|
SUARA KARYA, 30 April 2013
Founding fathers
memberi pesan kepada kita melalui Pancasila bahwa bangsa Indonesia yang dijajah
selama 350 tahun akan maju manakala mau menerapkan nilai-nilai luhur bangsa,
bersatu dan hidup secara gotong royong. Kehidupan gotong-royong bukan saja
dalam membangun rumah atau ramai-ramai di kampung melakukan bersih desa, tetapi
menjadikan kebersamaan, peduli dan tolong-menolong antar-sesama sebagai budaya
bangsa dalam segala demensi kehidupannya. Ironisnya, budaya gotong-royong dalam
kebersamaan itu makin tipis atau sengaja dikikis dengan gencarnya pameran pola
hidup individualistik yang memamerkan kehebatan diri pribadi seperti tokoh
Superman dengan segala kelebihannya.
Di samping diskusi yang tidak ada
habisnya tentang upaya pemberantasan korupsi dan cepatnya muncul
koruptor-koruptor baru dengan besarannya yang luar biasa, bangsa ini juga
sedang bergulat dengan upaya pengentasan kemiskinan. Pidato dan seminar marak
di mana-mana mempertontonkan konsep yang kehebatannya saling
unggul-mengungguli. Pemerintah juga tidak kalah gesit mencoba mengemas program
yang biasanya indah dalam konsep tetapi miskin dalam pelaksanaannya di
lapangan.
Falsafah dasar yang indah sebagai
latar belakang konsep biasanya tidak diikuti oleh sistem birokrasi yang kurang
trengginas, tidak lentur dan justru cenderung kaku karena alasan akuntabilitas
atau derasnya arus melawan korupsi yang ditata seakan mencurigai semua pihak
karena ingin menunjukkan budaya baru yang terbuka dan bersih.
Syarat utama pengembangan budaya
gotong-royong diganti dengan aturan proyek yang segalanya harus ditenderkan
sehingga menghasilkan pemenang yang melaksanakan proyek secara efektif dan
efisien, memilih pelaksana yang biayanya rendah dengan hasil luar biasa, serta
mendatangkan keuntungan materi yang besar dan membawa nikmat. Karena itu,
poster-poster besar digelar di jalan protokol yang jarang dilewati keluarga
miskin yang menjadi sasaran. Atau, di muka kantor yang empunya proyek, atau di
dekat kantor bupati agar mendapat pujian. Atau, di tempat sepi yang jarang
dikunjungi orang miskin.
Secara sengaja atau tidak, grafis
yang disajikan dibuat indah dengan lukisan dan gambar bintang selebriti cantik
yang tidak ada padanannya di desa atau di antara keluarga yang menjadi sasaran.
Sehingga, apabila sasaran bisa melihat billboard yang dipajang, pasti merasa
informasi itu bukan untuknya, tetapi untuk yang gambarnya ada dipajang di situ.
Ironis, tetapi itulah yang sedang terjadi dalam gerakan untuk rakyat miskin di
Tanah Air kita ini.
Kondisi ini menjauhkan dan
mematikan partisipasi masyarakat miskin yang tersisih dari medan dan arena
perhatian karena tidak memenuhi syarat administratif. Dengan demikian unsur
utama gotong-royong yang mengajak masyarakat berpartisipasi secara inklusif
hilang dan segala sesuatunya berjalan melalui sistem formal yang tidak inklusif
tetapi ekslusif hanya bagi mereka yang mampu dan memenuhi segala persyaratan
administratif semata.
Hasilnya memang bisa sangat tinggi
nilainya, tetapi mereka yang miskin, yang kurang pendidikan dan jauh dari
syarat-syarat administratif aturan birokrasi akan hanya bisa menjadi penonton
dan tidak menikmati hasilnya. Akses hampir pasti tidak diperolehnya karena
belum apa-apa sudah di diskualifikasi dan tidak bisa berpartisipasi.
Model semacam ini menjauhkan
berbagai kegiatan pembangunan, utamanya upaya pengentasan kemiskinan, tidak
mencapai target. Karenanya, dana proyek harus "dihabiskan" agar
ukuran kinerjanya bagus. Akibatnya, kegiatan perlu disalurkan kepada keluarga
yang dibuat seperti miskin, tetapi sesungguhnya bukan sasaran miskin yang
didata oleh BPS.
Oleh karena itu, kita harus
berhati-hati bahwa andaikan sesuatu proyek dilihat dari sudut rancangan program
bisa tampak manis, dalam pelaksanaan bisa dirusak melalui penentuan sasaran
fiktif yang mudah dijangkau. Telah menjadi rahasia umum bahwa keluarga miskin
selalu juga miskin syarat untuk bisa mendapatkan pelayanan, termasuk kredit
murah dari bank.
Segala jenis persyaratan mulai
yang paling sederhana berupa kartu penduduk, sasaran keluarga miskin dengan
mudah dapat dianggap tidak memenuhi syarat sehingga bisa dianggap tidak berhak
memperoleh bantuan untuk orang miskin. Dan, karena petugas yang patuh terhadap
aturan main dan harus bisa mencapai target kinerja, maka dicari akal agar
targetnya tercapai. Otak harus diperas untuk menghasilkan target yang memenuhi
segala syarat administratif. Akhirnya muncul target fiktif yang sah menurut
hukum tetapi meleset dari falsafah pengentasan kemiskinan yang digagas para
ahli dengan otak cemerlang.
Karena itu, gegap gempita laporan
dana yang terserap biasanya tidak disertai laporan jumlah dan nama keluarga
miskin yang mendapat kesempatan dan karena itu makin sejahtera. Ada laporan
penurunan tingkat kemiskinan, tetapi penurunannya sangat kecil dibandingkan
triliunan dana dan gegap gempitanya program yang dikucurkan ke desa dan
pedukuhan.
Kegiatan untuk mengembangkan
kepedulian keluarga kaya dan pandai pada keluarga miskin dan kurang mampu tidak
ada dananya. Kampanye merokok jauh lebih marak dibanding kampanye anti merokok.
Kampanye untuk membeli barang mewah dan konsumsi lainnya jauh lebih marak dari
kampanye untuk menyiapkan diri agar tidak terkena demam berdarah.
Upaya luhur membangun kebersamaan
dan hidup gotong-royong dihantam habis oleh upaya persaingan yang menghasilkan
pameran kemakmuran yang menonjolkan pribadi yang tidak ada lawannya. Ciri
kebersamaan dan kedamaian yang menghindari persaingan sebagai ciri hidup
gotong-royong dan kebersamaan tidak mendapat perhatian. Karena itu, pengentasan
kemiskinan perlu dikembangkan menjadi gerakan nasional yang berciri
gotong-royong yang nyata dan dinamis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar