Jumat, 01 November 2013

Bankir dan Gaya Hidup

Bankir dan Gaya Hidup
Susidarto  ;   Praktisi Perbankan, Tinggal di Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 31 Oktober 2013

PERHATIAN sebagian masyarakat kita belakangan ini terbetot oleh pemberitaan seputar internal fraud di Bank Syariah Mandiri (BSM) Cabang Bogor. Beberapa petinggi bank itu kini tengah menjalani proses penyidikan Bareskrim Polri karena diduga menyalahgunakan wewenang untuk menyalurkan kredit fiktif hingga mencapai Rp 102 miliar kepada 197 debitur.

Banyak orang terkesima, kaget, dan tidak percaya atas kejadian itu namun itulah realitasnya. Bahwa tampang penjahat yang kerap digambarkan bertampang sangar, kini bermetamorfosis. Penjahat masa kini bisa menjelma dalam sosok pejabat publik, wakil rakyat, dan yang terkini ’’diwakili’’ oleh bankir klimis, bergaya flamboyan, berpenampilan glamor, yang telah mengecoh banyak orang.

Itulah potret pergeseran gaya hidup, yang menjadikan perilaku konsumif sebagai panglima sehingga cenderung menghalalkan segala cara. Padahal, untuk mengongkosi gaya hidup semacam itu sangatlah  mahal. Seandainya gaji tak mencukupi maka yang biasa dilakukan adalah menambah penghasilan lewat cara ilegal, yakni mencuri uang nasabah. Fenomena itulah yang kental mewarnai kasus pengucuran kredit fiktif BSM Bogor.

Realitas dalam kasus BSM dan beberapa kasus (fraud) perbankan lainnya, menunjukkan ada sebab-musabab yang melatarbelakangi. Faktor itu berkelindan antara kelemahan sistem pengendalian internal dan faktor manusia. Gabungan dua hal tersebut acap ditandai kepercayaan berlebihan bahwa tiap pejabat bank mampu bekerja sesuai standard operating procedure (SOP) dan menafikan kemungkinan curang.

Situasi ini bertambah buruk manakala terjadi hubungan kenasabahan antara nasabah (bisa debitur bank) dan bank (diwakili oleh tenaga account officer/AO, termasuk kepala cabang) yang kebablasan sehingga bisa menyusun rancangan jahat.

Saking dekatnya hubungan acap bukan lagi hubungan bisnis profesional melainkan berubah menjadi hubungan personal (saling percaya). Artinya, si nasabah memberikan kepercayaan penuh kepada petugas bank, tenaga AO atau saling kongkalikong. Akhirnya bisa ditebak, terjadi persengkongkolan jahat antara debitur dan pegawai bank.

Hal semacam inilah yang akhirnya membuka peluang bagi pegawai bank atau karyawan internal bank (termasuk petingginya) yang memang memiliki iktikad tidak baik atau bermoral buruk, untuk menggelapkan dana nasabah melalui berbagai cara dan trik. Praktik ini sebenarnya memiliki modus konvensional, yakni mencuri uang secara langsung dari kredit fiktif yang dikucurkan bank secara sembrono. Kejahatan semacam ini makin dramatis apabila proses dual control dan mekanisme kontrol internal tidak berjalan baik.

Fraud internal dalam bentuk kredit fiktif ini sebenarnya sulit terjadi pada sebuah kantor cabang, bila semua proses dual control terlaksana dengan baik. Bisa dibayangkan, proses sebuah kredit sangatlah panjang, dari inisiasi awal, analisis, persetujuan, akad, pembukuan, dan monitoring kredit, yang melibatkan banyak unit kerja.

Kita bisa menyebut mulai dari unit pembukaan rekening, account officer, team leader kredit, komite kredit cabang (lebih dari dua orang), administrasi kredit, legal, notaris (PPAT), apraisal independen (atau internal), dan internal control unit (ICU). Kalau kredit fiktif bisa lolos dan nilainya fantastis, bahkan mencapai lebih dari 100 debitur, berarti ada yang salah dalam memproses sebuah kredit.

Saksi Ahli

Seandainya pun terjadi berarti semua pihak (unit kerja) terlibat alias terjadi internal fraud secara berjamaah. Kasus semacam ini harus ditelisik lebih mendalam karena proses pengucuran kredit tidak sederhana, semisal hanya melibatkan kepala cabang dan seorang account officer.

Mabes Polri sebaiknya melibatkan saksi ahli, yang dapat melihat persoalannya secara proporsional sehingga semua pihak yang terlibat harus mempertanggungjawabkannya. Ini untuk membuat efek jera sekaligus pembelajaran bagi bankir untuk tidak gegabah.

Intinya memang berpulang pada moral petugas bank. Apabila semua SOP dilanggar, bisa dipastikan bank bobol. Sebenarnya bank mudah mengurai benang kusut pelanggaran SOP seperti pembatasan limit kewenangan, proses dual control transaksi, mekanisme verifikasi dan konfirmasi transaksi kepada nasabah atau prosedur lain yang dilanggar.

Namun, dari sisi moral sangat sulit diuraikan. Pasalnya sebaik-baiknya sistem, apabila manusia di belakangnya ingkar terhadap nuraninya dan tdak memiliki pemahaman bahwa kehomatan diri terletak pada kepatuhan terhadap SOP maka ancaman fraud perbankan akan tetap ada.

Terlebih masalah moral ini kadang terpancing dan terkalahkan oleh berbagai kebutuhan hidup dan gaya hidup materialistik hedonis, jika imannya tidak kuat berakar. Gaya hidup dan pergaulan neokapitalis, metropolis, kerap memorakporandakan bangunan moral  yang terbangun sejak kecil. Inilah jerat pola salah pergaulan.


Karena itu, rumusan paling sederhana adalah kembali ke masalah moral karyawan bank itu. Kalau ingin hidup kaya raya, dan materialistik, jangan menjadi karyawan (bank), apa pun levelnya, yang pendapatannya serbaterukur. Lebih baik jadilah pengusaha yang income-nya bisa sangat tak terbatas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar