Kamis, 01 Mei 2014

Berjamaah Rusak Jalan

Berjamaah Rusak Jalan

Saratri Wilonoyudho  ;   Dosen Universitas Negeri Semarang
SUARA MERDEKA, 30 April 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
MELIHAT tayangan televisi Gubernur Jateng Ganjar Pranowo marah besar, bahkan menggebrak meja, manakala melihat kernet truk meletakkan uang di meja petugas jembatan timbang Subah Kabupaten Batang, masyarakat makin tahu bahwa benar proyek abadi kerusakan jalan pantura itu akibat ”korupsi berjamaah” tersebut. Apakah Ganjar baru tahu belakangan mafia semacam itu? Saya yakin tidak karena secara kasat mata masyarakat pun tahu saweran seperti itu sudah menjadi tradisi yang menghidupi para oknum.

Orang awam tahu berapa kira-kira berat tronton atau trailer yang berjalan bagai siput. Kalau dengan berat 20-30 ton saja lolos, tak dikenai denda, apa gunanya jembatan timbang? Jembatan timbang dirancang untuk tindak preventif agar truk yang bermuatan melebihi batas tonase diizinkan tak boleh lewat karena tidak sesuai dengan kekuatan konstruksi jalan, di samping membahayakan kendaraan lain.

Faktanya, ”filosofi” jembatan timbang tidak digubris. Jembatan tersebut hanya sebagai sarana ”memeras” pengusaha (transportasi).
Pengusaha juga untung dengan saweran itu  karena mereka bisa memuat berapa saja truknya. Ada simbiosis mutualisme  antara oknum petugas jembatan timbang (sampai atasannya), pengusaha, dan pejabat-kontraktor jalan.

Bagi oknum petugas jembatan timbang, ada pemasukan pribadi walaupun haram, dan bagi para kontraktor jalan, dan pejabat yang berwenang, diloloskannya truk besar itu juga merupakan ’’berkah’’ karena mempercepat kerusakan jalan. Hal itu berarti akan ada proyek ”abadi”. Jadi, untuk menghidupi anak istri, mereka tega berjamaah ’’merusak’’ jalan, menyusahkan orang lain yang lewat.

Bagaimana mungkin jalan awet jika truk bermuatan berlebih dibiarkan lewat hanya karena kernetnya memberi saweran kepada oknum petugas? Mengapa muatan tronton atau trailer besar itu tidak dilewatkan laut atau kereta api? Ini adalah sederet keanehan negeri ini.

Bagaimana mungkin kita membayari para pejabat di kementerian kalau masalah abadi seperti ini berjalan terus? Apakah sebaiknya institusi tersebut dihilangkan saja, sebagai gantinya panggil investor untuk bikin jalan dan rel ganda atau angkutan laut lain, dan kita membayar saja layaknya jalan tol? Ini justru akan lebih efisien daripada menggaji mereka yang tak pernah beres bekerja beres.

Betapa hebat misi Daendels pada masa lalu. Ia begitu paham bahwa infrastruktur jalan sangat penting artinya bagi kebangkitan perekonomian suatu negara. Saya mendengar keluhan seorang pengusaha buah-buahan dari Jakarta yang mengatakan justru lebih murah mendatangkan buah dan sayur dari Tiongkok, AS, atau Thailand ketimbang dari Malang. Alasannya sederhana. Bila mendatangkan dari Malang, biaya angkutnya sangat besar karena awak truk dan pengusaha angkutan harus menyiapkan uang untuk saweran.

Bagaimana mungkin jalanan pantura yang ’’sempit’’ itu tiap hari harus dilalui trailer dan tronton dengan berat puluhan ton, berjalan merayap mengganggu pengguna jalan lain. Kita kedodoran terus untuk melayani rakyat. Menjelang mudik, masyarakat harus bekerja keras dan rela menyabung nyawa naik motor membonceng istri dan anak, melawati jalan rusak, bersaing dengan truk dan bus.

Memperkaya Diri

Menurut Hadi Supeno dalam buku Korupsi di Daerah (2009; hal 77), korupsi pembangunan jalan merupakan salah satu modus operandi untuk memperkaya diri yang relatif mudah dilakukan. Caranya, kelebaran dan ketebalan aspal dimanipulasi. Kalau mau diteliti seksama, lebar jalan aspal tidak sama, demikian pula ketebalannya.

Selisih 5 cm saja bila dikalikan berapa ratus kilometer, maka dapat dibayangkan keuntungannya. Karena itu, ada pemborong berani mengerjakan proyek jalan dengan nilai 65% dari yang ditawarkan, dan ia mengaku bisa untung. Itu pun sudah membayar pajak dan merawat  pejabat dari tingkat atas hingga tukang ketik di kantor pimpinan proyek.

Kata Hadi melalui buku itu, jika saat ini nilai pembangunan infrastruktur mencapai angka Rp 35 triliun maka hanya Rp 20 triliun yang sungguh-sungguh direalisasikan. Pantas usia jalan tidak lama. Jalan kini menjadi pembunuh nomor satu karena banyak kecelakaan, baik tabrakan atau kecelakaan tunggal akibat kendaraan masuk ke lubang. Jalan rusak juga menjadi biang keladi ekonomi biaya tinggi.

Jalan benar-benar terbuka untuk siapa saja, memberikan kenyamanan, mengekspresikan dengan jujur kondisi sosekbud aktual masyarakat. Jika jalan-jalan di negeri ini tidak ditata ulang dengan konstruksi kuat dan nyaman, dipastikan negeri ini akan lumpuh karena urat nadinya tersumbat. Sama halnya orang terkena stroke maka bicaranya cedal dan ngawur serta tidak ada koordinasi antara otot dan otak. Ini artinya kondisi yang mati dalam kehidupan.

Hanya ada dua jalan untuk mengatasi ini, yakni tiap jembatan timbang dilengkapi timbangan  online yang dapat diakses oleh siapa saja agar tahu tonase truk yang lewat. Lebih baik lagi bila dilengkapi CCTV kendati kamera pengawas di jembatan timbang Subah ternyata tak memonitor salah satu meja yang menjadi tempat para kernet truk melemparkan saweran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar