|
"Ada
kekhawatiran pelibatan Lembaga Sandi Negara justru untuk melakukan kecurangan
dalam Pemilu 2014"
REKOMENDASI Badan Pengawas Pemilu dan Komisi II DPR agar
penetapan daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2014 ditunda menunjukkan bahwa
daftar itu masih bermasalah dan perlu optimalisasi kerja terpadu Komisi
Pemilihan Umum (KPU). Sedianya daftar itu ditetapkan pada Rabu, 23 Oktober
2013, namun berdasarkan rekomendasi Bawaslu dan Komisi II serta partai politik
peserta pemilu, KPU memutuskan menetapkannya pada Rabu, 6 November 2013.
Keputusan ini diambil setelah KPU menggelar rapat pleno dengan pimpinan parpol peserta
Pemilu 2014 yang dihadiri Bawaslu dan Komisi II DPR.
Bawaslu mempermasalahkan data pemilih yang berubah drastis,
antara data yang masih di tingkat DPT hingga data di tingkat sistem data
informasi pemilih (Sidalih). Jumlah calon pemilih dalam daftar pemilih
sementara (DPS) tercatat 187.977.268 orang, di dalam DPT berkurang jadi
186.842.533 orang, dan menjadi 186.351.165 orang setelah DPT diolah Sidalih.
Saya mencatat ada sekitar 20,3 juta calon pemilih yang masih bermasalah, dan
itu ada di hampir semua wilayah.
Ketua KPU Husni Kamil Manik berdalih, revisi data yang
dilakukan KPU, yang menyebabkan perubahan angka itu, merupakan perbaikan pada
masalah pemilih ganda, pemilih yang sudah meninggal, dan pemilih tidak jelas,
semisal ada yang namanya genderuwo, demit, dan sebagainya.
Data Bergerak
Dalam konteks ini, rapat pleno KPU dan pimpinan parpol
bukan untuk memberikan legalitas dan legitimasi terhadap DPT. Pasalnya itu
daftar pemilih yang mencerminkan hak konstitusional rakyat untuk memilih. DPT,
sesuai ketentuan UU Nomor 8 Tahun 2012, merupakan tanggung jawab KPU.
Substansi pertemuan KPU dan pimpinan parpol adalah untuk
menegaskan bahwa kesahihan DPT yang ditetapkan KPU siap diuji publik, misalnya
oleh perwakilan masyarakat prodemokrasi, ahli kependudukan, ahli teknologi
informasi, dan mantan anggota KPU yang kredibel seperti Prof Ramlan Surbakti.
Catatan Bawaslu bahwa penetapan DPT oleh KPU tidak harus
ada kata diputus final, karena data terus bergerak dan belum tentu bersih, juga
harus diperhatikan. KPU harus terbuka, jangan sampai kisruh data pemilu seperti
5 tahun lalu, terulang. Persoalan DPT jangan dilihat hanya dari segi teknisnya,
tapi juga menyangkut konstitusionalitasnya. Jangan lagi DPT menjadi alat
kemenangan parpol tertentu dalam pemilu. Bawaslu menemukan fakta masih
banyaknya permasalahan dalam DPT, oleh karena itu Pemilu 2014 sebagai pemilu
yang jujur dan adil masih menghadapi ancaman serius.
Political will KPU patut dihargai dalam upaya memperbaiki
secara konsisten terkait pemutakhiran dan identifikasi data pemilih. Sebab,
data awal dari Kemendagri memang amburadul dan tidak bisa menunjang data
pemilih untuk kepentingan KPU. E-KTP yang semula ditujukan untuk memperbaiki
data kependudukan juga belum selesai sesuai target, terbukti masih ada indikasi
bermasalah di beberapa daerah, belum lagi data pemilih luar negeri.
Apa pun, penyelenggaraan pemilu adalah kerja bersama antara
KPU, parpol peserta pemilu, pemerintah, dan lembaga-lembaga terkait yang harus
benar-benar mencerminkan proses demokrasi yang baik. Artinya, proses mulai
hilir (DPT) hingga hulu (sengketa di Mahkamah Konstitusi) harus benar-benar
berjalan demokratis, jujur dan adil. Namun melihat kinerja KPU yang belum
optimal, dan juga MK yang bermasalah dengan terungkapnya kasus suap Akil
Mochtar, saya khawatir proses pemilu akan bermasalah atau rawan kecurangan dari
hilir hingga hulu.
Intervensi
Terkait MoU yang diteken KPU dan Lembaga Sandi Negara
(Lemsaneg) pada 24 September 2013, sebaiknya MoU untuk pengamanan data Pemilu
2014 ditinjau ulang bahkan dibatalkan. Pertama; karena Lemsaneg di bawah TNI,
dalam hal ini Kemenhan sehingga ada kekhawatiran pelaksanaan pemilu pada 9
April 2014 rentan intervensi.
Ada lima aspek kerja sama antara KPU dan Lemsaneg dalam MoU
tersebut. Pertama; penyediaan dan pengembangan SDM dalam pengamanan sistem dan
jaringan teknologi informasi. Kedua; penyediaan perangkat dan sistem pengamanan
data dan informasi. Ketiga; pengamanan dokumen elektronik dan distribusinya.
Keempat; pengamanan pusat data dan perangkat. Kelima; pengamanan data
elektronik dan komunikasi pimpinan KPU.
Dalam hal ini mestinya Lemsaneg bersifat pasif dan tidak
perlu aktif, apalagi berinisiatif menyodorkan diri membantu KPU, karena memang
bukan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)-nya. Kedua; karena Lemsaneg berada di
bawah pemerintah maka pemilu juga rentan intervensi oleh pemerintah. Bila tidak
ingin memberikan beban kepada pemerintah untuk dicurigai, sekali lagi MoU
tersebut harus dibatalkan.
Ketiga; MoU KPU dengan Lemsaneg melawan prinsip
transparansi dan demokrasi. Pemilu adalah pesta rakyat yang harus digelar
secara terbuka, transparan, tanpa ada yang disembunyikan. Ada kekhawatiran
pelibatan Lemsaneg justru untuk melakukan kecurangan. Bila memang diperlukan
lembaga untuk mengamankan data pemilu, sebaiknya dipakai lembaga independen,
misalnya dari perguruan tinggi, agar independensi pemilu tetap terjaga.
Dalam kaitan ini perlu disimak penegasan Panglima TNI
Jenderal Moeldoko tentang netralitas TNI dalam pemilu. Sebab itu, sebaiknya
Lemsaneg kembali ke tupoksinya. Lemsaneg adalah lembaga intelijen yang sudah
seharusnya netral. Kita berharap KPU menuntaskan semua masalah dalam DPT selama
penundaan penetapan ini. Pasalnya, tidak hanya parpol peserta pemilu, tapi juga
seluruh elemen masyarakat akan terus memantau perkembangan pemutakhiran daftar
itu, dengan harapan KPU segera membersihkan data ganda, serta menyajikan daftar
yang bersih dan benar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar