Kamis, 08 Mei 2014

Berharap Kontribusi Presiden Baru

Berharap Kontribusi Presiden Baru

Suzanty Sitorus  ;   Bekerja di Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)
KOMPAS,  05 Mei 2014

                                                                                         
                                                      
TAHUN ini, 2014, Afrika Selatan, Brasil, India, dan Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum. Keempat negara berkembang tersebut sedang memacu pertumbuhan ekonominya agar lebih sejahtera dan berperan makin kuat dalam percaturan ekonomi-politik internasional.

Maka hasil pemilu bukan hanya penting bagi rakyat, melainkan juga bagi komunitas internasional. Pemenang pemilu akan menghadapi berbagai tantangan dan peluang lokal ataupun global. Salah satunya yang segera dihadapi oleh pemerintahan baru Indonesia adalah kesepakatan multilateral mengenai penanganan perubahan iklim yang akan diadopsi pada 2015.

Kesepakatan tersebut akan dibangun dari kontribusi 195 negara pihak Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC), termasuk Indonesia, yang diharapkan disampaikan pada akhir Maret 2015. Ini berarti, dalam kurun waktu kurang dari enam bulan setelah presiden baru dilantik pada Oktober tahun ini, Indonesia sudah harus siap menyampaikan kontribusi nasional untuk membantu dunia meminimalkan perubahan iklim.

Kepentingan nasional

Kontribusi itu adalah nationally determined contribution (NDC) setiap negara pihak sebagai perwujudan komitmen bersama mengatasi berbagai persoalan penyebab dan dampak perubahan iklim. Keseluruhan NDC akan menjadi basis kesepakatan baru yang akan efektif mulai tahun 2020.

Isi, bentuk, dan kekuatan hukum NDC sedang dirundingkan. Namun, sudah terdapat kesamaan pandangan negara-negara pihak UNFCCC bahwa NDC mencakup pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) atau mitigasi, adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, penyediaan pendanaan dan teknologi, serta peningkatan kapasitas.

Dari beberapa elemen tersebut, yang paling krusial adalah mitigasi. Seberapa jauh komitmen dunia akan memengaruhi tingkat dampak global perubahan iklim. Semakin tinggi tingkat pengurangan emisi, semakin sedikit upaya dan biaya untuk beradaptasi dan menutupi kerugian dan kehilangan akibat perubahan iklim.
Mitigasi penting karena pengurangan emisi yang mencakup seluruh sektor ekonomi memerlukan perubahan struktural yang akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi dan daya saing suatu negara. Dalam jangka pendek, upaya untuk mengarahkan pembangunan rendah karbon berkemungkinan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Dalam jangka menengah dan panjang, upaya-upaya seperti pengelolaan tata ruang dan alih guna lahan, penggunaan energi ramah lingkungan dan terbarukan, serta efisiensi energi akan berdampak baik terhadap pertumbuhan ekonomi. Daya saing juga akan meningkat karena jejak karbon dan efisiensi produk semakin menjadi tuntutan pasar.

Karena persoalan ekonomi tersebut terkait erat dengan kinerja politik penguasa di 
setiap negara, perundingan di akhir 2015 diperkirakan sangat alot.

Kontribusi semua

Rezim global perubahan iklim saat ini yang berlaku hingga 2020 ditopang oleh Konvensi dan Protokol Kyoto yang telah diratifikasi Indonesia. Kedua instrumen legal tersebut mewajibkan negara-negara industri maju mengurangi emisi GRK dan juga menyediakan bantuan pendanaan, teknologi, dan peningkatan kapasitas kepada negara berkembang untuk kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Kesepakatan rezim global baru, selain menuntut negara-negara pihak UNFCCC melakukan mitigasi lebih dalam, juga meminta semua negara—maju atau berkembang— memberikan kontribusi. Hal tersebut berdasarkan temuan saintifik terbaru yang menunjukkan bahwa suhu rata-rata global akan sulit dipertahankan di bawah angka 2 derajat bila negara-negara berkembang tidak ikut melakukan mitigasi. Angka 2 derajat adalah batas aman dari dampak perubahan iklim yang katastrofik.

Meskipun demikian, prinsip applicable to all tersebut diperkirakan diiringi dengan pembedaan (diferensiasi). Pasalnya, 129 negara dalam kelompok negara berkembang tidak homogen. Masih banyak negara yang sangat miskin, sebagian besar berpendapatan menengah, dan beberapa memiliki penghasilan per kapita lebih tinggi daripada negara maju.

Indonesia secara sukarela sudah berkomitmen mengurangi emisi 26 persen dengan sumber daya sendiri hingga tahun 2020 yang dihitung dari angka skenario business-as-usual. Indonesia juga berkomitmen mengurangi emisi hingga 41 persen bila tersedia dukungan internasional. Indonesia adalah negara berkembang pertama yang berkomitmen sukarela.

Dengan komitmen tersebut, prinsip applicable to all dalam rezim baru bukan hal yang asing. Tantangan spesifik bagi Indonesia adalah bagaimana merumuskan NDC dengan mempertimbangkan bahwa pada periode 2020-2030 Indonesia harus mempertahankan pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen agar tidak terjebak sebagai lower middle-income country. Dalam periode yang sama, bonus demografi di satu sisi membuka peluang angkatan kerja yang besar, tetapi di sisi lain meningkatkan kebutuhan energi dan emisi GRK.

Dewan Nasional Perubahan Iklim sebagai lembaga koordinasi penanganan perubahan iklim, saat ini, memimpin proses penyiapan NDC Indonesia dengan perspektif bahwa komitmen pengurangan emisi GRK menawarkan peluang, bukan beban. Peluang itu mengoreksi pengelolaan sumber daya alam, memperkuat ketahanan pangan dan energi, serta meningkatkan investasi dan alih teknologi, dan mendukung pembangunan ekonomi yang lebih hijau. Besar harapan presiden terpilih dan pemerintahan baru akan memanfaatkan NDC sebagai peluang untuk mencegah dunia dari kehancuran ekologis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar