Bila
Kelamin Jadi Gurauan
S
Sagala Tua Saragih ; Dosen Prodi Jurnalistik Fikom Unpad
|
REPUBLIKA,
07 Mei 2014
|
Tragedi
di Sekolah Taman Kanak-Kanak Jakarta
International School (TK JIS)
menjadi
komoditas semua jenis media massa, terutama televisi siaran. Masalah besar
ini berkali-kali menjadi topik diskusi atau perbincangan ramai di stasiun-stasiun
televisi swasta nasional.
Ironisnya,
beberapa laki-laki yang turut dalam acara bincang-bincang itu justru
menanggapinya sambil tertawa-tawa. Seolah, mereka senang melihat anak kecil
itu menderita berat. Memang secara verbal mereka menyalahkan atau menghakimi
pelaku sodomi terhadap siswa laki-laki yang bersekolah TK yang luar biasa mahal
itu (uang sekolah per siswa hampir Rp 30 juta per bulan).
Akan
tetapi, mereka tak menunjukkan sikap keprihatinan, kesedihan, dan empati yang
mendalam terhadap korban yang baru berusia lima tahun tersebut.
Mereka
tak menunjukkan sikap tubuh dan ucapan dalam diri sendiri; andaikata tragedi
itu menimpa anakku sendiri.
Harus
kita akui, sejak kecil hingga dewasa, dalam obrolan sehari-hari kita kerap
sekali menjadikan kelamin (alat reproduksi atau genital) sebagai bahan
gurauan. Bagian tubuh yang sering disebut alat vital itu sesungguhnya sama vitalnya
dengan bagian tubuh lain. Kelamin tak terpisahkan dari bagian tubuh secara
keseluruhan. Ini adalah ciptaan besar Tuhan yang semestinya diperlakukan dan
dipersepsikan sama dengan semua alat vital lainnya yang terdapat dalam tubuh
kita. Dapat dibayangkan bila seorang bayi lahir tanpa kelamin.
Entah
mengapa, kita kok senang menjadikan kelamin sebagai bahan candaan. Dengan
demikian, sesungguhnya kita telah merendahkan derajat kelamin.
Bahkan,
orang tua juga sering menjadikan kelamin anak kecilnya bahan candaan dengan
anaknya sendiri. Akibatnya, si anak juga beranggapan bahwa kelamin memang
merupakan bahan gurauan yang biasa.
Coba
renungkan sejenak, layakkah ciptaan Tuhan yang terdapat dalam tubuh kita yang
sangat sempurna tersebut kita jadikan bahan olok-olok atau gurauan?
Tampaknya, kebiasaan buruk inilah yang membuat beberapa laki-laki yang tampil
di TV-TV yang sedang memperbincangkan tragedi di TK JIS itu tertawa ria.
Seolah-olah, pemerkosaan (penyodomian) siswa laki-laki yang masih sangat polos
tersebut layak ditertawakan atau dijadikan bahan lelucon.
Memang,
laki-laki memerkosa perempuan sudah menjadi berita sehari-hari di media
massa. Memang, laki-laki dewasa menyodomi atau memerkosa laki-laki yang masih
tergolong anak (berusia di bawah 18 tahun tahun) juga telah sering
diberitakan. Bahkan, ada anak laki-laki dibunuh setelah disodomi laki-laki
pemerkosanya. Akan tetapi, setiap kali tragedi seperti ini terungkap dan
diberitakan semua media massa berhari-hari, bahkan berminggu-minggu,
tampaknya kita (terutama orang ua dan guru) tidak mau belajar dari peristiwa
buruk tersebut.
Setelah
sangat ramai dan lelah meng gunjingkannya, lalu kita segera melupakannya.
Padahal, pengalaman (baik atau buruk) yang kita alami sendiri ataupun yang
dialami orang lain, seharusnya menjadi guru terbaik bagi kita.
Setelah
mengetahui sebab musabab tragedi itu, semestinya semua orang tua yang
mempunyai anak kecil dan remaja serta para guru mampu melakukan berbagai
upaya pencegahan.
Menjadi guru biologi
Memang,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muh Nuh, beberapa waktu lalu, secara resmi
telah menutup TK JIS untuk selama-lamanya (katanya). Akan tetapi, kita tak
perlu kaget bila besok- lusa terjadi lagi tragedi serupa atau yang jauh lebih
parah daripada tragedi di TK JIS. Nah, agar kita tidak terus-menerus bodoh,
mulai sekarang para orang tua, pengasuh anak di rumah atau pembantu rumah
tangga, pengasuh anak di tempat penitipan anak, para aktivis, atau guru di
lembaga-lembaga PAUD (pendidikan anak usia dini), guru-guru di sekolah (TK,
SD, sekolah lanjutan tingkat pertama, dan sekolah lanjutan tingkat atas),
seharusnya menjadi guru biologi. Artinya, mereka memiliki pengetahuan (sedikit
banyak) tentang kelamin dan lubang anus alias liang dubur.
Membicarakan
kelamin kepada anak sejak mereka masih berusia di bawah lima tahun (balita),
tak boleh lagi ditabukan atau diharamkan, tetapi justru di wajibkan. Siapa
pun yang mengurus anak harus mampu mengajarkan biologi (minimal tentang
kelamin dan anus) kepada anak yang mereka asuh secara rinci. Tidak hanya
fungsi kedua alat vital itu diajarkan, tetapi juga kiat-kiat menguasai dan
merawatnya dengan sebaik-baiknya.
Membicarakan
dan mengajarkan kiat-kiat menguasai dan memelihara kelamin dan anus sama
sekali tidak boleh terkesan jorok, porno, dan lucu. Mereka mesti diyakinkan
bahwa kedua bagian tubuh yang sangat berfaedah itu sama vitalnya dengan
alat-alat tubuh yang lain. Itu semua merupakan ciptaan sempurna Sang Khalik.
Oleh karenanya, sebagaimana si anak tekun dan cermat menguasai dan merawat
berbagai alat vital lain dalam tubuhnya, demikian pula ia harus mau dan mampu
menguasai dan memelihara kelamin dan anusnya dengan tekun.
Tentu,
materi dan cara mengajarkannya disesuaikan dengan tingkat usia dan pendidikan
sang anak. Sekali lagi, perlu ditegaskan di sini, mereka yang mendidikkan dan
mengajarkannya kepada anak sama sekali tidak boleh dan pernah menjadikannya
sebagai bahan lelucon dengan anak.
Memang,
selama ini banyak sekali orang tua di kota-kota besar rela mengeluarkan
banyak uang untuk menyekolahkan anak mereka di sekolah-sekolah yang dianggap
sangat bagus. Mereka juga menyuruh atau mewajibkan anak mengikuti berbagai
kursus di rumah dan/atau di luar rumah. Ketika masih kecil, anak mereka
diasuh pengasuh atau perawat khusus di rumah atau tempat penitipan (mereka
menyebutnya Day Care agar terkesan
modern). Tentu saja, mereka mengeluarkan banyak uang (ratusan ribu,
berjuta-juta, bahkan hampir Rp 30 juta per bulan seperti di TK JIS) demi masa
depan cemerlang anak-anak mereka.
Ambisi,
upaya-upaya besar dan serius para orang tua tersebut layak kita puji atau
apresiasi. Akan tetapi, sadar atau tak sadar, mereka justru melupakan satu
hal yang sangat penting dalam kehidupan anak mereka kelak, yakni pendidikan
dan pengajaran tentang hal-hal yang menyangkut kelamin dan anus (juga buah
dada untuk anak perempuan) sejak dini kepada anak masing-masing. Mereka juga
tak mendidik anak tentang bagaimana memahami, memersepsikan, menghargai,
menghormati, menguasai, dan memelihara dengan benar dan baik kedua alat vital
dalam tubuh tersebut. Juga tak diajarkan kepada anak untuk tidak
menjadikannya sebagai bahan tertawaan atau candaan kapanpun, di manapun, dan
dengan siapa pun.
Jadi,
sesungguhnya sampai kini masih banyak orang tua yang harus belajar tentang
kiat-kiat mendidik anak perempuan dan laki-laki secara benar, baik, dan adil.
Orang tua tak boleh lagi memperlakukan anak perempuan secara diskriminatif
atas nama agama, budaya, tradisi (adat), atau atas nama apa pun.
Dengan
demikian, anak-anak kita, apa pun jenis kelaminnya, dapat bertumbuh dan dewasa
menjadi manusia yang egaliter, otonom (mandiri), kuat, pemberani, kritis, cerdas,
santun, dan mampu menghargai dan mencintai sesama manusia, apa pun jenis
kelaminnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar