persen) memiliki resiliensi/ketahanan diri dengan tidak langsung
menunjukkan gejala perubahan perilaku jika mengalami kejahatan seksual (Conte & Schuerman 1987a,b;
Caffaro-Rouget, Lang & Van Santen, 1989). Hal ini disebut
asimptomatik atau sleeper effect,
yaitu peristiwa yang tidak langsung menunjukkan gejala. Seperti kanker yang
pada sebagian orang asimptomatik, tahu-tahu sudah stadium IV.
Peristiwa
kejahatan seksual pada anak terungkap/disclosed langsung jika tertangkap
basah oleh saksi mata atau setelah beberapa lama terungkap dalam percakapan
anak dengan orangtuanya. Orangtua sebaiknya meluangkan waktu berbincang
dengan anak-anaknya, misalnya dengan menanyakan, ”Bagaimana hari ini? Menyenangkan atau buruk?” Percakapan
sederhana setiap hari ini membantu mendeteksi jika terjadi hal buruk pada
diri anak.
Resiliensi
anak terhadap kejahatan seksual yang dialaminya menyebabkan orang dewasa/orangtua/guru
tidak langsung pada hari yang sama tahu. Karena itu, sangat penting
mengajarkan upaya pencegahan lewat kurikulum pendidikan formal di sekolah
dengan pengenalan bagian privat badan yang tidak boleh disentuh orang lain
serta sentuhan yang boleh dan tidak boleh pada fase paling awal kehidupan
anak (0-6 tahun) dengan buku-buku bergambar sederhana yang menarik perhatian
dan mudah dipahami.
Selain
resiliensi anak yang tidak langsung menunjukkan perubahan
perilaku/asimptomatik/sleeper effect, orang dewasa sering lupa bahwa anak
usia dini 0-6 tahun belum memiliki kosakata seksual dan perilaku seksual
dalam kognitifnya sehingga kesulitan mengungkapkannya. Kultur yang menabukan
pendidikan seks menambah rentan anak-anak terhadap kejahatan seksual.
Selain
itu, organ seksual sekunder anak usia dini belum berkembang sehingga jika
dicabuli anak akan bingung, marah, sedih, takut, cemas, dan kehilangan
kontrol atas badannya sendiri. Akibatnya, kejadian bisa berulang.
Pelaku
kejahatan seksual pada anak mengancam dengan kekerasan, dominasi, dan
eksploitasi. Pelaku kejahatan seksual pada anak di wilayah publik biasanya
bekerja sama menjaga blind spot
dari saksi mata. Seperti pencopet berantai yang melempar hasil copetan kepada
kelompoknya agar tidak meninggalkan jejak.
Penyusupan
beberapa pemerkosa anak ke wilayah publik sebagai tenaga pembersih
menunjukkan rusaknya moral di mana pekerjaan menjadi bagian dari rencana
kejahatan. Muncul pemerkosa dewasa berjejaring dalam pekerjaan di Indonesia
menunjukkan betapa patah struktur sosial masyarakat dan degradasi moral
pelaku. Pelaku biadab ini harus dihukum sangat berat.
Idealnya
semua toilet di TK dan pra-TK menjadi bagian dari ruang kelas dan anak TK
diantar jika ke toilet. Meski demikian, para pelaku kejahatan ini bisa
menemukan blind spot lain di ruang
publik. Misalnya, di antara mobil-mobil parkir dan di dalam mobil yang
diparkir, gudang penyimpanan barang, atau padang luas dengan tanaman rimbun.
Kejahatan di rumah
Yang
juga perlu diwaspadai orangtua dengan anak balita adalah kejahatan seksual
pada anak dapat terjadi di rumah justru oleh orang-orang dekat yang dipercaya
orangtua.
Mukhotib
(2007) menyitir analisis CWGEL pada Januari-Mei 2003, dari 172 kasus sebanyak
47,7 persen dilakukan oleh tetangga korban, 4,6 persen oleh ayah tiri, 4,1
persen oleh pacar, 2,9 persen oleh ayah kandung, 2,9 persen oleh paman. Dalam
periode Juni-Agustus 2003, dari 82 kasus sebanyak 24,5 persen dilakukan
tetangga, 3,7 persen oleh pacar, 2,4 ayah tiri dan 1,2 oleh kakak ipar.
Kejahatan
seksual di rumah/ domestik biasanya durasinya lama dan berulang, dapat
berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, dengan mengancam anak untuk
merahasiakan (silent victims) dan
membuat anak tertekan serta kehilangan kontrol atas badannya sendiri.
Modus
operandi pelaku kejahatan seksual di rumah berbeda dari kejahatan seksual di
wilayah publik. Pelaku biasanya tunggal, mendekati anak dengan manis,
menyentuh badan anak yang terlarang seolah-olah permainan, dan berganti-ganti
antara mengancam dengan kekerasan untuk merahasiakan dan memberikan hadiah
supaya mengikuti kehendak pelaku.
Anak
dalam dominasi dan eksploitasi akan tertekan, tidak berani melawan, dan tidak
berdaya. Berbagai biografi survivor
korban kejahatan seksual pada anak di rumah menunjukkan akibat buruk jangka
panjang (Herman, 1981; McGregor, 1984).
Tingkat
penyembuhan luka jiwa raga korban berhubungan dengan usia korban, onset (umur
mulai terjadi kejahatan seksual), durasi (lamanya kejadian), frekuensi
(seringnya kejadian), dan jenis kekerasan seksual. Dengan terapi psikiatri
interventif, anak di bawah 7 tahun (age
of reason) prognosis kesembuhannya lebih baik daripada anak di atas 7
tahun yang telah dapat membedakan realita dan imajinasi.
Terapi
psikiatri anak korban kejahatan seksual di bawah 7 tahun dilakukan dengan art therapy, play therapy untuk
mengembalikan kontrol atas badannya sendiri, mengelola kemarahan, kesedihan,
serta luka batin dan fisik anak. Peran maternal
(ibu) vital untuk penyembuhan.
Upaya pencegahan
Dalam
kurikulum di semua tingkat pendidikan, perlu diajarkan penghargaan tubuh
manusia dengan tiga prinsip bioetika: do
no harm, jangan membahayakan; respect
for others, hargai orang lain; dan autonomy,
badan orang lain adalah milik orang tersebut. Membangun pelajaran biologi
reproduksi dan nilai-nilai kesakralan hubungan seksual sebagai fungsi
reproduksi kelak ketika telah berkeluarga bagi murid SD, SMP, dan SMA.
Pada
anak TK dan pra-TK, masukkan dalam kurikulum pelajaran pengenalan bagian
badan yang terlarang dan tidak boleh disentuh orang lain; seperti sentuhan
apa yang aman (pelukan, bergandeng tangan, membersihkan) dan apa yang seksual
(bagian terlarang badan).
Peran
negara dan laporan masyarakat vital untuk menutup semua situs porno anak dan
menghukum seberat-beratnya pemakai dan pengelola situs porno anak. Indonesia
sebagai bangsa yang beradab harus melihat masalah gunung es ini dengan jernih
untuk bertindak melindungi anak-anak, termasuk anak tamu-tamu negara yang
berdinas dan bersekolah di Indonesia.
Kasus
paedofilia di sekolah Inggris yang diungkap FBI dan pelakunya bunuh diri
membuat Perdana Menteri Inggris dengan tanggap dan cepat merancang UU untuk
memperlakukan penjahat seksual seperti teroris. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar