|
SUARA MERDEKA, 30 April 2013
"Eksekusi
terhadap Susno menjadi sebuah pembelajaran tentang keteladanan kepatuhan hukum
pejabat"
Jaksa eksekutor memburu terpidana kasus korupsi Komjen
(Purn) Susno Duadji, setelah mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri itu
menghilang. Keberadaan Susno tidak diketahui setelah dia meninggalkan Mapolda
Jawa Barat seusai jaksa gagal mengeksekusi (SM, 27/04/13).
Satu pertanyaan yang langsung menyeruak di hadapan publik
adalah benarkah Polri berkepentingan untuk melindungi Susno, meskipun Kapolda
Jawa Barat menampik tudingan itu. Polisi secara yuridis dibenarkan untuk
memberi perlindungan kepada semua warga negara. Namun ketika warga negara yang
minta diberi perlindungan tersebut secara in kracht harus dieksekusi, haruskah
kewajiban ini tetap menjadi dalih pembenar?
Memang secara psikologis, polisi sangat dimungkinkan
dihadapkan pada sentimen korps, meskipun Susno sudah purnawirawan. Namun, tidak
serta merta sentimen ini hilang begitu saja mengingat pihak Susno juga berdalih
ada hak baginya untuk menolak putusan eksekusi karena menganggap cacat hukum.
Selagi menganggap putusan cacat hukum, ia akan berusaha menolak keras eksekusi
tersebut.
Kegagalan jaksa esekutor melakukan tugas, menjadi sebuah
koreksi tentang perlunya koordinasi kedua lembaga penegak hukum yang berada
dalam naungan criminal justice system (CJS). Bila saja sebelumnya ada
koordinasi, tentulah polisi tidak bisa mengelak, sebab dalam pengamanan eksekusi
merupakan salah salah satu kewenangan polisi.
Bentuk
Penghargaan
Pasal 15 (Ayat) 1 Huruf l Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Polri yang menyebutkan wewenang polisi, salah satunya adalah,’’
memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan,
kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat’’. Secara tersurat, jelas
substansi dari ketentuan pasal ini, yaitu polisi melaksanakan pengamanan
putusan pengadilan.
Selama ini di masyarakat, dan ini sering terjadi adalah
pihak esekutor berkoordinasi dengan polisi tentang bagaimana pengamanan
eksekusi, tetapi dalam kasus Susno, justru Susno yang lebih dulu meminta
perlindungan. Terhadap warga negara yang minta perlindungan, sebagaimana
disebut dalam Pasal 4 UU Nomor 2 Tahun 2002, wajib bagi Polri untuk memberikan
pengamanan sebagai bentuk penghargaan atas hak asasi warga.
Hanya dalam kasus Susno, polisi juga perlu
memperhatikan asas kemanfaatan dan menempatkan asas nesesitas (sesuai
kebutuhan) secara proporsional sehingga keputusan untuk memberikan pengamanan
ataupun tugas lain, berada dalam ruang yang kurang tepat.
Bisa jadi, kondisi seperti inilah yang hendak menjadi
target Susno. Dalam kondisi yang demikian tidak ada pilihan lain bagi Kapolri
mengambil langkah-langkah, pertama; sesuai dengan harapan Jaksa Agung bahwa
Kapolri harus komit dalam penegakan hukum.
Maknanya adalah bahwa sentimen korps yang mungkin menjadi
pertimbangan, meskipun Susno sudah purnatugas, bukan menempati ruang prioritas
kebijakan. Penegakan hukum harus menjadi panglima. Karena itu, sesuai dengan
amanat UU Nomor 2 Tahun 2002, Polri harus memakai kacamata kuda untuk
mengamankan eksekusi.
Kedua; sebagai alternatif win-win solution, perlu ada
kesamaan persepsi dengan jaksa eksekutor tentang teknis eksekusi. Bagaimanapun,
jaksa eksekutor harus memahami tidak mudah bagi polisi melaksanakan tugas
tersebut mengingat latar belakang dan kedudukan Susno yang pernah menjadi
petinggi Polri. Ini bukan mengabaikan asas equality before the law, melainkan
lebih ada pada pendekatan psikologis.
Publik sangat menunggu bagaimana ending eksekusi Susno.
Akankah Polri dan jaksa eksekutor bisa mengambil langkah-langkah strategis
melaksanakan tugas tanpa ada ekses seperti yang ditiupkan oleh pihak-pihak
tertentu, bahwa jika eksekusi tetap dilaksanakan maka akan muncul perlawanan?
Semua pihak harus menyadari bahwa momen eksekusi terhadap
Susno menjadi sebuah pembelajaran tentang keteladanan kepatuhan hukum pejabat
publik di negeri ini. Karena hakikatnya substansi dari apa yang menjadi dalih
Susno bersikeras menghindar dari eksekusi, yaitu produk putusan yang cacat
hukum, menjadi alasan yang publik sulit menerimanya. Terlebih Mahkamah
konstitusi secara tegas menganggap putusan tersebut telah in kracht, yang
menjadikan konsekuensi bagi siapa pun untuk mematuhi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar