Represi dan
Radikalisme
Saharuddin Daming ; Komisioner Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia
(Komnas HAM)
|
SINDO,
06 September 2012
Merebaknya konflik vertikal antara Polri yang dimotori Densus 88
dan teroris di Solo pekan lalu memperlihatkan kesungguhan dan sikap tegas
pimpinan Densus dalam menggulung pelaku gangguan kamtibmas.
Namun di sisi lain, pola represi Densus dalam menghadapi teroris
seperti itu,selain terkesan membenturkan penegakan hukum dan penegakan HAM,juga
berpotensi menjadi persemaian radikalisme pada kalangan yang begitu apatis
terhadap kebijakan negara secara umum maupun pola represif Densus. Fenomena
keberlanjutan aksi terorisme di beberapa tempat selama ini––selain dipicu oleh
peningkatan radikalisme dan militansi teroris dalam mengejawantahkan manifesto
perjuangannya––juga disebabkan faktor tidak profesionalnya sebagian Densus
dalam mengemban tugas operasi.
Tidak dapat disangkal jika manuver Densus dalam melakukan operasi kadang-kadang disertai dengan tindakan overacting atau show of force hingga tindakan brutal terhadap tersangka teroris maupun keluarganya. Akibat itu, simpati warga pun semakin redup dan hilang lantaran kebijakan pola operasi Densus ternyata lebih mengedepankan foam approach.
Padahal paradigma pendekatan operasi seperti ini sudah banyak dikritik berbagai kalangan karena sama sekali tidak menyentuh roots of problem. Sebaliknya, itu justru menjadi pemicu konflik baru. Secara sosio-historis, aksi terorisme di Indonesia semula merupakan bersifat horizontal (pertikaian antarkelompok masyarakat dengan latar belakang primordialitas).
Selain faktor fermentasi keyakinan dan identitas kelompok yang menjadi pemicu, pergesekan tersebut juga sudah mempertaruhkan soal ideologi yang berbasis pada kehormatan dan jati diri kolektif maupun yang bersifat individual. Untuk mewujudkan semua itu, masing-masing kelompok berupaya semaksimal mungkin untuk membekali diri dengan kekuatan serang sebanyak banyaknya baik dalam bentuk rekrutmen personel dan deposit persenjataan secara massal, juga mencakup penguasaan skill pelumpuhan musuh quasi militer.
Saat serangan teroris masih tinggi,tiba-tiba pimpinan Densus mengambil posisi sebagai musuh abadi terorisme di Indonesia. Karena merasa keberadaannya terusik, kebijakan tersebut kontan saja mengundang reaksi teroris dengan melakukan konsolidasi guna melancarkan berbagai aksi sebagai upaya untuk mempertahankan diri. Celakanya lagi,dalam mencapai target sasaran, Densus mendewakan lembaga prosedur tetap (protap) untuk menjustifikasi segala bentuk pola operasi termasuk penggunaan senjata dan berbagai tindak kekerasan lainnya terhadap tersangka teroris maupun warga lain yang kebetulan berada di lokasi penggerebekan dengan dalih penegakan hukum dan kamtibmas.
Dengan manuver dan pola operasi yang dilakukan Densus seperti itu, warga merasa tertekan dan tidak terlindungi.Warga justru menilai Densus sebagai pelaku teror dan kezaliman atas warga yang sudah lama merindukan ketenangan. Harus diakui bahwa Densus dalam melakukan operasi memang bertumpu pada mekanisme yang disebut protap. Namun, tidak dapat disangkal jika dalam pelaksanaannya di lapangan sakralisasi protap oleh Densus ternyata sering mengalami pembiasan.
Jangankan dalam keadaan rusuh sebagaimana saat aksi tembak-menembak antara Densus dan teroris, dalam kondisi yang lebih terkendali saja seseorang yang memegang senjata dengan tingkat profesionalitas serta tekanan psikologis yang relatif stabil tiba-tiba bisa berubah secara agresif. Dengan tindakan Densus yang cenderung mengekspresikan arogansi otoritas dalam mengamankan teroris secara brutal dan membabi buta, teroris yang semula terlibat konflik horizontal dengan rival primordialitasnya, kini beralih dan justru menjadikan Densus sebagai musuh yang harus dilawan.
Akibat kebijakan Densus seperti itu, tidak dapat dielakkan lagi jika sikap militansi dan radikalisme teroris yang tadinya baru berada pada tingkat medium kini dapat semakin memuncak sebagaimana yang terjadi di Solo pekan lalu. Hipotesis penulis ini mengacu pada fenomena serupa di beberapa belahan dunia. Sebutlah aksi Jibaku yang kerap berlangsung di Palestina, Afghanistan, dan Irak sekarang.
Sulit untuk berpendapat lain jika faktor pemicunya adalah ketidakadilan sebagai genus causa dan kehadiran kekuatan asing sebagai spesiesnya. Meski pemerintah setempat di back-up oleh pasukan multinasional lengkap dengan sistem persenjataan yang paling modern sekalipun, selama maintrigger-nya masih ada, eksistensi teroris tidak akan pernah dapat dipadamkan. Kekuatan maupun pola serangannya malah secara kualitatif dan kuantitatif justru akan terus meningkat.
Ini terjadi selain karena teroris mempunyai garis perjuangan ideologi yang sangat fundamental, mereka juga mampu menata organisasi dengan jaringan yang semakin luas. Itulah sebabnya setiap ada anggota bahkan pimpinan teroris yang tertangkap oleh Densus hingga hukuman mati seperti Imam Samudera, Amrozi, dan kawan-kawan, aksi mereka bukan saja tidak melentur dan meluntur, malah hal tersebut justru disambut dengan gegap gempita seraya meneriakkan kalimat takbir. Strategi perjuangan teroris berpijak pada spirit of power: “patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh sejuta”.
Tidak dapat disangkal jika manuver Densus dalam melakukan operasi kadang-kadang disertai dengan tindakan overacting atau show of force hingga tindakan brutal terhadap tersangka teroris maupun keluarganya. Akibat itu, simpati warga pun semakin redup dan hilang lantaran kebijakan pola operasi Densus ternyata lebih mengedepankan foam approach.
Padahal paradigma pendekatan operasi seperti ini sudah banyak dikritik berbagai kalangan karena sama sekali tidak menyentuh roots of problem. Sebaliknya, itu justru menjadi pemicu konflik baru. Secara sosio-historis, aksi terorisme di Indonesia semula merupakan bersifat horizontal (pertikaian antarkelompok masyarakat dengan latar belakang primordialitas).
Selain faktor fermentasi keyakinan dan identitas kelompok yang menjadi pemicu, pergesekan tersebut juga sudah mempertaruhkan soal ideologi yang berbasis pada kehormatan dan jati diri kolektif maupun yang bersifat individual. Untuk mewujudkan semua itu, masing-masing kelompok berupaya semaksimal mungkin untuk membekali diri dengan kekuatan serang sebanyak banyaknya baik dalam bentuk rekrutmen personel dan deposit persenjataan secara massal, juga mencakup penguasaan skill pelumpuhan musuh quasi militer.
Saat serangan teroris masih tinggi,tiba-tiba pimpinan Densus mengambil posisi sebagai musuh abadi terorisme di Indonesia. Karena merasa keberadaannya terusik, kebijakan tersebut kontan saja mengundang reaksi teroris dengan melakukan konsolidasi guna melancarkan berbagai aksi sebagai upaya untuk mempertahankan diri. Celakanya lagi,dalam mencapai target sasaran, Densus mendewakan lembaga prosedur tetap (protap) untuk menjustifikasi segala bentuk pola operasi termasuk penggunaan senjata dan berbagai tindak kekerasan lainnya terhadap tersangka teroris maupun warga lain yang kebetulan berada di lokasi penggerebekan dengan dalih penegakan hukum dan kamtibmas.
Dengan manuver dan pola operasi yang dilakukan Densus seperti itu, warga merasa tertekan dan tidak terlindungi.Warga justru menilai Densus sebagai pelaku teror dan kezaliman atas warga yang sudah lama merindukan ketenangan. Harus diakui bahwa Densus dalam melakukan operasi memang bertumpu pada mekanisme yang disebut protap. Namun, tidak dapat disangkal jika dalam pelaksanaannya di lapangan sakralisasi protap oleh Densus ternyata sering mengalami pembiasan.
Jangankan dalam keadaan rusuh sebagaimana saat aksi tembak-menembak antara Densus dan teroris, dalam kondisi yang lebih terkendali saja seseorang yang memegang senjata dengan tingkat profesionalitas serta tekanan psikologis yang relatif stabil tiba-tiba bisa berubah secara agresif. Dengan tindakan Densus yang cenderung mengekspresikan arogansi otoritas dalam mengamankan teroris secara brutal dan membabi buta, teroris yang semula terlibat konflik horizontal dengan rival primordialitasnya, kini beralih dan justru menjadikan Densus sebagai musuh yang harus dilawan.
Akibat kebijakan Densus seperti itu, tidak dapat dielakkan lagi jika sikap militansi dan radikalisme teroris yang tadinya baru berada pada tingkat medium kini dapat semakin memuncak sebagaimana yang terjadi di Solo pekan lalu. Hipotesis penulis ini mengacu pada fenomena serupa di beberapa belahan dunia. Sebutlah aksi Jibaku yang kerap berlangsung di Palestina, Afghanistan, dan Irak sekarang.
Sulit untuk berpendapat lain jika faktor pemicunya adalah ketidakadilan sebagai genus causa dan kehadiran kekuatan asing sebagai spesiesnya. Meski pemerintah setempat di back-up oleh pasukan multinasional lengkap dengan sistem persenjataan yang paling modern sekalipun, selama maintrigger-nya masih ada, eksistensi teroris tidak akan pernah dapat dipadamkan. Kekuatan maupun pola serangannya malah secara kualitatif dan kuantitatif justru akan terus meningkat.
Ini terjadi selain karena teroris mempunyai garis perjuangan ideologi yang sangat fundamental, mereka juga mampu menata organisasi dengan jaringan yang semakin luas. Itulah sebabnya setiap ada anggota bahkan pimpinan teroris yang tertangkap oleh Densus hingga hukuman mati seperti Imam Samudera, Amrozi, dan kawan-kawan, aksi mereka bukan saja tidak melentur dan meluntur, malah hal tersebut justru disambut dengan gegap gempita seraya meneriakkan kalimat takbir. Strategi perjuangan teroris berpijak pada spirit of power: “patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh sejuta”.
Berangkat dari fakta empiris seperti ini, penulis menyarankan agar
pola represif yang selama ini ditempuh Densus perlu ditinjau ulang karena bukan
saja tidak akan pernah mampu menyentuh roots
of problem, kecuali hanya riak-riak permukaan. Paradigma pendekatan seperti
itu justru semakin mempersubur tumbuhnya reaksi teroris dengan eskalasi dan
pola serangan yang lebih intensif. Akan lebih adil jika Densus berani
mereposisi kebijakan penegakan kamtibmas selama ini yang cenderung
mengekspresikan arogansi otoritas dengan mengatasnamakan law enforcement.
Dengan performa Densus seperti itu, selain tidak akan pernah membawa Densus pada pencitraan diri yang lebih tinggi, arogansi otoritas Densus seperti itu justru akan menabrak instrumen HAM maupun Peraturan Kapolri No 8/2009 tentang Pemberlakuan Prinsip HAM dalam tugas Polri. Selain itu, ia juga menjadi salah satu faktor tumbuhnya radikalisme dan ekstremisme. ●
Dengan performa Densus seperti itu, selain tidak akan pernah membawa Densus pada pencitraan diri yang lebih tinggi, arogansi otoritas Densus seperti itu justru akan menabrak instrumen HAM maupun Peraturan Kapolri No 8/2009 tentang Pemberlakuan Prinsip HAM dalam tugas Polri. Selain itu, ia juga menjadi salah satu faktor tumbuhnya radikalisme dan ekstremisme. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar