Rabu, 01 Mei 2013

Gotong-Royong Memajukan Bangsa


Gotong-Royong Memajukan Bangsa
Haryono Suyono ;  Ketua Yayasan Damandiri
SUARA KARYA, 30 April 2013


Founding fathers memberi pesan kepada kita melalui Pancasila bahwa bangsa Indonesia yang dijajah selama 350 tahun akan maju manakala mau menerapkan nilai-nilai luhur bangsa, bersatu dan hidup secara gotong royong. Kehidupan gotong-royong bukan saja dalam membangun rumah atau ramai-ramai di kampung melakukan bersih desa, tetapi menjadikan kebersamaan, peduli dan tolong-menolong antar-sesama sebagai budaya bangsa dalam segala demensi kehidupannya. Ironisnya, budaya gotong-royong dalam kebersamaan itu makin tipis atau sengaja dikikis dengan gencarnya pameran pola hidup individualistik yang memamerkan kehebatan diri pribadi seperti tokoh Superman dengan segala kelebihannya.

Di samping diskusi yang tidak ada habisnya tentang upaya pemberantasan korupsi dan cepatnya muncul koruptor-koruptor baru dengan besarannya yang luar biasa, bangsa ini juga sedang bergulat dengan upaya pengentasan kemiskinan. Pidato dan seminar marak di mana-mana mempertontonkan konsep yang kehebatannya saling unggul-mengungguli. Pemerintah juga tidak kalah gesit mencoba mengemas program yang biasanya indah dalam konsep tetapi miskin dalam pelaksanaannya di lapangan.

Falsafah dasar yang indah sebagai latar belakang konsep biasanya tidak diikuti oleh sistem birokrasi yang kurang trengginas, tidak lentur dan justru cenderung kaku karena alasan akuntabilitas atau derasnya arus melawan korupsi yang ditata seakan mencurigai semua pihak karena ingin menunjukkan budaya baru yang terbuka dan bersih.

Syarat utama pengembangan budaya gotong-royong diganti dengan aturan proyek yang segalanya harus ditenderkan sehingga menghasilkan pemenang yang melaksanakan proyek secara efektif dan efisien, memilih pelaksana yang biayanya rendah dengan hasil luar biasa, serta mendatangkan keuntungan materi yang besar dan membawa nikmat. Karena itu, poster-poster besar digelar di jalan protokol yang jarang dilewati keluarga miskin yang menjadi sasaran. Atau, di muka kantor yang empunya proyek, atau di dekat kantor bupati agar mendapat pujian. Atau, di tempat sepi yang jarang dikunjungi orang miskin.

Secara sengaja atau tidak, grafis yang disajikan dibuat indah dengan lukisan dan gambar bintang selebriti cantik yang tidak ada padanannya di desa atau di antara keluarga yang menjadi sasaran. Sehingga, apabila sasaran bisa melihat billboard yang dipajang, pasti merasa informasi itu bukan untuknya, tetapi untuk yang gambarnya ada dipajang di situ. Ironis, tetapi itulah yang sedang terjadi dalam gerakan untuk rakyat miskin di Tanah Air kita ini.

Kondisi ini menjauhkan dan mematikan partisipasi masyarakat miskin yang tersisih dari medan dan arena perhatian karena tidak memenuhi syarat administratif. Dengan demikian unsur utama gotong-royong yang mengajak masyarakat berpartisipasi secara inklusif hilang dan segala sesuatunya berjalan melalui sistem formal yang tidak inklusif tetapi ekslusif hanya bagi mereka yang mampu dan memenuhi segala persyaratan administratif semata.

Hasilnya memang bisa sangat tinggi nilainya, tetapi mereka yang miskin, yang kurang pendidikan dan jauh dari syarat-syarat administratif aturan birokrasi akan hanya bisa menjadi penonton dan tidak menikmati hasilnya. Akses hampir pasti tidak diperolehnya karena belum apa-apa sudah di diskualifikasi dan tidak bisa berpartisipasi.

Model semacam ini menjauhkan berbagai kegiatan pembangunan, utamanya upaya pengentasan kemiskinan, tidak mencapai target. Karenanya, dana proyek harus "dihabiskan" agar ukuran kinerjanya bagus. Akibatnya, kegiatan perlu disalurkan kepada keluarga yang dibuat seperti miskin, tetapi sesungguhnya bukan sasaran miskin yang didata oleh BPS.

Oleh karena itu, kita harus berhati-hati bahwa andaikan sesuatu proyek dilihat dari sudut rancangan program bisa tampak manis, dalam pelaksanaan bisa dirusak melalui penentuan sasaran fiktif yang mudah dijangkau. Telah menjadi rahasia umum bahwa keluarga miskin selalu juga miskin syarat untuk bisa mendapatkan pelayanan, termasuk kredit murah dari bank.

Segala jenis persyaratan mulai yang paling sederhana berupa kartu penduduk, sasaran keluarga miskin dengan mudah dapat dianggap tidak memenuhi syarat sehingga bisa dianggap tidak berhak memperoleh bantuan untuk orang miskin. Dan, karena petugas yang patuh terhadap aturan main dan harus bisa mencapai target kinerja, maka dicari akal agar targetnya tercapai. Otak harus diperas untuk menghasilkan target yang memenuhi segala syarat administratif. Akhirnya muncul target fiktif yang sah menurut hukum tetapi meleset dari falsafah pengentasan kemiskinan yang digagas para ahli dengan otak cemerlang.

Karena itu, gegap gempita laporan dana yang terserap biasanya tidak disertai laporan jumlah dan nama keluarga miskin yang mendapat kesempatan dan karena itu makin sejahtera. Ada laporan penurunan tingkat kemiskinan, tetapi penurunannya sangat kecil dibandingkan triliunan dana dan gegap gempitanya program yang dikucurkan ke desa dan pedukuhan.

Kegiatan untuk mengembangkan kepedulian keluarga kaya dan pandai pada keluarga miskin dan kurang mampu tidak ada dananya. Kampanye merokok jauh lebih marak dibanding kampanye anti merokok. Kampanye untuk membeli barang mewah dan konsumsi lainnya jauh lebih marak dari kampanye untuk menyiapkan diri agar tidak terkena demam berdarah.

Upaya luhur membangun kebersamaan dan hidup gotong-royong dihantam habis oleh upaya persaingan yang menghasilkan pameran kemakmuran yang menonjolkan pribadi yang tidak ada lawannya. Ciri kebersamaan dan kedamaian yang menghindari persaingan sebagai ciri hidup gotong-royong dan kebersamaan tidak mendapat perhatian. Karena itu, pengentasan kemiskinan perlu dikembangkan menjadi gerakan nasional yang berciri gotong-royong yang nyata dan dinamis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar