Sabtu, 22 September 2012

Risiko setelah Kemenangan ER di PTUN


Risiko setelah Kemenangan ER di PTUN
M Hadi Shubhan ;  Dosen Sengketa Pemerintahan di Fakultas Hukum Universitas Airlangga; Ketua Unit Konsultasi dan Bantuan Hukum FH Unair Periode 2008-2009
JAWA POS, 21 September 2012



PUTUSAN PTUN Surabaya yang mengabulkan gugatan Eddy Rumpoko (ER)-Punjul Santoso selaku pasangan calon wali kota dan wakil wali Kota Batu yang digugurkan KPU Kota Batu cukup mengejutkan. Majelis hakim membatalkan keputusan KPU Kota Batu dan memerintahkan untuk memasukkan ER sebagai salah satu pasangan calon yang memenuhi syarat sebagai peserta Pemilukada Kota Batu 2012. Sebelumnya, KPUD menggugurkan Eddy karena tidak menemukan keabsahan ijazah SMP Eddy.

Persidangan PTUN tersebut dilakukan atas permohonan pihak ER untuk membatalkan Keputusan KPU Batu No 270/188/KPU Kota 014.329951/VIII/2012 tanggal 7 Agustus 2012 tentang Hasil Penelitian Ulang Surat Pencalonan Beserta Lampirannya Pemilukada Kota Batu dan keputusan KPU Batu berupa Berita Acara No 270/75/BA/VIII/2012 tanggal 7 Agustus 2012 tentang Penetapan Pasangan Calon yang Memenuhi Syarat sebagai Peserta Pemilukada Kota Batu 2012. 

Maju Kena Mundur Kena 

Persoalan pemilukada di Kota Batu ini tidak selesai demikian saja dengan adanya putusan PTUN tersebut. KPU Batu kini masuk dalam persoalan dilematis. Jika mereka banding atas putusan tersebut, berarti putusan PTUN itu masih belum memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), sehingga belum bisa dieksekusi/dijalankan. 

Tapi, saat banding berjalan, tahap pilkada bisa terus berjalan. Sebab, selain putusan PTUN belum berkekuatan hukum tetap, dalam hukum administrasi negara terdapat asas praduga rechmatig yang artinya benar menurut hukum atau disebut juga asas presumptio iustea causa. Asas itu menganggap setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap berdasar hukum (benar) sampai ada pembatalan. Dalam asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat (pasal 67 ayat (1) UU Peratun). 

Namun, jika tahap pilkada tersebut tetap dijalankan tanpa mengubah keputusan KPUD tentang pasangan calon yang akan berlaga dalam pilkada -sesuai jadwal, pilwali Kota Batu digelar awal Oktober mendatang-, akan muncul risiko hukum dan risiko sosial. Risiko hukumnya, jika ternyata upaya hukum yang dilakukan KPUD ditolak sampai upaya terakhir, proses pilkada tersebut akan mengalami delegitimasi yang luar biasa. Risiko sosialnya, akan muncul ekspresi kekecewaan pendukung Eddy, sang incumbent.

Namun, bisa juga KPUD tetap melakukan upaya hukum banding sembari tahap pilwali Batu dijadwalkan kembali sambil menunggu putusan yang tetap. Tapi, itu berdampak terhadap penganggaran atau pendanaan, selain mengganggu tahap pilkada. Namun, risiko penundaan tersebut lebih ringan dibanding melanjutkan tahap pilkada tanpa mengubah kontestan tapi ternyata kemudian KPU Batu kalah sampai inkracht.

KPUD bisa mengambil keputusan sebaliknya, yakni memasukkan ER sebagai pasangan calon wali Kota Batu di nomor empat. Dengan begitu, tahap pilkada akan tetap diselenggarakan sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Apalagi, kertas suara sangat mungkin belum dicetak. Dengan demikian, kasus sengketa administratif tersebut selesai. KPUD secara logika tak bisa banding lagi karena menerima putusan PTUN dengan memasukkan nama ER. Biarlah masyarakat Kota Batu yang akan menentukan siapa yang paling berhak menjadi wali kota lima tahun mendatang. 

Pilihan memasukkan pasangan ER karena mengikuti putusan PTUN itu pun memiliki risiko. Pasangan lain yang tidak puas bisa menggugat kembali keputusan KPUD yang baru tersebut dan akan diprotes para pendukung calon lainnya. Tapi, risiko itu relatif lebih kecil.

Dualisme Sistem 

Memang ada ambiguitas dalam sistem penyelesaian sengketa pemilukada yang berlaku saat ini. Penyelesaian perselisihan pemilukada ditangani dua lembaga peradilan yang berbeda, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) dan PTUN. 

MK berwenang menyelesaikan perselisihan pemilukada terhadap perselisihan hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Wewenang MK itu merupakan amanat UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemda. 

Sementara itu, PTUN berwenang menyelesaikan perselisihan dalam proses pemilukada jika terdapat keputusan KPUD yang dianggap merugikan salah satu pihak. Termasuk, misalnya, keputusan penetapan calon peserta pemilukada.

Dualisme lembaga yang menyelesaikan perselisihan dalam lingkup proses pemilukada tersebut rentan menimbulkan persoalan. Hal itu sebenarnya bisa direduksi dengan cara semua perselisihan dalam semua tahap pemilukada ditangani satu lembaga peradilan. Dan seyogianya dilakukan satu pintu melalui MK.

UUD 1945 sudah secara tegas mengamanatkan bahwa MK berwenang memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (pasal 24 C UUD 1945). Wacana yang berkembang saat ini, mengembalikan penyelesaian sengketa hasil pemilukada dari MK ke peradilan di lingkungan Mahkamah Agung jelas mengingkari amanat konstitusi tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar