Rabu, 01 Mei 2013

Pembelajaran dari Eksekusi Susno


Pembelajaran dari Eksekusi Susno
Herie Purwanto ;  Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
SUARA MERDEKA, 30 April 2013


"Eksekusi terhadap Susno menjadi sebuah pembelajaran tentang keteladanan kepatuhan hukum pejabat"

Jaksa eksekutor memburu terpidana kasus korupsi Komjen (Purn) Susno Duadji, setelah mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri itu menghilang. Keberadaan Susno tidak diketahui setelah dia meninggalkan Mapolda Jawa Barat seusai jaksa gagal mengeksekusi (SM, 27/04/13).

Satu pertanyaan yang langsung menyeruak di hadapan publik adalah benarkah Polri berkepentingan untuk melindungi Susno, meskipun Kapolda Jawa Barat menampik tudingan itu. Polisi secara yuridis dibenarkan untuk memberi perlindungan kepada semua warga negara. Namun ketika warga negara yang minta diberi perlindungan tersebut secara in kracht harus dieksekusi, haruskah kewajiban ini tetap menjadi dalih pembenar?

Memang secara psikologis, polisi sangat dimung­kinkan dihadapkan pada sentimen korps, meskipun Susno sudah purnawirawan. Namun, tidak serta merta sentimen ini hilang begitu saja mengingat pihak Susno juga berdalih ada hak baginya untuk menolak putusan eksekusi karena menganggap cacat hukum. Selagi menganggap putusan cacat hukum, ia akan berusaha menolak keras eksekusi tersebut.

Kegagalan jaksa esekutor melakukan tugas, menjadi sebuah koreksi tentang perlunya koordinasi kedua lembaga penegak hukum yang berada dalam naungan criminal justice system (CJS). Bila saja sebelumnya ada koordinasi, tentulah polisi tidak bisa mengelak, sebab dalam pengamanan eksekusi merupakan salah salah satu kewenangan polisi.

Bentuk Penghargaan

Pasal 15 (Ayat) 1 Huruf l Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Polri yang menyebutkan wewenang polisi, salah satunya adalah,’’ memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat’’. Secara tersurat, jelas substansi dari ketentuan pasal ini, yaitu polisi melaksanakan pengamanan putusan pengadilan.

Selama ini di masyarakat, dan ini sering terjadi adalah pihak esekutor berkoordinasi dengan polisi tentang bagaimana pengamanan eksekusi, tetapi dalam kasus Susno, justru Susno yang lebih dulu meminta perlindungan. Terhadap warga negara yang minta perlindungan, sebagaimana disebut dalam Pasal 4 UU Nomor 2 Tahun 2002, wajib bagi Polri untuk memberikan pengamanan sebagai bentuk penghargaan atas hak asasi warga.

Hanya dalam kasus Susno, polisi juga perlu  memperhatikan asas kemanfaatan dan menempatkan asas nesesitas (sesuai kebutuhan) secara proporsional se­hingga keputusan untuk memberikan pengamanan atau­pun tugas lain, berada dalam ruang yang kurang tepat.

Bisa jadi, kondisi seperti inilah yang hendak menjadi target Susno. Dalam kondisi yang demikian tidak ada pilihan lain bagi Kapolri mengambil langkah-langkah, pertama; sesuai dengan harapan Jaksa Agung bahwa Kapolri harus komit dalam penegakan hukum.

Maknanya adalah bahwa sentimen korps yang mungkin menjadi pertimbangan, meskipun Susno sudah purnatugas, bukan menempati ruang prioritas kebijakan. Penegakan hukum harus menjadi panglima. Karena itu, sesuai dengan amanat UU Nomor 2 Tahun 2002, Polri harus memakai kacamata kuda untuk mengamankan eksekusi.

Kedua; sebagai alternatif win-win solution, perlu ada kesamaan persepsi dengan jaksa eksekutor tentang teknis eksekusi. Bagaimanapun, jaksa eksekutor harus memahami tidak mudah bagi polisi melaksanakan tugas tersebut mengingat latar belakang dan kedudukan Susno yang pernah menjadi petinggi Polri. Ini bukan mengabaikan asas equality before the law, melainkan lebih ada pada pendekatan psikologis.

Publik sangat menunggu bagaimana ending eksekusi Susno. Akankah Polri dan jaksa eksekutor bisa mengambil langkah-langkah strategis melaksanakan tugas tanpa ada ekses seperti yang ditiupkan oleh pihak-pihak tertentu, bahwa jika eksekusi tetap dilaksanakan maka akan muncul perlawanan?

Semua pihak harus menyadari bahwa momen eksekusi terhadap Susno menjadi sebuah pembelajaran tentang keteladanan kepatuhan hukum pejabat publik di negeri ini. Karena hakikatnya substansi dari apa yang menjadi dalih Susno bersikeras menghindar dari eksekusi, yaitu produk putusan yang cacat hukum, menjadi alasan yang publik sulit menerimanya. Terlebih Mahkamah konstitusi secara tegas menganggap putusan tersebut telah in kracht, yang menjadikan konsekuensi bagi siapa pun untuk mematuhi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar