|
KOMPAS,
15 Mei 2013
Ketegangan
antara Partai Keadilan Sejahtera dan Komisi Pemberantasan Korupsi semakin
meruncing menyusul tindakan pimpinan PKS yang melaporkan sejumlah oknum KPK ke
Mabes Polri.
Laporan
tersebut terkait penyitaan oleh KPK terhadap sejumlah mobil yang diduga
berhubungan dengan tersangka korupsi impor daging sapi, Luthfi Hasan Ishak, di
kantor PKS beberapa waktu lalu. Bagaimana sebenarnya hukum pidana mengatur hal
ihwal penyitaan?
Hakikat
penyitaan
Penyitaan
adalah salah satu upaya paksa—selain penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan
pemeriksaan surat—yang dapat dilakukan terhadap barang atau benda yang diduga
terkait suatu tindak pidana. Penyitaan ini pada hakikatnya dibutuhkan untuk
kepentingan pembuktian dalam perkara pidana berdasarkan Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Untuk melakukan penyitaan diperlukan beberapa
prosedur, antara lain surat izin ketua pengadilan negeri.
Kecuali
dalam hal tertangkap tangan atau keadaan yang sangat perlu dan mendesak,
bilamana penyidik harus bertindak dan tak mungkin mendapatkan surat izin
terlebih dulu, penyidik dapat menyita sebatas benda bergerak dan wajib segera
melaporkan kepada ketua pengadilan negeri untuk memperoleh persetujuan.
Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak mengatur khusus persoalan
penyitaan. Artinya, jika Polri atau Kejaksaan yang melakukan penyidikan
terhadap kasus korupsi, maka yang berlaku adalah prosedur penyitaan sebagaimana
dimaksud KUHAP.
Hal
ini berbeda dengan penyidikan yang dilakukan KPK. Berdasarkan Pasal 47 UU KPK,
penyitaan dapat dilakukan hanya berdasarkan bukti permulaan yang cukup, tanpa
izin ketua pengadilan negeri. Bahkan, secara tegas, Pasal 47 Ayat (2)
undang-undang a quo menyebutkan bahwa
ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan mengatur tindakan penyitaan tidak
berlaku berdasarkan undang-undang a quo. Konsekuensinya, KPK dapat melakukan
penyitaan di luar prosedur yang diatur oleh KUHAP ataupun UU lain.
Lalu,
apa saja yang boleh disita terkait tindak pidana korupsi? Dalam konteks teori,
benda atau barang yang dapat disita dikualifikasikan ke dalam tiga jenis.
Pertama, instrumentum sceleris, yaitu perampasan dalam pengertian penyitaan
terhadap benda atau barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Kedua, objectum sceleris, yakni perampasan dalam pengertian penyitaan terhadap
obyek yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi. Ketiga, fructum sceleris,
yaitu penyitaan terhadap hasil tindak pidana korupsi.
Terkait
fructum sceleris, seharusnya harta benda atau barang yang disita punya nilai
yang sama jumlahnya dengan uang yang diduga dikorup. Tegasnya, penyitaan tidak
boleh melebihi nilai uang yang diduga dikorup. Akan tetapi, sering kali KPK
melakukan penyitaan terhadap harta benda atau barang melampaui nilai uang yang
diduga dikorup oleh tersangka. Apakah hal ini dibolehkan? Secara teoretis
tentunya tindakan KPK tidak dibenarkan, tetapi UU Pemberantasan Tipikor berkata
lain.
Merujuk
Pasal 38 B berikut penjelasannya dalam undang-undang a quo, secara implisit
dimungkinkan penyitaan terhadap harta benda melebihi nilai yang diduga dikorup.
Berdasarkan pasal tersebut, tersangka diwajibkan membuktikan harta benda
miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana
korupsi. Dengan demikian, secara hukum, tindakan KPK yang menyita harta benda
melebihi nilai yang diduga dikorup adalah sah.
Upaya
hukum atas penyitaan
Selanjutnya,
apakah ada upaya hukum terhadap penyitaan yang salah prosedur atau penyitaan
yang dilakukan terhadap barang atau benda yang sama sekali tak ada kaitan
dengan perkara pidana yang sedang diproses? Salah satu kelemahan KUHAP adalah
tidak adanya upaya hukum terhadap upaya paksa berupa penggeledahan, penyitaan,
ataupun pemeriksaan surat. Upaya hukum terhadap upaya paksa berdasarkan KUHAP
hanya dimungkinkan terkait sah-tidaknya penangkapan atau sah-tidaknya penahanan
yang merupakan kompetensi praperadilan, selain penghentian penyidikan,
penghentian penuntutan, dan gugatan ganti rugi serta rehabilitasi.
Kembali
pada ketegangan antara PKS dan KPK, ada beberapa catatan penulis. Pertama,
tindakan pimpinan PKS yang melaporkan oknum KPK ke Mabes Polri terkait
penyitaan dapat dibenarkan secara hukum dengan mengingat KUHAP tak menyediakan
upaya hukum terhadap tindakan penyitaan yang tak sesuai prosedur atau penyitaan
yang dilakukan terhadap barang atau benda yang sama sekali tak ada kaitan
dengan perkara pidana yang sedang diproses. Lazimnya, pasal yang akan
disangkakan Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan.
Kedua,
pasal yang disangkakan (Pasal 335 KUHP) sebenarnya pasal keranjang sampah yang
menurut memorie van toelichting
(sejarah pembentukan KUHP di Twee de
Kammer Belanda) hanya diperuntukkan bagi daerah jajahan. Dalam KUHP aslinya
di Belanda (Wetbook van Strafrecht)
pasal tersebut telah dihapus setelah Belanda memperoleh kemerdekaan dari
Perancis. Ironisnya, hampir 68 tahun Indonesia merdeka, pasal tersebut masih
diberlakukan.
Ketiga,
jika KPK merasa penyitaan yang dilakukan sudah sesuai prosedur, untuk
menghindari polemik ini KPK dapat melaporkan oknum PKS yang menghalang-halangi
penyitaan dengan pasal yang berkaitan dengan obtruction of justice atau tindakan menghalang-halangi proses hukum
sebagaimana termaktub dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar