Kamis, 08 Mei 2014

Bila Kelamin Jadi Gurauan

Bila Kelamin Jadi Gurauan

S Sagala Tua Saragih  ;   Dosen Prodi Jurnalistik Fikom Unpad
REPUBLIKA,  07 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Tragedi di Sekolah Taman Kanak-Kanak Jakarta International School (TK JIS)
menjadi komoditas semua jenis media massa, terutama televisi siaran. Masalah besar ini berkali-kali menjadi topik diskusi atau perbincangan ramai di stasiun-stasiun televisi swasta nasional.

Ironisnya, beberapa laki-laki yang turut dalam acara bincang-bincang itu justru menanggapinya sambil tertawa-tawa. Seolah, mereka senang melihat anak kecil itu menderita berat. Memang secara verbal mereka menyalahkan atau menghakimi pelaku sodomi terhadap siswa laki-laki yang bersekolah TK yang luar biasa mahal itu (uang sekolah per siswa hampir Rp 30 juta per bulan).

Akan tetapi, mereka tak menunjukkan sikap keprihatinan, kesedihan, dan empati yang mendalam terhadap korban yang baru berusia lima tahun tersebut.
Mereka tak menunjukkan sikap tubuh dan ucapan dalam diri sendiri; andaikata tragedi itu menimpa anakku sendiri.

Harus kita akui, sejak kecil hingga dewasa, dalam obrolan sehari-hari kita kerap sekali menjadikan kelamin (alat reproduksi atau genital) sebagai bahan gurauan. Bagian tubuh yang sering disebut alat vital itu sesungguhnya sama vitalnya dengan bagian tubuh lain. Kelamin tak terpisahkan dari bagian tubuh secara keseluruhan. Ini adalah ciptaan besar Tuhan yang semestinya diperlakukan dan dipersepsikan sama dengan semua alat vital lainnya yang terdapat dalam tubuh kita. Dapat dibayangkan bila seorang bayi lahir tanpa kelamin.

Entah mengapa, kita kok senang menjadikan kelamin sebagai bahan candaan. Dengan demikian, sesungguhnya kita telah merendahkan derajat kelamin.
Bahkan, orang tua juga sering menjadikan kelamin anak kecilnya bahan candaan dengan anaknya sendiri. Akibatnya, si anak juga beranggapan bahwa kelamin memang merupakan bahan gurauan yang biasa.

Coba renungkan sejenak, layakkah ciptaan Tuhan yang terdapat dalam tubuh kita yang sangat sempurna tersebut kita jadikan bahan olok-olok atau gurauan? Tampaknya, kebiasaan buruk inilah yang membuat beberapa laki-laki yang tampil di TV-TV yang sedang memperbincangkan tragedi di TK JIS itu tertawa ria. Seolah-olah, pemerkosaan (penyodomian) siswa laki-laki yang masih sangat polos tersebut layak ditertawakan atau dijadikan bahan lelucon.

Memang, laki-laki memerkosa perempuan sudah menjadi berita sehari-hari di media massa. Memang, laki-laki dewasa menyodomi atau memerkosa laki-laki yang masih tergolong anak (berusia di bawah 18 tahun tahun) juga telah sering diberitakan. Bahkan, ada anak laki-laki dibunuh setelah disodomi laki-laki pemerkosanya. Akan tetapi, setiap kali tragedi seperti ini terungkap dan diberitakan semua media massa berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, tampaknya kita (terutama orang ua dan guru) tidak mau belajar dari peristiwa buruk tersebut.

Setelah sangat ramai dan lelah meng gunjingkannya, lalu kita segera melupakannya. Padahal, pengalaman (baik atau buruk) yang kita alami sendiri ataupun yang dialami orang lain, seharusnya menjadi guru terbaik bagi kita.
Setelah mengetahui sebab musabab tragedi itu, semestinya semua orang tua yang mempunyai anak kecil dan remaja serta para guru mampu melakukan berbagai upaya pencegahan.
Menjadi guru biologi

Memang, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muh Nuh, beberapa waktu lalu, secara resmi telah menutup TK JIS untuk selama-lamanya (katanya). Akan tetapi, kita tak perlu kaget bila besok- lusa terjadi lagi tragedi serupa atau yang jauh lebih parah daripada tragedi di TK JIS. Nah, agar kita tidak terus-menerus bodoh, mulai sekarang para orang tua, pengasuh anak di rumah atau pembantu rumah tangga, pengasuh anak di tempat penitipan anak, para aktivis, atau guru di lembaga-lembaga PAUD (pendidikan anak usia dini), guru-guru di sekolah (TK, SD, sekolah lanjutan tingkat pertama, dan sekolah lanjutan tingkat atas), seharusnya menjadi guru biologi. Artinya, mereka memiliki pengetahuan (sedikit banyak) tentang kelamin dan lubang anus alias liang dubur.

Membicarakan kelamin kepada anak sejak mereka masih berusia di bawah lima tahun (balita), tak boleh lagi ditabukan atau diharamkan, tetapi justru di wajibkan. Siapa pun yang mengurus anak harus mampu mengajarkan biologi (minimal tentang kelamin dan anus) kepada anak yang mereka asuh secara rinci. Tidak hanya fungsi kedua alat vital itu diajarkan, tetapi juga kiat-kiat menguasai dan merawatnya dengan sebaik-baiknya.

Membicarakan dan mengajarkan kiat-kiat menguasai dan memelihara kelamin dan anus sama sekali tidak boleh terkesan jorok, porno, dan lucu. Mereka mesti diyakinkan bahwa kedua bagian tubuh yang sangat berfaedah itu sama vitalnya dengan alat-alat tubuh yang lain. Itu semua merupakan ciptaan sempurna Sang Khalik. Oleh karenanya, sebagaimana si anak tekun dan cermat menguasai dan merawat berbagai alat vital lain dalam tubuhnya, demikian pula ia harus mau dan mampu menguasai dan memelihara kelamin dan anusnya dengan tekun.

Tentu, materi dan cara mengajarkannya disesuaikan dengan tingkat usia dan pendidikan sang anak. Sekali lagi, perlu ditegaskan di sini, mereka yang mendidikkan dan mengajarkannya kepada anak sama sekali tidak boleh dan pernah menjadikannya sebagai bahan lelucon dengan anak.

Memang, selama ini banyak sekali orang tua di kota-kota besar rela mengeluarkan banyak uang untuk menyekolahkan anak mereka di sekolah-sekolah yang dianggap sangat bagus. Mereka juga menyuruh atau mewajibkan anak mengikuti berbagai kursus di rumah dan/atau di luar rumah. Ketika masih kecil, anak mereka diasuh pengasuh atau perawat khusus di rumah atau tempat penitipan (mereka menyebutnya Day Care agar terkesan modern). Tentu saja, mereka mengeluarkan banyak uang (ratusan ribu, berjuta-juta, bahkan hampir Rp 30 juta per bulan seperti di TK JIS) demi masa depan cemerlang anak-anak mereka.

Ambisi, upaya-upaya besar dan serius para orang tua tersebut layak kita puji atau apresiasi. Akan tetapi, sadar atau tak sadar, mereka justru melupakan satu hal yang sangat penting dalam kehidupan anak mereka kelak, yakni pendidikan dan pengajaran tentang hal-hal yang menyangkut kelamin dan anus (juga buah dada untuk anak perempuan) sejak dini kepada anak masing-masing. Mereka juga tak mendidik anak tentang bagaimana memahami, memersepsikan, menghargai, menghormati, menguasai, dan memelihara dengan benar dan baik kedua alat vital dalam tubuh tersebut. Juga tak diajarkan kepada anak untuk tidak menjadikannya sebagai bahan tertawaan atau candaan kapanpun, di manapun, dan dengan siapa pun.

Jadi, sesungguhnya sampai kini masih banyak orang tua yang harus belajar tentang kiat-kiat mendidik anak perempuan dan laki-laki secara benar, baik, dan adil. Orang tua tak boleh lagi memperlakukan anak perempuan secara diskriminatif atas nama agama, budaya, tradisi (adat), atau atas nama apa pun.

Anak perempuan dan laki-laki harus diyakinkan oleh orang tua, baik secara biologis maupun nirbiologis, baik secara intelektual atau akademik, maupun secara sosial dan rohaniah, derajat anak perempuan sama dengan anak laki-laki.

Dengan demikian, anak-anak kita, apa pun jenis kelaminnya, dapat bertumbuh dan dewasa menjadi manusia yang egaliter, otonom (mandiri), kuat, pemberani, kritis, cerdas, santun, dan mampu menghargai dan mencintai sesama manusia, apa pun jenis kelaminnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar