Urbanisasi dan Pembangunan
Tommy Firman ; Guru
Besar Institut Teknologi Bandung
|
KOMPAS,
11 September 2012
Arus balik yang terjadi
setelah hari raya Idul Fitri setiap tahun selalu dikaitkan dengan fenomena
urbanisasi. Urbanisasi secara sederhana dimaksudkan sebagai mobilitas atau
pergerakan penduduk dari desa ke kota, kemungkinan besar karena mereka ikut
bersama anggota keluarga, kenalan atau kerabat yang kembali ke kota-kota besar pascamudik,
seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan kota besar lainnya.
Sesungguhnya pengertian
urbanisasi dalam arti sosiologis adalah perubahan cara hidup (way of life) dari cara hidup perdesaan
ke perkotaan, yang sebenarnya tidak selalu berupa mobilitas penduduk. Banyaknya
wilayah perdesaan yang secara sosial ekonomi berkembang menjadi perkotaan (in-situ urbanization) seperti yang
banyak terjadi pada perdesaan di sekitar kota besar, juga dapat dikatakan
sebagai urbanisasi.
Urbanisasi akan terjadi
secara wajar seiring dengan kemajuan serta perkembangan ekonomi, tetapi yang
terjadi di negara yang sedang berkembang pada umumnya, termasuk Indonesia,
urbanisasi ini sangat terkonsentrasi hanya pada beberapa lokasi tertentu,
khususnya kota-kota utama, lebih khusus lagi di Ibu Kota. Urbanisasi sebagai
mobilitas penduduk dari desa ke kota, khususnya yang terjadi pada saat arus
balik penduduk, memang memusingkan para pengelola kota besar, seperti DKI
Jakarta.
Distribusi Kesejahteraan
Pada arus balik tahun ini
saja diperkirakan ada tambahan aliran penduduk lebih dari 50.000 orang yang
akan masuk ke DKI Jakarta meski angka ini lebih sedikit dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya. Menghadapi kondisi ini, seperti biasa secara
konvensional tiap tahun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan juga kota-kota
besar lainnya melaksanakan operasi yustisi. Lewat operasi ini, mereka mencoba
menahan para pendatang baru dan memulangkan ke tempat asalnya bila kehadirannya
di Jakarta tidak ada yang menjamin lapangan kerja dan tempat tinggalnya.
Sungguh suatu upaya yang
tidak efektif bahkan cenderung sia-sia yang dilakukan setiap tahun dan tentu
saja pembiayaannya harus dianggarkan dalam APBD kota-kota tersebut. Perlu
dicatat bahwa sesungguhnya ”urbanisasi” seperti ini tidak hanya terjadi
pasca-Lebaran seiring dengan arus balik, tetapi kemungkinan tiap hari dengan
intensitas yang lebih kecil. Yang terjadi pada hari-hari arus balik hanyalah
”puncak gunung es” saja.
Urbanisasi seperti ini atau
yang dalam istilah mobilitas penduduk sering disebut migrasi sirkuler merupakan
kejadian sehari-hari dan sesungguhnya mencerminkan ketimpangan antar-daerah dan
ketimpangan kota-desa. Seperti telah banyak diketahui para pendatang tersebut
datang ke kota besar melalui jaringan kekerabatan, keluarga, dan kenalan untuk
mencari tambahan pendapatan (off-farm
employment) karena pendapatan di desa yang umumnya dari sektor pertanian
tradisional dan terbatas jelas sangat tidak mencukupi untuk kehidupan.
Harus dimengerti bahwa
berurbanisasi adalah suatu pilihan yang sangat rasional bagi para pendatang
tersebut, yang umumnya berasal dari kelompok penduduk muda yang mempunyai
”keberanian” dan relatif memiliki keahlian (skill),
berpendidikan lebih tinggi dari mereka yang tidak bergerak ke kota (stayers). Urbanisasi yang seperti ini
harus dipandang sebagai mekanisme ”penjalaran” atau ”pemerataan” kesejahteraan
(wealth) dari kota ke desa.
Bisa kita bayangkan apa yang
akan terjadi pada penduduk di wilayah perdesaan bila tidak ada mekanisme ini.
Lagi pula ada aspek positif kehadiran para pendatang tersebut di kota besar.
Bisa dibayangkan kalau tidak ada mereka, siapa yang akan mengisi bidang-bidang
pekerjaan tertentu yang ditinggalkan oleh penduduk kota, seperti warung tegal,
warung mi rebus, sektor konstruksi, dan berbagai kegiatan sektor informal
lainnya.
Bukankah sektor-sektor
tersebut juga dibutuhkan kehadirannya di kota besar? Memang masalahnya migrasi
sirkuler ini sangat besar jumlahnya dan mereka pulang pergi antara kota dan
desa, umumnya tidak menetap di kota besar tersebut, serta memunculkan berbagai
ekses negatif, seperti munculnya permukiman kumuh dan miskin, masalah estetika
kota, kriminalitas, dan sebagainya.
Masalah ini sebenarnya
masalah nasional, tidak mungkin dipecahkan oleh aparat di kota-kota tujuan para
kaum urban tersebut secara sendiri-sendiri dengan cara-cara operasi yustisi,
pengusiran dan sebagainya karena bagi kaum urban ini seperti masalah
hidup-mati. Kalaupun ada yang berhasil dipulangkan kemungkinan jumlahnya tidak
signifikan. Hari ini tertangkap, mungkin besoknya sudah siap-siap untuk kembali
ke Jakarta atau kota lainnya.
Apakah operasi yustisi akan
dilakukan tiap hari sepanjang tahun? Kapasitas dan kemampuan aparat ketertiban
umum atau satuan polisi pamong praja (satpol PP) juga ada batasnya tampaknya
tidak akan sanggup menahan urbanisasi yang deras bak banjir dan terjadi tiap
hari.
Kebijakan Pembangunan
Selama kebijakan pembangunan
sosial-ekonomi dan infrastruktur yang dijalankan pemerintah pusat ataupun
pemerintah daerah serta insentif dorongan investasi pada sektor-sektor privat
masih sangat bias kota—yaitu berorientasi pada perekonomian kota-kota besar—selama
itu pula jangan berharap masalah urbanisasi itu akan dapat diselesaikan.
Ada istilah, ”ada gula ada
semut”. Dari segi pengembangan wilayah ini juga merupakan problem tersendiri,
yaitu terlampau menumpuknya investasi dan berbagai kegiatan ekonomi perkotaan
beserta infrastrukturnya hanya pada berbagai pusat, notabene kota-kota besar di
Jawa, seperti Jakarta. Pola pikir (mindset) pengambil keputusan harus
mengintegrasikan dimensi tata ruang wilayah dalam keputusan-keputusan
investasi.
Contoh kemajuan atau dampak
positif dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dalam hal perkembangan
pusat-pusat perkotaan baru, sekalipun di luar Jawa, dapat dideteksi dari
perkembangan penduduk perkotaan dan proporsi penduduk perkotaan hasil Sensus
2010, walaupun masih relatif kecil. Kondisi ini khususnya terjadi di
wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam, seperti Kalimantan Timur, Riau,
Riau Kepulauan, Sumatera Utara, dan Bali, yang spesifik karena kegiatan
kepariwisataannya.
Hal seperti ini sebenarnya
dimungkinkan dan harus dikembangkan. Kebijaksanaan pengembangan wilayah untuk
ini sudah ada, seperti yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26
Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) dengan perangkat
pelaksanaannya (PP No 15/2010), termasuk keberadaan Badan Koordinasi Tata Ruang
Nasional ataupun daerah.
Namun, sayangnya, kebijakan
ini tampaknya tak diimplementasikan secara konsisten, terpisah dari kebijakan
investasi yang bersifat lebih jangka pendek. Sekarang ada lagi Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) yang bila dilaksanakan secara konsisten akan berdampak
positif pada pola urbanisasi di Indonesia dalam makna yang lebih luas dari
sekadar mobilitas penduduk. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar