Jumat, 17 Mei 2013

Kepompong dan Kupu-Kupu PKS


Kepompong dan Kupu-Kupu PKS
Anwar Hudiyono Jurnalis, Media Consultant, serta Facebooker 
JAWA POS, 17 Mei 2013


Hati Pak Ustad begitu berbunga-bunga setiap kali memandangi gambar rancangan rumahnya. Material untuk rumah sudah didatangkan. Setelah bertahun-tahun hidup dalam kefakiran di rumah reyot, kini dia akan memiliki rumah dua lantai yang bagus seharga ratusan juta rupiah. Rumah itu hadiah dari orang kaya yang sembuh setelah dia obati. Pak Ustad adalah ustad terapis.

Saat dia sedang bercengkerama dengan sukacita, tiba-tiba datanglah gurunya. Sang Guru berkata, ''Secara syariat, antum menerima hadiah rumah yang bagus. Namun, antum harus ingat, pada hakikatnya rumah hadiah itu juga ujian dari Allah. Antum mungkin kuat, tetapi apakah istri dan anak-anak antum juga kuat menerima ujian itu? Apakah tidak membuat mereka sombong dan riya? Tugas kepala rumah tangga adalah qu anfusakum wa ahlikum naran: jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.''

''Jika antum memiliki rumah sebagus itu, saya khawatir orang-orang miskin yang akan meminta tolong kepada antum jadi takut. Jika rumahnya sebagus ini, lantas berapa tarifnya? Wahai santriku, rumah Rasulullah kecil dan sederhana,'' kata Sang Guru lagi.

''Dengan rumah bagus pemberian orang kaya, antum akan semakin kesohor di kalangan orang kaya. Mungkin akan banyak orang kaya yang ruwet-ruwet minta tolong antum. Pada saat bersamaan, orang-orang miskin akan semakin takut mendekati antum, takut antum nomor duakan.''

Pak Ustad hanya menunduk, tidak berani menatap gurunya. Bisa saja dia mencari-cari dalil dan alasan untuk membenarkan tindakannya. Namun, dia tahu, itu semakin menjauhkan dirinya dari pencerahan dan kebenaran. Berdebat adalah kebiasaan orang-orang yang menutupi kesalahan sendiri.

Setelah Sang Guru pulang, dia pamit kepada istrinya mau ngebleng (bermukim) di kamar. Dia mohon pintunya tidak diketuk sampai dia sendiri keluar. Pak Ustad hendak bertobat kepada Allah. Seperti yang dilakukan Rasulullah Dawud yang ngebleng selama 40 hari dalam rangka tobat setelah merasa salah besar. Pak Ustad merasa bersalah karena sudah terseret pada hubbud-dunya (cinta dunia). Dia selama ini sudah merasa mengarungi samudra hakikat, tetapi ternyata menyentuh pantainya pun belum.

Pak Ustad melakukan taubatan-nasuha (tobat yang sungguh-sungguh). Untuk lelaku itu, dia tidak perlu mengumumkan kepada publik, termasuk istrinya. Kegiatan semacam tobat atau wirid, jika diumumkan ke khalayak, bisa tergelincir pada riya atau pamer. Mendorong berkembangnya sombong sebagai ahli zikir, pencitraan sebagai orang alim yang paling dekat Allah.

Pencitraan itulah yang sejak awal diingatkan gurunya sebagai bisa jadi kepalsuan belaka. Untuk itulah, Sang Guru tidak mau mengenakan serban. Jika salat, dia beralas sajadah yang tebal agar tidak meninggalkan bekas hitam di dahi. Tidak berjenggot. Hal-hal demikian dikhawatirkan justru bisa menafikan derajat keberimanan.

Apa yang dilakukan Pak Ustad sejalan dengan perilaku Khalifah Umar bin Khattab. ''Aku kuat ketika Allah mengujiku dengan kemiskinan dan serba kekurangan. Tetapi, apakah aku kuat ketika Allah mengujiku dengan harta yang berlimpah?'' katanya sesaat setelah menerima pampasan perang dari Persia. Khalifah perkasa itu tersedu sedan.

Hubbud-dunya seperti harta kekayaan, kekuasaan, dan syahwat adalah godaan yang sangat halus melebihi semut. Untuk itulah, leluhur Jawa memberikan petuah: melik nggendhong lali. Keinginan memiliki itu bermuatan lupa.

Para elite Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pasti mafhum semafhum-mafhumnya bahwa alinsanu mahalul khatta' wan-nissian (manusia itu bawaannya salah dan lupa). I'tibar (pelajaran) itu bukan lantas membiarkan diri dalam salah dan lupa, tetapi justru harus selalu istiqamah (tegak lurus dalam kebenaran) dan zikir (ingat).

Salah satu sikap istiqamah itulah yang dicontohkan Rasulullah Muhammad dalam penegakan supremasi hukum. Kanjeng Rasul dawuh, ''Seandainya anakku Fatimah mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.''

Dengan PKS berani menyandang predikat sebagai partai dakwah, berarti beban moral dan tanggung jawabnya lebih berat daripada partai sekuler. Ranah yang diarungi tidak cukup syariat, tetapi sudah harus hakikat. Misalnya, jangankan yang haram, yang subhat (remang-remang) pun tidak boleh didekati. Mobil-mobil mewah secara syariat mungkin dibenarkan, dan memang enak. Tetapi, apakah dengan mobil mewah mereka masih bisa sambung dengan orang-orang miskin?

Nah, kecuali kalau predikat ''partai dakwah'' itu sekadar pencitraan. Jika itu yang terjadi, akan menjadi semacam kepompong. Saat masih berbentuk entung atau kepompong, tampak begitu alim dan imut. Tetapi, setelah keluar menjadi kupu-kupu, akan bersolek flamboyan, pamer keindahan.

Kalau predikat partai dakwah itu benar-benar menjadi jati diri, akan menjadi semacam telur. Jika itu telor rajawali, akan menetas rajawali juga. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar