Selasa, 14 Mei 2013

Napi Korupsi Tidak di Mal


Napi Korupsi Tidak di Mal
Denny Indrayana ;  Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
KORAN SINDO, 14 Mei 2013


Kamis (9/5) pekan lalu, tiba-tiba telepon genggam saya terus menerima telepon dan pesan pendek. Semuanya menanyakan komentar saya atas pernyataan Ketua KPK Abraham Samad. 

Diberitakan, Abraham mengatakan para napi korupsi tidak akan jera, karena selama di penjara bebas keluar-masuk penjara. Dia dengan lugas mengatakan, napi korupsi yang izin sakit sebenarnya jalan-jalan di mal atau tidur enak di rumah. Tentu saja pernyataan dari tokoh sekaliber Ketua KPK langsung bergulir menjadi isu superhangat. Saya pun mendapatkan getahnya, di telepon dan ditanya-tanya teman-teman media. Sebelum menjawab pertanyaan wartawan, Kamis malam menjelang magrib itu, segera saja saya telepon Abraham. 

Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya Samad mengangkat teleponnya. Saya tanyakan, “Ketua, itu pernyataan ada napi korupsi yang jalan-jalan di mal dan pulang ke rumah, napi siapa, dari lapas di mana?” Ketua KPK terdengar tertawa kecil, dan berkata, “Pak Wamen, yang saya katakan adalah ‘bisa jadi’.
Napi yang izin sakit ‘bisa jadi’ jalan-jalan di mal, ‘bisa jadi’ tinggal di rumah. ‘Bisa jadi’ Pak Wamen.”
Saya tersenyum kecut. Lalu melanjutkan bertanya, “Jadi, sebenarnya, ada atau tidak datanya napi yang jalan-jalan di mal dan pulang ke rumah itu?” Abraham dengan santai menjawab, “Nanti kalau ada, akan saya infokan.” 

Pembicaraan singkat pada Kamis malam itu, saya lanjutkan pada Jumat siang lalu. Saya tanyakan lagi soal keberadaan fakta napi yang jalan-jalan tersebut. Abraham masih mengatakan dia tidak punya datanya. Lalu berkata, “Saya justru ingin membantu Pak Wamen. Dengan pernyataan saya itu, para sipir tidak akan berani macam-macam memberi izin kepada para napi korupsi.” 

Maka meskipun menjadi bulan-bulanan media karena pernyataan Ketua KPK, saya menganggapnya sebagai ujian kesabaran. Toh, Ketua KPK tetap bermaksud baik, agar lapas/rutan tidak melakukan penyimpangan dalam pemberian izin sakit para napi korupsi. Demikianlah, meskipun pernyataan KPK tidak didukung data, kami menangkapnya sebagai analisa yang sifatnya antisipasi. Mencegah, jangan sampai betul-betul terjadi ada napi korupsi yang jalan-jalan di mal. 

Kalaupun media massa kemudian menceritakan kisah ditemukannya sel mewah Artalyta Suryani dan Gayus Tambunan yang sedang menonton tenis di Bali, kedua kisah itu sebenarnya terjadi beberapa waktu lalu. Beberapa saat sebelum kami ditugaskan di Kementerian Hukum dan HAM pada akhir 2011. Istana Artalyta Suryani di Rutan Pondok Bambu, misalnya, terjadi pada 2009, ketika kami masih bertugas di Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. 

Demikian pula halnya dengan Gayus Tambunan yang pelesir ke Bali dan luar negeri. Hal itu terjadi pada 2010, beberapa saat setelah dia kami tangkap dan bawa pulang dari Singapura. Saat itu pun kami masih menjabat sebagai Satgas Pemberantasan Mafia hukum. Perlu juga dicatat bahwa Gayus keluar-masuk ketika dia ditahan di Rutan Mako Brimob, yang meskipun secara struktural berada di bawah Kemenkumham, tetaplah bukan diamankan oleh jajaran kementerian. 

Memang tidak tertutup kemungkinan masih ada penyimpangan di lapas dan rutan, rumah kami yang bertugas melakukan pembinaan bagi napi. Karena itu, kami terus melakukan pembenahan-pembenahan, termasuk soal izin berobat bagi napi korupsi. Secara sistem, SOP pemberian izin berobat dilakukan berdasarkan pemeriksaan dokter atas kesehatan warga binaan, yang mungkin saja disalahgunakan. Tetapi penyalahgunaan demikian sudah jauh berkurang. 

Hari Minggu lalu, 5 Mei, kami mengecek keberadaan napi yang diinfokan berobat ke rumah sakit di sekitar Jakarta. Dari daftar yang kami cek, napi-napi memang berada di lapas ataupun di rumah sakit yang dirujuk. Memang ada satu keanehan ada satu napi yang ketika paginya kami cek tidak ada di rumah sakit, namun siangnya ketika dicek ulang, yang bersangkutan ada di salah satu ruangan. 

Kelihatannya ada ketidakakuratan pembacaan data ketika pemeriksaan awal dilakukan. Namun, warga binaan di rumah sakit itu kami yakini dalam keadaan yang cukup sehat untuk kembali ke lapas. Karena itu, esok Seninnya yang bersangkutan kami pindahkan dari rumah sakit ke Lapas Sukamiskin. Demikian pula halnya dengan Nazaruddin, setelah sempat tertunda, Rabu lalu Nazar kami pindahkan juga ke Sukamiskin. 

Nazar sempat tidak dikirimkan karena Masih Ada Perkara (MAP) di KPK. Namun, setelah dipertimbangkan lebih dalam, akhirnya Nazar tetap digeser ke Sukamiskin. Kamis lalu, saya berkoordinasi dengan Ketua KPK, menyarankan kalau ada pemeriksaan, dilakukan KPK di Bandung saja. Abraham Samad setuju dengan ide kami tersebut. Soal Nazar ini juga yang komunikasikan per telepon dengan Abraham Samad, sekitar dua bulan lalu. 

Dalam pembicaraan telepon tersebut, kami katakan Nazar meminta dipindahkan ke Rutan Mako Brimob lagi. Suatu permintaan yang Pak Menkumham dan saya tidak setujui. Kami lebih sepakat dia dipindahkan saja ke Rutan KPK di Guntur. Maka itu, Pak Amir meminta saya berkoordinasi dengan Abraham. Ketua KPK akhirnya menjanjikan akan berkoordinasi dan menyiapkan satu posisi untuk Nazar. Pilihan penempatan di Rutan Guntur tersebut, semata-mata untuk memberikan rasa lebih aman, karena warga binaan di Guntur jauh lebih sedikit. Jadi, sama sekali bukan karena kewalahan, sebagaimana diberitakan banyak media.
Pembenahan di lapas dan rutan tidak berhenti kami lakukan. Mulai dari sistemnya yang kami benahi, aturannya yang terus dikuatkan dan petugasnya yang diseleksi dengan lebih ketat. Sistem pengawasan di lapas/rutan dilakukan tidak hanya dengan CCTV, tetapi juga melalui pengaduan-pengaduan yang dilakukan masyarakat.
Sedangkan secara regulasi, sistem perlindungan bagi pelapor (whistle blowing system) telah dikuatkan dengan peraturan menteri hukum dan HAM. Terkait kapasitas dan integritas petugas pemasyarakatan, seleksi CPNS dan taruna Akademi Ilmu Pemasyarakatan dan Akademi Imigrasi terus kami benahi agar bebas setoran, bebas titipan dan bebas penyimpangan dalam bentuk apa pun. 

Dengan pembenahan yang tanpa henti tersebut, kami meyakini napi akan lebih sulit untuk keluar-masuk lapas/rutan. Karena itu, tidak mengherankan kalau Ketua KPK hanya bisa memberikan analisis, dan antisipasi, tetapi tidak punya data napi korupsi yang benar-benar jalan-jalan di mal. Tentu saja proses pembenahan belum selesai. Kami masih terus melakukan penertiban, terus mengirimkan para napi korupsi ke Lapas Sukamiskin. 

Dengan pemusatan di sana, kami meyakini pengawasan akan lebih fokus dan efektif. Semua pembenahan tersebut dilakukan untuk bukan hanya memberikan efek jera bagi koruptor, melainkan juga lebih jauh untuk menciptakan Indonesia yang lebih antikorupsi. 

Sudah seharusnya peringatan Ketua KPK tidak boleh terjadi. Pastinya tidak boleh ada napi korupsi yang jalan-jalan di mal. Keep on fighting for the better Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar