|
JAWA
POS, 17 Mei 2013
Hati Pak Ustad begitu berbunga-bunga setiap kali
memandangi gambar rancangan rumahnya. Material untuk rumah sudah didatangkan.
Setelah bertahun-tahun hidup dalam kefakiran di rumah reyot, kini dia akan
memiliki rumah dua lantai yang bagus seharga ratusan juta rupiah. Rumah itu
hadiah dari orang kaya yang sembuh setelah dia obati. Pak Ustad adalah ustad
terapis.
Saat
dia sedang bercengkerama dengan sukacita, tiba-tiba datanglah gurunya. Sang
Guru berkata, ''Secara syariat, antum menerima hadiah rumah
yang bagus. Namun, antum harus ingat, pada
hakikatnya rumah hadiah itu juga ujian dari Allah. Antum mungkin kuat, tetapi
apakah istri dan anak-anak antum juga kuat menerima
ujian itu? Apakah tidak membuat mereka sombong dan riya? Tugas kepala rumah
tangga adalah qu
anfusakum wa ahlikum naran: jagalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka.''
''Jika antum memiliki rumah
sebagus itu, saya khawatir orang-orang miskin yang akan meminta tolong kepada antum jadi takut. Jika
rumahnya sebagus ini, lantas berapa tarifnya? Wahai santriku, rumah Rasulullah
kecil dan sederhana,'' kata Sang Guru lagi.
''Dengan rumah bagus pemberian orang kaya, antum akan semakin kesohor
di kalangan orang kaya. Mungkin akan banyak orang kaya yang ruwet-ruwet minta
tolong antum.
Pada saat bersamaan, orang-orang miskin akan semakin takut mendekati antum, takut antum nomor duakan.''
Pak Ustad hanya menunduk, tidak berani menatap gurunya. Bisa saja dia
mencari-cari dalil dan alasan untuk membenarkan tindakannya. Namun, dia tahu,
itu semakin menjauhkan dirinya dari pencerahan dan kebenaran. Berdebat adalah
kebiasaan orang-orang yang menutupi kesalahan sendiri.
Setelah Sang Guru pulang, dia pamit kepada istrinya mau ngebleng (bermukim) di kamar.
Dia mohon pintunya tidak diketuk sampai dia sendiri keluar. Pak Ustad hendak
bertobat kepada Allah. Seperti yang dilakukan Rasulullah Dawud yang ngebleng selama 40 hari dalam
rangka tobat setelah merasa salah besar. Pak Ustad merasa bersalah karena sudah
terseret pada hubbud-dunya (cinta dunia).
Dia selama ini sudah merasa mengarungi samudra hakikat, tetapi ternyata
menyentuh pantainya pun belum.
Pak Ustad melakukan taubatan-nasuha (tobat yang
sungguh-sungguh). Untuk lelaku itu, dia tidak perlu
mengumumkan kepada publik, termasuk istrinya. Kegiatan semacam tobat atau
wirid, jika diumumkan ke khalayak, bisa tergelincir pada riya atau pamer.
Mendorong berkembangnya sombong sebagai ahli zikir, pencitraan sebagai orang
alim yang paling dekat Allah.
Pencitraan itulah yang sejak awal diingatkan gurunya sebagai bisa jadi
kepalsuan belaka. Untuk itulah, Sang Guru tidak mau mengenakan serban. Jika
salat, dia beralas sajadah yang tebal agar tidak meninggalkan bekas hitam di
dahi. Tidak berjenggot. Hal-hal demikian dikhawatirkan justru bisa menafikan
derajat keberimanan.
Apa yang dilakukan Pak Ustad sejalan dengan perilaku Khalifah Umar bin
Khattab. ''Aku kuat ketika Allah mengujiku dengan kemiskinan dan serba
kekurangan. Tetapi, apakah aku kuat ketika Allah mengujiku dengan harta yang
berlimpah?'' katanya sesaat setelah menerima pampasan perang dari Persia.
Khalifah perkasa itu tersedu sedan.
Hubbud-dunya seperti
harta kekayaan, kekuasaan, dan syahwat adalah godaan yang sangat halus melebihi
semut. Untuk itulah, leluhur Jawa memberikan petuah: melik nggendhong
lali. Keinginan
memiliki itu bermuatan lupa.
Para elite Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pasti mafhum
semafhum-mafhumnya bahwa alinsanu
mahalul khatta' wan-nissian (manusia
itu bawaannya salah dan lupa). I'tibar (pelajaran) itu bukan
lantas membiarkan diri dalam salah dan lupa, tetapi justru harus selalu
istiqamah (tegak lurus dalam kebenaran) dan zikir (ingat).
Salah satu sikap istiqamah itulah yang dicontohkan Rasulullah Muhammad
dalam penegakan supremasi hukum. Kanjeng Rasul dawuh, ''Seandainya anakku
Fatimah mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.''
Dengan PKS berani menyandang predikat sebagai partai dakwah, berarti
beban moral dan tanggung jawabnya lebih berat daripada partai sekuler. Ranah yang
diarungi tidak cukup syariat, tetapi sudah harus hakikat. Misalnya, jangankan
yang haram, yang subhat (remang-remang) pun
tidak boleh didekati. Mobil-mobil mewah secara syariat mungkin dibenarkan, dan
memang enak. Tetapi, apakah dengan mobil mewah mereka masih bisa sambung dengan
orang-orang miskin?
Nah, kecuali kalau predikat ''partai dakwah'' itu sekadar pencitraan.
Jika itu yang terjadi, akan menjadi semacam kepompong. Saat masih berbentuk
entung atau kepompong, tampak begitu alim dan imut. Tetapi, setelah keluar
menjadi kupu-kupu, akan bersolek flamboyan, pamer keindahan.
Kalau predikat partai dakwah itu benar-benar menjadi jati diri, akan
menjadi semacam telur. Jika itu telor rajawali, akan menetas rajawali juga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar