|
KOMPAS, 01 Mei 2013
Minimum
wage is not about economic models, but about how some economic models can be
put to the service of political interests. Levin-Waldman, 2001
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan
ratusan peserta Musyawarah Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (8-4-2013)
merasa perlu menyindir Gubernur DKI Joko Widodo soal upah minimum Provinsi DKI
yang naik cukup signifikan, dari Rp 1,5 juta menjadi Rp 2,2 juta.
Presiden meminta agar persoalan upah buruh
tidak dikaitkan dengan kepentingan politik untuk menjadi populis di mata
masyarakat. Pernyataan senada disampaikan Menteri Perekonomian Hatta Rajasa
sehari kemudian di forum yang sama. Intinya, mereka berpendapat upah minimum
(UMP) harusnya lebih mempertimbangkan faktor ekonomi, bukan politik. Bagaimana
kita memahami pandangan para petinggi negara ini?
Hukum dan regulasi pada dasarnya adalah
manifestasi dari pertarungan dan kompromi berbagai kelompok dalam sebuah
masyarakat plural. Kebijakan upah minimum pun demikian adanya (Levin-Waldman,
2001).
Dalam banyak hal, upah mini- mum telah
dipelajari melalui lensa ekonomi yang konsekuensinya dapat terduga. Fokus pada
model ekonomi, yang kemudian digunakan untuk proses kebijakan, cenderung
menghilangkan prinsip bahwa upah minimum adalah unsur utama dari kebijakan
negara itu sendiri.
Sejak Perang Dunia II berakhir, upah minimum
menjadi kebijakan yang menarik bagi pengentasan orang dari kemiskinan dan
keadilan sosial baik untuk negara maju ataupun berkembang. Ia tidak membutuhkan
penggunaan anggaran negara, relatif mudah bagi pemerintah menunjukkan komitmen
keadilan sosial dengan secara langsung mengarah pada yang paling miskin dari
pekerja, sementara juga memberikan jalan bagi keterlibatan negara dalam
beroperasinya pasar kerja (Starr, 1981).
Ada program sosial lainnya, seperti
pengentasan orang dari kemiskinan melalui bantuan langsung tunai atau pekerjaan
publik, tetapi mereka cenderung sulit ditargetkan dan diawasi, kadang-kadang
mendorong ongkos nirkerja berlebihan dan menciptakan sengketa ekonomi politik
(Cunningham, 2007).
Oleh karena itu, insentif bagi buruh yang
menargetkan dirinya sendiri serta ciri yang berfokus pada pasar kerja membuat
upah minimum menjadi satu alat perlindungan sosial yang menarik bagi banyak
negara. Riwayat kebijakan upah minimum di Indonesia pun menunjukkan ini.
Rangkaian yang Rumit
Gagasan awal kebijakan upah minimum di
Indonesia sudah dikembangkan segera setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945. Mulai
dapat perhatian serius pemerintah pada akhir 1950-an, kebijakan ini baru
diadopsi secara formal pada akhir 1960-an dan diimplementasikan awal 1970-an.
Dalam lebih 40 tahun perkem- bangannya,
khususnya sejak Reformasi 1998, kebijakan upah minimum telah menjadi rangkaian
yang rumit dari berbagai aturan undang-undang dan praktik yang melibatkan
beragam institusi negara, pengusaha, dan buruh.
Dengan otonomi daerah, penetapan upah dilakukan
gubernur atas rekomendasi dari bupa- ti/wali kota. Akibatnya, penetapan upah
minimum di satu daerah berbeda dengan daerah lain, yang amat dipengaruhi
beragam konteks sosial, ekonomi, politik, dan pertarungan ideologi di daerah.
Di daerah yang gerakan buruhnya relatif cukup
kuat, upah minimumnya cenderung lebih tinggi. Sebaliknya, di daerah yang
gerakan buruhnya lemah, upah minimumnya pun cenderung lebih rendah. Upah
minimum sering kali juga dipengaruhi politik lokal.
Suasana menjelang pemilihan kepala daerah di
beberapa wila- yah berdampak pada kenaikan upah minimum yang lumayan tinggi,
seperti di Sukabumi tahun lalu. Namun, suasana menjelang pemilihan kepala
daerah juga bisa berpengaruh sebaliknya: ada gubernur, meski relatif tidak
terjadi lonjakan upah minimum yang tinggi di daerahnya, yang justru mengabulkan
permohonan penangguhan upah minimum bagi ratusan perusahaan sekaligus. Ini
terjadi di Jawa Barat tahun ini.
Kasus DKI tampaknya cukup berbeda. Harus
diakui, memang ada semacam sensitivitas dari duet kepemimpinan DKI yang baru
ini—khususnya Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama—terhadap tuntutan buruh
untuk kenaikan upah lebih layak, bersama dengan tuntutan pelaksanaan jaminan
sosial dan penghapusan tenaga alih daya. Namun, DKI juga menawarkan terobosan
penting terkait mekanisme penetapan upah minimum yang menarik untuk dicermati.
Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama
langsung memimpin rapat-rapat akhir Dewan Pengupahan Provinsi DKI, yang
biasanya dipimpin kepala Dinas Tenaga Kerja ex officio ketua Dewan Pengupahan,
untuk memutuskan rekomendasi upah minimum di DKI kepada gubernur.
Langsung dipimpin wakil gubernur, untuk kali
pertama Dewan Pengupahan DKI menerapkan sistem regresi dalam menghitung nilai
kebutuhan hidup layak (KHL) yang jadi dasar UMP. Nilai KHL di sisa bulan tahun
berjalan sejak survei terakhir, Oktober 2012, ditambahkan dan diperoleh nilai
KHL Rp 1.979.789.
Kali Pertama
Untuk kali pertama juga—ini pertama kali
terjadi di seluruh wilayah Indonesia—proyeksi kebutuhan hidup layak tahun
berikut saat UMP baru dilaksanakan, yaitu Januari-Desember 2013, juga
diperhitungkan dalam rekomendasi UMP. Maka, ditemukan rekomendasi UMP sebesar
Rp 2.216.000 atau 112 persen dari KHL.
Apindo DKI walk out ketika pengambilan
rekomendasi ini meski mereka aktif terlibat seluruh tahap survei harga yang
dilaksanakan sejak awal 2012. Namun, Kepala Dinas Tenaga Kerja DKI menilai
ketidakhadiran Apindo tidak mengurangi keabsahan rekomendasi Dewan Pengupahan
sebab sudah kuorum.
Gubernur Jokowi kemudian memutuskan UMP DKI
2013 menjadi Rp 2,2 juta. Nilai ini langsung dipersoalkan pengusaha di dalam
Apindo karena dianggap terlalu tinggi. Sementara itu, buruh menilai kenaikan
se- besar 43,87 persen dari UMP tahun sebelumnya lebih sebagai penyesuaian dari
ketertinggalan upah yang selama ini terjadi di DKI, yang selalu berada di bawah
nilai KHL.
Sejumlah daerah penyangga DKI juga menetapkan
upah minimum yang nilainya kurang lebih sama dengan DKI. Depok Rp 2.042.000;
Bekasi dan Bogor Rp 2.002.000; Tangerang sama dengan DKI; dan Tangerang Sela-
tan bahkan sedikit lebih tinggi dari DKI dengan Rp 2.202.000.
Hal sama tidak terjadi di Jawa Tengah. Di
Semarang, misalnya, upah minimum Rp 1.209.000, sedikit lebih dari separuh upah
minimum DKI.
Bagi Apindo, situasi ini mendorong hengkangnya
90 perusahaan dari DKI ke Jawa Tengah. Bagi serikat buruh, ini merupakan arena
perjuangan baru di mana buruh Jawa Tengah perlu dibantu menaikkan upahnya. Ini
menunjukkan betapa politisnya penetapan upah minimum itu.
Tulisan ini tidak sepenuhnya menolak model
ekonomi dalam analisis upah minimum, tetapi menekankan pentingnya politik
sebagai alat analisis untuk mengimbangi pendekatan ekonomi dalam melihat
kebijakan upah. Pemahaman terkait bagaimana kebijakan negara dibentuk itu
penting untuk pemahaman yang lebih besar terhadap isu upah buruh. Kebijakan
negara tidak bisa tidak adalah tanggapan terhadap dinamika politik dari
berbagai kekuatan yang ada di dalam masyarakat.
Untuk saat ini, buruh sedikit mendapat angin,
setidaknya yang di Jakarta dan sekitarnya. Namun, itu tak terjadi di seluruh
daerah. Peran pemerintah pusat penting untuk mencari keseimbangan upah yang
lebih adil di seantero negeri yang, sayangnya, belum cukup dilakukan.
Akhirnya, seperti ditulis Levin-Waldman
(2001): ”Upah minimum bukan tentang
beberapa kehilangan pekerjaan sehingga yang lain dapat memperoleh kenaikan upah
secara langsung. Lebih dari itu, ia tentang apa yang kita, komunitas politik,
percayai sebagai apa yang seharusnya produk akhir dari kerja. Apakah kita
percaya bahwa kita punya kewajiban memastikan bahwa mereka yang bekerja—bahkan
di pekerjaan yang paling tidak menarik—akan mendapat upah yang cukup untuk
hidup? Upah minimum mengangkat pertanyaan: apa yang kita sebagai sebuah
komunitas merasa berutang kepada mereka yang bekerja?” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar