Berharap
Kontribusi Presiden Baru
Suzanty
Sitorus ; Bekerja di Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)
|
KOMPAS,
05 Mei 2014
|
TAHUN ini, 2014, Afrika Selatan,
Brasil, India, dan Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum. Keempat negara
berkembang tersebut sedang memacu pertumbuhan ekonominya agar lebih sejahtera
dan berperan makin kuat dalam percaturan ekonomi-politik internasional.
Maka hasil pemilu bukan hanya
penting bagi rakyat, melainkan juga bagi komunitas internasional. Pemenang
pemilu akan menghadapi berbagai tantangan dan peluang lokal ataupun global.
Salah satunya yang segera dihadapi oleh pemerintahan baru Indonesia adalah
kesepakatan multilateral mengenai penanganan perubahan iklim yang akan
diadopsi pada 2015.
Kesepakatan tersebut akan
dibangun dari kontribusi 195 negara pihak Konvensi Kerangka Kerja PBB
mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC), termasuk Indonesia, yang diharapkan
disampaikan pada akhir Maret 2015. Ini berarti, dalam kurun waktu kurang dari
enam bulan setelah presiden baru dilantik pada Oktober tahun ini, Indonesia
sudah harus siap menyampaikan kontribusi nasional untuk membantu dunia
meminimalkan perubahan iklim.
Kepentingan nasional
Kontribusi itu adalah nationally determined contribution
(NDC) setiap negara pihak sebagai perwujudan komitmen bersama mengatasi
berbagai persoalan penyebab dan dampak perubahan iklim. Keseluruhan NDC akan
menjadi basis kesepakatan baru yang akan efektif mulai tahun 2020.
Isi, bentuk, dan kekuatan hukum
NDC sedang dirundingkan. Namun, sudah terdapat kesamaan pandangan
negara-negara pihak UNFCCC bahwa NDC mencakup pengurangan emisi gas rumah
kaca (GRK) atau mitigasi, adaptasi terhadap dampak perubahan iklim,
penyediaan pendanaan dan teknologi, serta peningkatan kapasitas.
Dari beberapa elemen tersebut,
yang paling krusial adalah mitigasi. Seberapa jauh komitmen dunia akan
memengaruhi tingkat dampak global perubahan iklim. Semakin tinggi tingkat
pengurangan emisi, semakin sedikit upaya dan biaya untuk beradaptasi dan
menutupi kerugian dan kehilangan akibat perubahan iklim.
Mitigasi penting karena
pengurangan emisi yang mencakup seluruh sektor ekonomi memerlukan perubahan
struktural yang akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi dan daya saing
suatu negara. Dalam jangka pendek, upaya untuk mengarahkan pembangunan rendah
karbon berkemungkinan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Dalam jangka menengah dan
panjang, upaya-upaya seperti pengelolaan tata ruang dan alih guna lahan,
penggunaan energi ramah lingkungan dan terbarukan, serta efisiensi energi
akan berdampak baik terhadap pertumbuhan ekonomi. Daya saing juga akan
meningkat karena jejak karbon dan efisiensi produk semakin menjadi tuntutan
pasar.
Karena persoalan ekonomi
tersebut terkait erat dengan kinerja politik penguasa di
setiap negara,
perundingan di akhir 2015 diperkirakan sangat alot.
Kontribusi semua
Rezim global perubahan iklim
saat ini yang berlaku hingga 2020 ditopang oleh Konvensi dan Protokol Kyoto
yang telah diratifikasi Indonesia. Kedua instrumen legal tersebut mewajibkan
negara-negara industri maju mengurangi emisi GRK dan juga menyediakan bantuan
pendanaan, teknologi, dan peningkatan kapasitas kepada negara berkembang
untuk kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Kesepakatan rezim global baru,
selain menuntut negara-negara pihak UNFCCC melakukan mitigasi lebih dalam,
juga meminta semua negara—maju atau berkembang— memberikan kontribusi. Hal
tersebut berdasarkan temuan saintifik terbaru yang menunjukkan bahwa suhu rata-rata
global akan sulit dipertahankan di bawah angka 2 derajat bila negara-negara
berkembang tidak ikut melakukan mitigasi. Angka 2 derajat adalah batas aman
dari dampak perubahan iklim yang katastrofik.
Meskipun demikian, prinsip
applicable to all tersebut diperkirakan diiringi dengan pembedaan
(diferensiasi). Pasalnya, 129 negara dalam kelompok negara berkembang tidak
homogen. Masih banyak negara yang sangat miskin, sebagian besar berpendapatan
menengah, dan beberapa memiliki penghasilan per kapita lebih tinggi daripada
negara maju.
Indonesia secara sukarela sudah
berkomitmen mengurangi emisi 26 persen dengan sumber daya sendiri hingga
tahun 2020 yang dihitung dari angka skenario business-as-usual. Indonesia
juga berkomitmen mengurangi emisi hingga 41 persen bila tersedia dukungan
internasional. Indonesia adalah negara berkembang pertama yang berkomitmen
sukarela.
Dengan komitmen tersebut,
prinsip applicable to all dalam
rezim baru bukan hal yang asing. Tantangan spesifik bagi Indonesia adalah
bagaimana merumuskan NDC dengan mempertimbangkan bahwa pada periode 2020-2030
Indonesia harus mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen agar
tidak terjebak sebagai lower
middle-income country. Dalam periode yang sama, bonus demografi di satu
sisi membuka peluang angkatan kerja yang besar, tetapi di sisi lain
meningkatkan kebutuhan energi dan emisi GRK.
Dewan Nasional Perubahan Iklim
sebagai lembaga koordinasi penanganan perubahan iklim, saat ini, memimpin
proses penyiapan NDC Indonesia dengan perspektif bahwa komitmen pengurangan
emisi GRK menawarkan peluang, bukan beban. Peluang itu mengoreksi pengelolaan
sumber daya alam, memperkuat ketahanan pangan dan energi, serta meningkatkan
investasi dan alih teknologi, dan mendukung pembangunan ekonomi yang lebih hijau.
Besar harapan presiden terpilih dan pemerintahan baru akan memanfaatkan NDC
sebagai peluang untuk mencegah dunia dari kehancuran ekologis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar