Kamis, 02 Mei 2013

Potret (Buram) Pendidikan Tinggi Kita


Potret (Buram) Pendidikan Tinggi Kita
Hendra Gunawan ;  Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung
KOMPAS, 02 Mei 2013

  
Di Indonesia, ada 3.000 lebih perguruan tinggi, tetapi kebanyakan sebetulnya hanya further education, bukan higher education, yang seharusnya melaksanakan tridarma perguruan tinggi.
Data Scopus (http://www.scopus.com) menunjukkan, dari 3.000 lebih perguruan tinggi yang ada, hanya sekitar 20 perguruan tinggi yang mempunyai rekaman kinerja signifikan dalam penelitian. Kinerja dalam pendidikan pun tidak terlalu istimewa: banyak perguruan tinggi dan program studinya yang belum terakreditasi.
Selain masalah pendanaan, Satryo S Brodjonegoro dalam tulisannya ”Dejawatanisasi Pendidikan” (Kompas, 8/3) mengemukakan bahwa kemajuan pendidikan kita lamban karena tidak ada ruang kreativitas untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan tantangan zaman. Seluruh kebijakan ditetapkan pemerintah dalam bentuk peraturan perundangan yang harus dipatu- hi, baik oleh perguruan tinggi maupun para dosen dan mahasiswa. (Hal serupa juga dialami oleh sekolah serta para guru dan siswa).
Setengah hati
Otonomi perguruan tinggi seharusnya melekat pada perguruan tinggi itu. Namun, sejumlah peraturan perundangan mengatur hampir segala aspek penyelenggaraan pendidikan tinggi. Di negara ini bahkan perguruan tinggi swasta pun tidak otonom. Sebagai contoh, membuka program studi harus seizin pemerintah. Contoh lain berkenaan dengan kenaikan jabatan dosen ke lektor kepala atau guru besar: usul harus disampaikan kepada pemerintah untuk diperiksa dan, bila semua syarat dipenuhi, diterbitkan surat keputusannya oleh Mendikbud.
Baru-baru ini, persisnya awal Maret 2013, bahkan ada Peraturan Mendikbud yang mengatur pemberian gelar doktor kehormatan (Dr HC) oleh semua perguruan tinggi di Indonesia harus dengan persetujuan Mendikbud!
Yang tak kalah lucunya adalah perihal jabatan guru besar tidak tetap, yang diundangkan sebagai Peraturan Mendikbud sejak 2012. Berdasarkan peraturan itu, Mendikbud dapat mengangkat kalangan nonakademisi yang dinilai memiliki tacit knowledge sebagai guru besar tidak tetap. Saat ini ada beberapa orang yang telah menyandang sebutan tersebut.
Lupakan dahulu frasa ”tidak tetap”. Tampaknya kita perlu menengok kembali makna di balik frasa ”guru besar”. Di Indonesia, jabatan guru besar rupanya dianggap sebagai hak individu dosen, bukan sebagai strategi perguruan tinggi menjalankan misinya. Sebagai contoh, ada dosen yang diangkat sebagai guru besar hanya lima hari menjelang usia pensiunnya. Berkasnya konon tidak diperiksa oleh tim Dikti, tetapi langsung disetujui oleh menteri.
Secara umum, kriteria kenaikan jabatan dosen di negara kita cukup unik: berdasarkan perolehan angka kredit (kum) dari kegiatan tridarma dosen yang diusulkan, mengacu ke Peraturan Menpan. Untuk kegiatan penelitian, misalnya, kum dapat diperoleh dari publikasi hasil penelitian sang dosen. Lucunya, ada asas kepatutan yang membatasi jumlah publikasi dosen tak lebih dari dua risalah per tahun. Jadi, dosen yang banyak publikasinya justru akan dianggap tak patut.
Kemdikbud c/q Dikti pun membuat peraturan tentang jurnal tempat publikasi hasil penelitian dosen, yang meliputi nama jurnal, ukuran kertas, jumlah halaman, dan hal-hal kecil lainnya: seluruhnya 122 indikator.
Dunia pendidikan tinggi di negara kita memang unik. Selain beberapa hal yang telah disebutkan, masih banyak keanehan lain. Sebagai contoh, setiap perguruan tinggi di Indonesia, baik universitas maupun sekolah tinggi, mewajibkan mahasiswanya menulis skripsi di tahun terakhir. Padahal, skripsi merupakan warisan Belanda untuk program pendidikan tinggi setingkat program magister, yang di Belanda sana pun sudah tak diberlakukan lagi.
Di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, misalnya, skripsi hanya diperuntukkan bagi mahasiswa program honors, tidak untuk semua mahasiswa program sarjana. Di China, sekalipun di Universitas Beijing, tidak ada kewajiban menulis skripsi bagi para mahasiswa program sarjana.
Dengan pemaksaan kewajiban menulis skripsi di seluruh perguruan tinggi Indonesia, yang terjadi kemudian adalah fabrikasi skripsi, termasuk maraknya layanan jasa penyusunan skripsi. Solusi dari pemerintah kemudian malah mewajibkan mahasiswa memublikasikan skripsinya.
Contoh keanehan lain dalam dunia pendidikan tinggi kita adalah adanya perguruan tinggi yang baru-baru ini didirikan oleh pemerintah, belum mempunyai statuta, kampus, ataupun dosen, tapi sudah menerima mahasiswa dan ada pula lulusan SMA yang mau kuliah di perguruan tinggi tersebut.
Memang tidak semua perguruan tinggi di negara kita buruk. Sayangnya, saat ini, status hukum perguruan tinggi di Indonesia masih mengambang, termasuk nasib beberapa perguruan tinggi andalan bangsa. Bahkan, Universitas Indonesia dibiarkan tidak mempunyai rektor definitif untuk sekian lama.
Mau dibawa ke mana pendidikan tinggi kita, baik oleh negara, pemerintah, maupun masyarakat, sulit menjawabnya. Seperti halnya diperlukan guru mbeling dalam melaksanakan Kurikulum 2013 (Sidharta Susila, Kompas, 7/3), mungkin diperlukan perguruan tinggi mbeling untuk memajukan pendidikan tinggi kita! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar