|
PERHATIAN sebagian masyarakat kita belakangan ini terbetot
oleh pemberitaan seputar internal fraud
di Bank Syariah Mandiri (BSM) Cabang Bogor. Beberapa petinggi bank itu kini
tengah menjalani proses penyidikan Bareskrim Polri karena diduga
menyalahgunakan wewenang untuk menyalurkan kredit fiktif hingga mencapai Rp 102
miliar kepada 197 debitur.
Banyak orang terkesima, kaget, dan tidak percaya atas
kejadian itu namun itulah realitasnya. Bahwa tampang penjahat yang kerap
digambarkan bertampang sangar, kini bermetamorfosis. Penjahat masa kini bisa
menjelma dalam sosok pejabat publik, wakil rakyat, dan yang terkini
’’diwakili’’ oleh bankir klimis, bergaya flamboyan, berpenampilan glamor, yang
telah mengecoh banyak orang.
Itulah potret pergeseran gaya hidup, yang menjadikan
perilaku konsumif sebagai panglima sehingga cenderung menghalalkan segala cara.
Padahal, untuk mengongkosi gaya hidup semacam itu sangatlah mahal.
Seandainya gaji tak mencukupi maka yang biasa dilakukan adalah menambah
penghasilan lewat cara ilegal, yakni mencuri uang nasabah. Fenomena itulah yang
kental mewarnai kasus pengucuran kredit fiktif BSM Bogor.
Realitas dalam kasus BSM dan beberapa kasus (fraud) perbankan lainnya, menunjukkan
ada sebab-musabab yang melatarbelakangi. Faktor itu berkelindan antara
kelemahan sistem pengendalian internal dan faktor manusia. Gabungan dua hal
tersebut acap ditandai kepercayaan berlebihan bahwa tiap pejabat bank mampu
bekerja sesuai standard operating
procedure (SOP) dan menafikan kemungkinan curang.
Situasi ini bertambah buruk manakala terjadi hubungan
kenasabahan antara nasabah (bisa debitur bank) dan bank (diwakili oleh tenaga account officer/AO, termasuk kepala
cabang) yang kebablasan sehingga bisa menyusun rancangan jahat.
Saking dekatnya hubungan acap bukan lagi hubungan bisnis
profesional melainkan berubah menjadi hubungan personal (saling percaya).
Artinya, si nasabah memberikan kepercayaan penuh kepada petugas bank, tenaga AO
atau saling kongkalikong. Akhirnya bisa ditebak, terjadi persengkongkolan jahat
antara debitur dan pegawai bank.
Hal semacam inilah yang akhirnya membuka peluang bagi
pegawai bank atau karyawan internal bank (termasuk petingginya) yang memang
memiliki iktikad tidak baik atau bermoral buruk, untuk menggelapkan dana
nasabah melalui berbagai cara dan trik. Praktik ini sebenarnya memiliki modus
konvensional, yakni mencuri uang secara langsung dari kredit fiktif yang dikucurkan
bank secara sembrono. Kejahatan semacam ini makin dramatis apabila proses dual
control dan mekanisme kontrol internal tidak berjalan baik.
Fraud internal dalam bentuk kredit fiktif ini sebenarnya
sulit terjadi pada sebuah kantor cabang, bila semua proses dual control
terlaksana dengan baik. Bisa dibayangkan, proses sebuah kredit sangatlah
panjang, dari inisiasi awal, analisis, persetujuan, akad, pembukuan, dan
monitoring kredit, yang melibatkan banyak unit kerja.
Kita bisa menyebut mulai dari unit pembukaan rekening, account officer, team leader kredit, komite kredit cabang (lebih dari dua orang),
administrasi kredit, legal, notaris (PPAT), apraisal independen (atau
internal), dan internal control unit
(ICU). Kalau kredit fiktif bisa lolos dan nilainya fantastis, bahkan mencapai
lebih dari 100 debitur, berarti ada yang salah dalam memproses sebuah kredit.
Saksi Ahli
Seandainya pun terjadi berarti semua pihak (unit kerja)
terlibat alias terjadi internal fraud secara berjamaah. Kasus semacam ini harus
ditelisik lebih mendalam karena proses pengucuran kredit tidak sederhana,
semisal hanya melibatkan kepala cabang dan seorang account officer.
Mabes Polri sebaiknya melibatkan saksi ahli, yang dapat
melihat persoalannya secara proporsional sehingga semua pihak yang terlibat
harus mempertanggungjawabkannya. Ini untuk membuat efek jera sekaligus
pembelajaran bagi bankir untuk tidak gegabah.
Intinya memang berpulang pada moral petugas bank. Apabila
semua SOP dilanggar, bisa dipastikan bank bobol. Sebenarnya bank mudah mengurai
benang kusut pelanggaran SOP seperti pembatasan limit kewenangan, proses dual
control transaksi, mekanisme verifikasi dan konfirmasi transaksi kepada nasabah
atau prosedur lain yang dilanggar.
Namun, dari sisi moral sangat sulit diuraikan. Pasalnya
sebaik-baiknya sistem, apabila manusia di belakangnya ingkar terhadap nuraninya
dan tdak memiliki pemahaman bahwa kehomatan diri terletak pada kepatuhan
terhadap SOP maka ancaman fraud perbankan akan tetap ada.
Terlebih masalah moral ini kadang terpancing dan
terkalahkan oleh berbagai kebutuhan hidup dan gaya hidup materialistik hedonis,
jika imannya tidak kuat berakar. Gaya hidup dan pergaulan neokapitalis,
metropolis, kerap memorakporandakan bangunan moral yang terbangun sejak
kecil. Inilah jerat pola salah pergaulan.
Karena itu, rumusan paling sederhana adalah kembali ke
masalah moral karyawan bank itu. Kalau ingin hidup kaya raya, dan
materialistik, jangan menjadi karyawan (bank),
apa pun levelnya, yang pendapatannya serbaterukur. Lebih baik jadilah pengusaha
yang income-nya bisa sangat tak
terbatas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar