|
“Tak sulit
mewujudkan densus antikorupsi. Pertanyaan kritisnya, benarkah Polri serius
ingin memberantas korupsi?”
SATU hal menarik saat uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) Komjen Sutarman di
hadapan Komisi III DPR yang akhirnya menyetujuinya menjadi Kapolri adalah
usulan mengenai perlunya Polri membentuk detasemen khusus (densus) antikorupsi.
Adalah Bambang Soesatyo, politikus Partai Golkar yang melontarkan usulan
tersebut. Apa yang menarik dari usulan ini? Apakah berpeluang ditindaklanjuti
oleh Sutarman, yang menggantikan Jenderal Timur Pradopo?
Bila Sutarman komit terhadap penyataannya saat ia menerima
kehadiran anggota Komisi III DPR di kediamannya, sebelum ia menjalani uji
kelayakan dan kepatutan maka usulan itu menjadi sebuah jawaban atas komitmennya
tersebut.
Pada kesempatan tersebut Sutarman menyatakan akan bersikap
tegas dalam memberantas korupsi, termasuk korupsi di tubuh Polri. Alasan lain
yang juga patut untuk menjadi pertimbangan adalah, pertama; setelah penangkapan
Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, kita bisa mengatakan Indonesia berada
dalam kondisi nyaris darurat korupsi.
Dalam konteks darurat korupsi ini, sudah selayaknya diambil
langkah-langkah progresif, dan itu harus dilakukan oleh lembaga negara yang
diberi kewenangan dalam penegakan hukum terhadap korupsi. Dalam konteks itu,
KPK, kejaksaan dan Polri perlu segera mengambil langkah strategis sehingga
bangsa ini bisa cepat terselamatkan dari virus korupsi. KPK sudah menunjukkan
taring dalam pemberantasan korupsi. Tinggal dua lembaga lainnya harus bisa
mengimbangi.
Sebagai usulan, pembentukan detasemen khusus antikorupsi
menjadi pilihan logis. Polri sudah teruji dan mampu unjuk gigi dalam menangani
terorisme di Indonesia, dengan membentuk Detasemen Khusus (Densus) Anti Teror,
yang kerap disebut Densus 88. Terorisme sebagai kejahatan yang satu level
dengan tindak pidana korupsi yaitu sebagai extraordinary crime harus diberantas
dengan cara-cara luar biasa pula.
Faktanya meski dana operasional sudah dianggarkan setara
dengan anggaran penyidikan KPK, penyidik tipikor Polri yang sudah dibentuk
hingga tingkat satuan setingkat polres, belum bisa bekerja secara maksimal.
Bahkan banyak satuan polres tidak mampu menyerap anggaran yang besar itu,
hingga pada ujung tahun anggaran 2013 ini. Ini berarti kepercayaan negara
terhadap Polri dalam pemberantasan korupsi, belum bisa diberdayakan secara
maksimal.
Kewenangan
Penyadapan
Kedua; detasemen khusus antikorupsi, tentunya harus
beranggotakan penyidik dengan integritas yang kompetitif, dan didukung oleh
sarana modern investigasi, semisal berupa kewenangan penyadapan. Tanpa adanya
kewenangan ini, detasemen itu berisiko menjadi macan ompong. Operasi tangkap
tangan oleh KPK selama ini sangat terbantu oleh adanya kewenangan tersebut.
Fakta selama ini, mengungkap dugaan kasus korupsi hanya
dengan mengandalkan penggalian bukti-bukti dokumen, sangat tidak produktif.
Tidak mungkin dalam proses penyelidikan, penyidik meminta data dokumen yang
terkait dengan dugaan kasus korupsi. Bisa jadi, begitu ada gelagat penyelidikan,
bukti-bukti tersebut segera dimusnahkan oleh ’’calon’’ tersangka.
Ada sebuah anekdot, tim penyidik korupsi dengan surat resmi
meminta kepada seorang wali kota untuk memberikan data tentang sebuah proyek
yang diindikasikan berbau KKN, yang dilaporkan oleh sebuah LSM.
Sewaktu menerima kedatangan penyidik dan menerima surat
itu, wali kota tersenyum lebar. Senyum itu menyimpan beragam makna. Apa mungkin
wali kota yang sedang dibidik sebagai koruptor akan memberikan data yang kelak
akan menjerumuskannya ke penjara?
Jadi, pembentukan detasemen khusus antikorupsi, juga harus
didukung oleh political will baik dari eksekutif maupun legislatif. Memerintah
seorang prajurit untuk berperang, tentu kesatuan itu harus menyediakan senjata
yang diperlukan. Bila tidak, bisa dipastikan hanya akan membuat prajurit
tersebut mati konyol serta tidak bisa dicapai apa yang menjadi tujuannya.
Sebenarnya tidak sulit untuk mewujudkan detasemen khusus
antikorupsi, lebih-lebih dalam kondisi bangsa yang tengah terserang virus
korupsi. Eksekutif yang terwakili dengan penyataan Presiden SBY yang komit
dalam pemberantasan korupsi dan legis-latif yang terwakili oleh membidani
usulan ini, tentu akan menjadi pendorong kuat bagi Polri untuk
merealisasikannya. Rakyat Indonesia tentu akan mendukung. Pertanyaan kritisnya,
benarkah Polri serius ingin memberantas korupsi? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar