|
KOMPAS,
03 Mei 2013
Pada
Rabu (24/4), berlangsunglah peristiwa luar biasa yang belum pernah terjadi
sebelumnya sepanjang sejarah penegakan hukum di negara kita, Republik
Indonesia.
Itulah
penolakan untuk dieksekusi seorang terpidana yang sudah terbukti bersalah atas
dasar putusan pengadilan yang tertinggi, yakni Mahkamah Agung, dengan alasan
yang, menurut saya, biasa dipakai pokrol bambu alias pokrol-pokrolan. Sungguh
sebuah alasan yang tidak bermutu dan tabu digunakan orang-orang yang mengaku
sebagai ahli hukum.
Yang
dijadikan sebagai alasan pertama pihak terpidana adalah redaksi putusan MA yang
hanya menyebut menolak permohonan kasasi pemohon dan tidak menyebut terpidana
harus ditahan atau tidak.
Dari
zaman dahulu, ya, sejak MA berdiri di negeri ini, redaksi putusan yang menolak
permohonan kasasi, ya, memang begitu. Itu berarti yang berlaku adalah putusan
pengadilan tinggi yang dimohonkan kasasi. Tidak adanya diktum mengenai
penahanan, itu juga berarti, ya, bagaimana putusan pengadilan tinggi itu. Kalau
di pengadilan tinggi terdakwanya ditahan, dia tetap ditahan.
Berbeda
halnya bila kasasinya diterima. Putusan pengadilan tinggi dibatalkan;
penahanannya harus disebutkan dalam diktum. Jadi, redaksi putusan MA itu sudah
benar.
Orang
yang berpendirian putusan MA dengan redaksi demikian salah, mereka harus berpikir
bahwa telah ada jutaan putusan MA yang redaksi putusannya demikian dan telah
dilakukan eksekusi dalam waktu berpuluh-puluh tahun. Apakah itu berarti
MA/Kejaksaan telah melakukan eksekusi yang salah sebab seharusnya tidak dapat
dieksekusi? Padahal, ada yang terpidananya dihukum mati dan sudah telanjur
dieksekusi.
Alasan
kedua yang dipakai terpidana adalah nomor putusan pengadilan tinggi bukan nomor
untuk perkara Susno Duadji. Kesalahan tentang nomor ini tidak dapat dijadikan
alasan untuk membatalkan putusan pengadilan. Bukankah nama terdakwanya jelas,
alamatnya cocok, tindak pidana yang didakwakan sesuai pula. Nomor salah, itu
bisa di-renvooi saja.
Yang
harus disadari terpidana dan yang membelanya menentang eksekusi, menurut saya,
adalah perkara yang didakwakan kepada terdakwa adalah perkara korupsi.
Sebagaimana kita ketahui, tindak pidana korupsi merupakan kejahatan berat.
Sementara itu, dakwaan ini dianggap terbukti sampai putusan tingkat pengadilan
yang paling tinggi, yakni Mahkamah Agung. Bayangkan kalau perkara ini tidak
bisa dieksekusi, berarti ada koruptor besar di negara ini yang bisa bebas
berkeliaran menikmati harta hasil korupsinya.
Sudah
Dilecehkan
Lebih
jauh, yang para pembela perlu sadari adalah akibatnya terhadap penegakan hukum
di Indonesia. Bagaimana tanggapan rakyat, bagaimana pula tanggapan dunia
internasional? Saya sungguh tidak dapat membayangkan wibawa yudikatif dan
eksekutif sudah dilecehkan sedemikian rupa; sesama penegak hukum sudah diadu,
seperti pemanggilan paksa yang seharusnya menurut UU dilakukan polisi, ternyata
polisinya digunakan untuk melindungi orang yang seharusnya dipaksa itu. Bahkan,
orang yang menurut UU akan mengeksekusi diancam akan ditembak polisi yang
justru melindungi itu.
Alangkah
runyam penegakan hukum di negeri ini. Kami yang masih punya idealisme merasa
amat sedih. Masih adakah secercah harapan untuk kita bisa kembali ke zaman
tatkala tidak ada orang dengan akal-akalannya berbuat hal-hal yang tidak
terpuji? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar