Berjamaah
Rusak Jalan
Saratri Wilonoyudho ; Dosen Universitas
Negeri Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 30 April 2014
MELIHAT
tayangan televisi Gubernur Jateng Ganjar Pranowo marah besar, bahkan
menggebrak meja, manakala melihat kernet truk meletakkan uang di meja petugas
jembatan timbang Subah Kabupaten Batang, masyarakat makin tahu bahwa benar
proyek abadi kerusakan jalan pantura itu akibat ”korupsi berjamaah” tersebut.
Apakah Ganjar baru tahu belakangan mafia semacam itu? Saya yakin tidak karena
secara kasat mata masyarakat pun tahu saweran
seperti itu sudah menjadi tradisi yang menghidupi para oknum.
Orang awam tahu berapa kira-kira berat tronton atau trailer yang
berjalan bagai siput. Kalau dengan berat 20-30 ton saja lolos, tak dikenai
denda, apa gunanya jembatan timbang? Jembatan timbang dirancang untuk tindak
preventif agar truk yang bermuatan melebihi batas tonase diizinkan tak boleh
lewat karena tidak sesuai dengan kekuatan konstruksi jalan, di samping
membahayakan kendaraan lain.
Faktanya,
”filosofi” jembatan timbang tidak digubris. Jembatan tersebut hanya sebagai
sarana ”memeras” pengusaha (transportasi).
Pengusaha
juga untung dengan saweran itu karena
mereka bisa memuat berapa saja truknya. Ada simbiosis mutualisme antara oknum petugas jembatan timbang
(sampai atasannya), pengusaha, dan pejabat-kontraktor jalan.
Bagi
oknum petugas jembatan timbang, ada pemasukan pribadi walaupun haram, dan
bagi para kontraktor jalan, dan pejabat yang berwenang, diloloskannya truk
besar itu juga merupakan ’’berkah’’ karena mempercepat kerusakan jalan. Hal
itu berarti akan ada proyek ”abadi”. Jadi, untuk menghidupi anak istri,
mereka tega berjamaah ’’merusak’’ jalan, menyusahkan orang lain yang lewat.
Bagaimana mungkin jalan awet jika truk bermuatan berlebih dibiarkan
lewat hanya karena kernetnya memberi saweran kepada oknum petugas? Mengapa
muatan tronton atau trailer besar itu tidak dilewatkan laut atau kereta api?
Ini adalah sederet keanehan negeri ini.
Bagaimana mungkin kita membayari para pejabat di kementerian kalau
masalah abadi seperti ini berjalan terus? Apakah sebaiknya institusi tersebut
dihilangkan saja, sebagai gantinya panggil investor untuk bikin jalan dan rel
ganda atau angkutan laut lain, dan kita membayar saja layaknya jalan tol? Ini
justru akan lebih efisien daripada menggaji mereka yang tak pernah beres
bekerja beres.
Betapa
hebat misi Daendels pada masa lalu. Ia begitu paham bahwa infrastruktur jalan
sangat penting artinya bagi kebangkitan perekonomian suatu negara. Saya mendengar keluhan seorang pengusaha buah-buahan
dari Jakarta yang mengatakan justru lebih murah mendatangkan buah dan sayur
dari Tiongkok, AS, atau Thailand ketimbang dari Malang. Alasannya sederhana.
Bila mendatangkan dari Malang, biaya angkutnya sangat besar karena awak truk
dan pengusaha angkutan harus menyiapkan uang untuk saweran.
Bagaimana
mungkin jalanan pantura yang ’’sempit’’ itu tiap hari harus dilalui trailer
dan tronton dengan berat puluhan ton, berjalan merayap mengganggu pengguna
jalan lain. Kita kedodoran terus untuk melayani rakyat. Menjelang mudik,
masyarakat harus bekerja keras dan rela menyabung nyawa naik motor membonceng
istri dan anak, melawati jalan rusak, bersaing dengan truk dan bus.
Memperkaya Diri
Menurut Hadi Supeno dalam buku Korupsi
di Daerah (2009; hal 77), korupsi pembangunan jalan merupakan salah satu
modus operandi untuk memperkaya diri yang relatif mudah dilakukan. Caranya,
kelebaran dan ketebalan aspal dimanipulasi. Kalau mau diteliti seksama, lebar
jalan aspal tidak sama, demikian pula ketebalannya.
Selisih 5 cm saja bila dikalikan berapa ratus kilometer, maka dapat
dibayangkan keuntungannya. Karena itu, ada pemborong berani mengerjakan
proyek jalan dengan nilai 65% dari yang ditawarkan, dan ia mengaku bisa
untung. Itu pun sudah membayar pajak dan merawat pejabat dari tingkat atas hingga tukang
ketik di kantor pimpinan proyek.
Kata
Hadi melalui buku itu, jika saat ini nilai pembangunan infrastruktur mencapai
angka Rp 35 triliun maka hanya Rp 20 triliun yang sungguh-sungguh direalisasikan.
Pantas usia jalan tidak lama. Jalan kini menjadi pembunuh nomor satu karena
banyak kecelakaan, baik tabrakan atau kecelakaan tunggal akibat kendaraan
masuk ke lubang. Jalan rusak juga menjadi biang keladi ekonomi biaya tinggi.
Jalan
benar-benar terbuka untuk siapa saja, memberikan kenyamanan, mengekspresikan
dengan jujur kondisi sosekbud aktual masyarakat. Jika jalan-jalan di negeri
ini tidak ditata ulang dengan konstruksi kuat dan nyaman, dipastikan negeri
ini akan lumpuh karena urat nadinya tersumbat. Sama halnya orang terkena stroke maka bicaranya cedal dan ngawur serta tidak ada koordinasi antara otot dan otak. Ini
artinya kondisi yang mati dalam kehidupan.
Hanya ada dua jalan untuk mengatasi ini, yakni tiap jembatan timbang
dilengkapi timbangan online
yang dapat diakses oleh siapa saja agar tahu tonase truk yang lewat. Lebih
baik lagi bila dilengkapi CCTV kendati kamera pengawas di jembatan timbang
Subah ternyata tak memonitor salah satu meja yang menjadi tempat para kernet
truk melemparkan saweran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar