Dilema
Rekonsiliasi Palestina
Hasibullah
Satrawi ; Pengamat
Politik Timur Tengah dan Dunia Islam, Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA)
Jakarta
|
KORAN
SINDO, 15 Mei 2014
MUNGKIN
ini hanya terjadi di Palestina, rekonsiliasi yang sejatinya menjadi kabar
baik justru menjadi dilema. Betapa tidak, rekonsiliasi antara dua faksi
terbesar di Palestina (Fatah dan Hamas) justru direspons secara negatif dan
keras oleh Israel bahkan juga Amerika Serikat (AS).
Telah
dimaklumi, beberapa waktu lalu (23/4), faksi Fatah dan Hamas yang membelah
kesatuan Palestina dalam tujuh tahun terakhir mengumumkan kesepakatan
rekonsiliasi di Jalur Gaza.
Dalam
perkembangan teranyar, pemimpin Hamas, Ismail Haniya diberitakan telah
menandatangani perintah pembebasan aktivis Fatah yang ditahan Hamas sebagai
langkah awal menuju pembentukan pemerintahan bersatu Palestina (As-Sharq Al-
Awsat, 06/05). Namun demikian, Israel justru mengecam otoritas Palestina lantaran
menandatangani rekonsiliasi ini.
Bahkan
Israel (dan juga AS) mengancam akan menghentikan proses perundingan damai
antara Israel dan otoritas Palestina yang telah berlangsung sejak akhir Juli
2013 lalu di bawah prakarsa Menteri Luar Negeri AS John Kerry. Di wilayah
konflik seperti Palestina, rekonsiliasi secara internal dan perundingan damai
secara eksternal ibarat dua sisi mata uang.
Keduanya
sama-sama dibutuhkan, tidak dapat dipisahkan, dan sejatinya menjadi satu
kesatuan. Karena hampir tidak ada gunanya sebuah rekonsiliasi secara internal
bila justru memicu perang dengan Israel sebagai pihak luar yang berkonflik.
Pun demikian sebaliknya, hampir tidak ada artinya berdamai dengan Israel
sebagai pihak luar bila justru berperang dengan pihak-pihak secara internal.
Komitmen damai
Kala
perdamaian menjadi dilema, komitmen patut dipertanyakan. Sejauh manakah
otoritas Palestina, Israel atau bahkan AS berkomitmen untuk menciptakan
perdamaian di antara dua negara tetangga itu? Apalagi, sejauh ini telah
berulang kali upaya damai dilakukan oleh banyak pihak.
Terakhir
kali perundingan antara Israel dan Palestina dilakukan pada 2010, juga di
bawah media AS. Tapi sejumlah upaya yang ada acap kandas di tengah jalan yang
tak jarang justru disebabkan oleh ulah Israel seperti provokasi pembangunan
perumahan ilegal di tanah sengketa.
Oleh
karena itu, sangat dipahami bila Israel kerap mendapatkan sorotan tajam dari
banyak pihak. Komitmen damai Israeldianggapjauhlebihrendah dibanding komitmen
damai otoritas Palestina.
Dalam
konteks rekonsiliasi Fatah-Hamas yang dikecam keras oleh Israel-AS,
contohnya, otoritas Palestina masih mencoba menenangkan dua negara sejoli
itu: bahwa rekonsiliasi yang ada tidak bertentangan dengan perdamaian
(Aljazeera.net, 25/04). Hal ini berbeda dengan sikap Israel dan AS yang acap
mendesak otoritas Palestina untuk memilih antara dua; rekonsiliasi dengan
Hamas atau berdamai dengan Israel?
Tak ada
pilihan lain yang menengahi atau menjembatani keduanya. Seakanakan perdamaian
yang dijanjikan Israel dan AS melalui perundingan sudah “dibungkus” dan siap
dihantar ke halaman Palestina.
Padahal
sampai hari ini, upaya perundingan yang digagas oleh pemerintahan Obama itu
tidak mengalami kemajuan. Alih-alih, kerangkanya pun belum jelas. Dan belajar
dari perundingan yang lalulalu, bukan tidak mungkin perundingan perdamaian
seperti ini berhenti di tengah jalan akibat ulah tertentu, baik dari Israel,
Hamas maupun faksifaksi lain.
Ketika
perundingan Israel-Palestina berjalan di tempat atau gagal total, justru
Israel-lah yang paling diuntungkan. Dikatakan demikian karena kondisi seperti
ini membuat Palestina tidak bergerak maju menuju cita-cita kemerdekaannya.
Sementara
itu, Israel justru semakin maju dan berkembang melalui aneka kerja sama
dengan negara-negara maju, khususnya di bidang persenjataan. Inilah yang oleh
kolumnis terkemuka di Timur Tengah, Abdurrahman Arrasyid, disebut dengan
istilah politik teman, tapi disiksa (as-syarik al-musthahid) dan musuh, tapi
teman (al’aduw al-halif) yang kerap digunakan Israel dalam menghadapi
Palestina (As-Sharq Al-Awsat, 25/4).
Fatah
atau otoritas Palestina adalah teman yang suka disiksa olehIsrael.
Disebutteman, karena Israel hanya mau berkomunikasi dan bernegosiasi dengan
faksi ini. Disebut disiksa, karena Israel lebih mempermainkan Fatah daripada
benar-benar membantunya (dan rakyat Palestina) untuk mencapai perjuangan
mereka.
Sikap
Israel mutakhir terkait dengan rekonsiliasi antara Fatah-Hamas bisa dijadikan
sebagai salah satu contoh dari politik teman yang disiksa oleh Israel. Hamas
tak lain adalah musuh bagi Israel. Bahkan, Hamas telah divonis sebagai
kelompok teroris oleh Israel dan AS.
Alasan
ini juga yang digunakan oleh Israel dalam menolak rekonsiliasi mutakhir
antara Hamas-Fatah. Namun demikian, Israel kerap menggunakan Hamas yang mudah
terprovokasi untuk merusak hubungan atau perundingan yang sedang berlangsung
antara otoritas Palestina dengan Israel. Ketika Hamas sudah terprovokasi dan
satu roket meluncur ke wilayahnya, Israel mempunyai alasan untuk menghentikan
sebuah perundingan damai yang sedang berlangsung. Dan begitu seterusnya.
Komitmen rekonsiliasi
Pun
demikian, ketika rekonsiliasi menjadi dilema, maka komitmen yang ada patut
dipertanyakan. Sejauh manakah Fatah, Hamas, dan faksi-faksi lain berkomitmen
untuk mewujudkan rekonsiliasi di internal mereka?
Sejauh
mana rekonsiliasi ini diperuntukkan bagi kepentingan segenap rakyat Palestina
atau hanya sebagai strategi untuk mengatur permainan politik yang
masingmasing dihadapi oleh Fatah dan Hamas saat ini. Telah dimaklumi bersama,
dalam beberapa waktu terakhir Fatah dan Hamas acap menghadapi tekanan
internal terkait dengan posisi dan kebijakan yang ada.
Di
internal Hamas, contohnya, tekanan agar faksi ini melakukan rekonsiliasi
terus semakin menguat, khususnya rekonsiliasi dengan Fatah. Secara eksternal,
rekonsiliasi bisa menjadi langkah realistis untuk menyesuaikan diri dengan
beberapa perkembangan di negara luar yang kurang berpihak kepada Hamas,
seperti lengsernya rezim Ikhwan Muslimin di Mesir, perpecahan negara-negara
Arab Teluk dan yang lainnya. Dan secara internal, rekonsiliasi ini bisa
memberikan harapan baru bagi rakyat Palestina, khususnya dalam upaya mencapai
kemerdekaan negerinya.
Sementara
Fatah juga acap menghadapi situasi yang kurang lebih sama secara internal.
Hal ini bisa dilihat dari perombakan demi perombakan di jajaran pemerintahan
otoritas Palestina akibat ketegangan internal, khususnya ketegangan antara
Mahmoud Abbas sebagai Presiden Otoritas Palestina dengan elite-elite faksi
Fatah lain seperti Muhammad Dahlan dan mantan Perdana Menteri Palestina,
Salam Fayyad. Bahkan, Mahmoud Abbas belakangan kerap didesak untuk
mempercepat pemilihan presiden.
Walaupun
pengaruhnya tak dapat ditandingi oleh tokohtokoh seperti Salam Fayyad,
Muhammad Dahlan ataupun lainnya, namun Mahmoud Abbas tak dapat meremehkan
manuver politik tokoh-tokoh seperti di atas dengan semua efek domino yang
ditimbulkan, baik di internal Fatah secara khusus ataupun rakyat Palestina
secara umum. Apalagi, suasana kebatinan masyarakat Arab dalam beberapa tahun
terakhir sangat sensitif terhadap isu-isu berbau skandal yang melibatkan
pemerintah (seperti korupsi).
Dalam
konteks seperti ini, Abbas membutuhkan “diskursus” politik baru untuk
menyegarkan ingatan sekaligus harapan publik, khususnya rakyat Palestina.
Hingga mereka tidak terpengaruh oleh manuver politik anti-Abbas seperti
digulirkan Dahlan dan elite Palestina lainnya.
Rekonsiliasi
mempunyai energi lebih dari cukup untuk meng-cover kepentingan-kepentingan pragmatis Abbas seperti di atas. Di
satu sisi, diskursus ini “sejalan” dengan rencana besar yang sedang
diupayakan oleh Abbas, yaitu perdamaian dengan Israel. Sementara di sisi
lain, diskursus ini bisa menjawab harapan publik terkait persatuan di
internal elite dan faksi Palestina.
Di atas
segalanya, para elite Palestina, khususnya Abbas, harus memastikan bahwa
rekonsiliasi yang ada seutuhnya untuk kemaslahatan bangsa Palestina, tidak
semata-mata untuk kepentingan yang bersifat faksional seperti di atas. Begitu
juga dengan upaya perundingan damai bersama Israel. Sejatinya rekonsiliasi
adalah kabar baik bagi rakyat Palestina, walaupun dapat reaksi keras dari
Israel dan AS.
Sebagaimana
perundingan damai adalah kabar baik bagi warga kedua negara, walaupun kerap
dirusak oleh kelompok ekstremis di kedua belah pihak. Karena rekonsiliasi
adalah hak rakyat Palestina yang selama ini diabaikan oleh para elitenya. Pun
demikian, karena perdamaian adalah hak warga kedua negara (Palestina dan
Israel) yang acap diabaikan oleh para elite keduanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar