Kemenangan
Semu Kaum Buruh
Heru Budi Utoyo ; Ketua Konfederasi
Serikat Pekerja Nasional
(KSPN) Kota Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 30 April 2014
"Hak pekerja kontrak dan tenaga alih daya
terus digerus, menutup kesempatan mereka menjadi pekerja tetap"
SEJARAH
kelahiran Hari Buruh Sedunia tidak terlepas dari perjuangan panjang pekerja
pada awal abad ke-19 guna mendapatkan kendali ekonomi politis hak-hak mereka
dalam hubungan industrial, terutama di negara Eropa Barat dan Amerika
Serikat. Waktu itu buruh menuntut pengurangan lama jam kerja dari 19-20 jam
per hari menjadi hanya 8 jam.
Lewat
serangkaian aksi mogok kerja, mereka menuntut perubahan jam kerja dengan inti
’’8 Jam Kerja, 8 Jam Istirahat, dan 8 Jam untuk Rekreasi’’. Perjuangan mereka
berhasil dengan ditetapkannya 8 jam kerja per hari, per 1 Mei 1886 di
Amerika, dan tanggal itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Buruh Sedunia (May
Day).
Momentum
peringatan Hari Buruh seyogianya bisa menjadi ajang pembuktian janji-janji
politik para caleg dan partai yang memenangi Pemilu 2014. Harapannya, mereka
dapat mewujudkan kesejahteraan pekerja, termasuk menyelesaikan beberapa
persoalan yang masih dihadapi buruh.
Pertama;
makin banyak perusahaan menerapkan sistem kerja kontrak dan alih daya (outsourcing) yang menjadikan kondisi
buruh dari hari ke hari makin terjepit akibat ketidakpastian kerja, keminiman
lapangan kerja, dan rendahnya posisi tawar di hadapan pengusaha. Sistem kontrak
dan alih daya secara sistematis akan menghilangkan hak-hak buruh.
Hak itu
semisal menyangkut kesejahteraan dan keberlangsungan kerja mengingat mereka
akan kesulitan mencari kerja setelah berakhirnya kontrak karena faktor usia.
Secara politis mereka juga akan kehilangan haknya berorganisasi secara bebas
setelah kontrak kerjanya berakhir.
Hak-hak
pekerja kontrak dan tenaga alih daya terus digerus, menutup kesempatan mereka
menjadi pekerja tetap. Selain itu, menaburkan kecemburuan sosial antara
pekerja tetap dan pekerja kontrak. Pekerja kontrak masih dihadapkan persoalan
kepastian kerja, dan tiap individu harus berjuang sendiri untuk mendapatkan
perpanjangan kontrak.
Kedua;
keminiman upah yang masih jauh dari nilai penghidupan layak sebagaimana
diamanatkan undang-undang. Mekanisme survei berikut semua item dalam
Permenakertrans Nomor13 Tahun 2012 belum mengakomodasi kebutuhan hidup secara
riil bagi buruh. Upah yang diterima mendasarkan upah minimum yang menggunakan
standar kebutuhan buruh lajang. Faktanya, 52% lebih buruh sudah berkeluarga.
Bahkan Provinsi Jawa Tengah ini mendapat tiga predikat terendah dalam
mewujudkan upah layak. Tiga hal yang masih tertinggal dari provinsi lain
tersebut menyangkut upah buruh di tingkat kota/kabupaten, upah buruh di kota metropolitan,
dan upah rata-rata buruh. Fakta itu seharusnya mendapat perhatian dari
pemprov.
Ketiga;
berkurangnya kesejahteraan yang diterima buruh, seperti tunjangan makan, uang
transpor, dan jaminan sosial. Hal itu tidak diimbangi dengan pemenuhan terhadap
hak-hak lain, semisal hak buruh perempuan yang terabaikan, seperti hak cuti
haid, cuti melahirkan, cuti keguguran, dan hak menyusui bayi. Kadang buruh
perempuan dipaksa bekerja melebihi jam tanpa dihitung lembur mendalihkan
supaya bisa memenuhi target.
Keempat;
mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dalam UU
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(PPHI). Regulasi yang menyebutkan sebagai cara mudah dan murah untuk
menyelesaikan persoalan antara buruh dan pengusaha ternyata tetap menyisakan
kerumitan.
Trauma Buruh
Proses
penyelesaian perselisihan dimulai dari perundingan bipartit, mediasi, hingga
pengadilan hubungan industrial (PHI) butuh waktu cukup lama, bertele-tele,
dan biaya tidak sedikit. Akibatnya, buruh malas menempuh cara itu, bahkan
berisiko mengalami trauma ketika mempunyai permasalahan yang dibawa hingga
pengadilan hubungan industrial. Terlebih andai sampai proses kasasi di
Mahkamah Agung (MA).
Berbagai
persoalan yang hingga saat ini belum berpihak pada buruh menunjukkan betapa
lemah posisi tawar mereka. Realitas itu membutuhkan peran konkret pemerintah,
termasuk pemda, dalam melindungi buruh, semisal lewat peraturan dan
perundang-undangan yang melindungi buruh dan haknya.
Kepala
daerah seyogainya menggariskan kebijakan yang tidak merugikan buruh, serta
melalui Disnakertrans melakukan pengawasan dan menerapkan ketegasan pemberian
sanksi terhadap pengusaha yang melanggar hak buruh. Selain itu, serikat
pekerja/buruh dituntut bekerja lebih keras lagi untuk membangun kesadaran dan
solidaritas guna memperjuangkan nasib buruh.
May Day
merupakan hari kemenangan buruh, termasuk di Indonesia, namun sebenarnya
sekaligus menjadi ujian bagi buruh. Hal itu mengingat pada peringatan hari kemenangan,
buruh masih menghadapi berbagai persoalan menyangkut pemenuhan hak dan
kesejahteraan. Tapi minimal peringatan tahun ini dapat menjadi momentum bagi
buruh untuk membangun kekuatan.
Harapannya,
kekuatan baru tersebut mempunyai daya dobrak sebagaimana kekuatan yang
terbangun pada abad ke-19. Bagi buruh di Indonesia, perjuangan secara
terus-menerus dengan tetap di dalam koridor perundang-undangan niscaya dapat
membawa ke perubahan yang lebih baik, dan buruh bisa menikmati kesejahteraan
yang lebih memadai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar