Jumat, 21 September 2012

Pilkada DKI, Taruhan bagi Demokrasi Indonesia


Pilkada DKI, Taruhan bagi Demokrasi Indonesia
Irman Gusman ;  Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) 
SINDO, 20 September 2012


Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta putaran kedua yang diselenggarakan hari ini tidak bisa dianggap sebagai pilkada biasa.

Tidak hanya warga DKI akan memilih satu di antara dua pasangan kandidat (Foke-Nara dan Jokowi-Basuki) sebagai gubernur dan wakil gubernur untuk lima tahun mendatang, tapi yang lebih penting dari itu: menjadi pertaruhan yang krusial bagi kelangsungan masa depan demokrasi. Pilkada DKI adalah barometer demokrasi nasional. Ia diamati banyak pihak, tidak saja seluruh masyarakat Indonesia, tetapi juga dunia internasional. Karena itu, kita semua berharap pesta rakyat ini dapat berjalan dengan lancar, aman, tertib, jujur, adil, dan demokratis.

Tentu jumlah kelas menengah yang besar di DKI akan memberikan dampak positif bagi terselenggaranya pilkada yang lancar. Pemilih Jakarta merupakan pemilih dengan tingkat melek media yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Makanya dari berbagai hasil survei, kecenderungan pilihan warga Jakarta lebih digerakkan faktor figur: integritas, moralitas, komitmen, konsistensi, rekam jejak, keberpihakannya kepada rakyat, dan kemampuan komunikasi politik.

Warga DKI kita harapkan dapat menggunakan hak pilihnya dengan baik supaya Pilkada DKI dapat menjadi contoh bagi daerah-daerah lain. Para elite yang bertarung maupun tim sukses di belakangnya juga harus mempunya kesadaran politik yang tinggi agar kompetisi ini dapat berlangsung elegan dan demokratis tanpa adanya penyimpangan- penyimpangan. Karena, bagaimanapun, wajah masa depan demokrasi Indonesia ditentukan di Jakarta. Bayangkan saja, Jakarta adalah pusat dinamika politik, pusat aktivitas ekonomi, dan pusat gerakan sosial dan budaya. Apa yang terjadi di Jakarta dirasakan dentumannya sampai ke pelosok-pelosok Tanah Air. Karena itu, hanya ada satu pilihan: Pilkada DKI harus lebih baik dari pilkada daerah-daerah lain.

Pemerkuat Sistem Pilkada

Meskipun kita optimistis pelaksanaan pilkada di DKI akan berjalan lancar, dengan segala macam hiruk-pikuknya Pilkada DKI harus menjadi momentum untuk mengoreksi penyelenggaraan pilkada secara keseluruhan. Belakangan ini kita rasakan banyak muncul perdebatan wacana apakah sebaiknya pilkada dipertahankan ataukah dikembalikan kepada DPRD seperti praktik masa lalu.

Tentu pertanyaan ini terlihat sederhana, tetapi memiliki arti yang dalam. Sebagaimana konsensus nasional pascaotoritarianisme, pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan pilihan yang demokratis untuk menggantikan mekanisme pemilihan kepala daerah melalui perwakilan politik (DPRD). Sebab, pilkada menjadi jembatan penghubung rakyat dengan kedaulatannya di mana terjadi proses pelibatan rakyat dalam memilih pemimpin secara langsung.Setidaknya,ada beberapa makna substantif di balik penyelenggaraan pilkada.

Pertama, kedaulatan rakyat ditegakan karena adanya partisipasi rakyat secara langsung.Kedua, kepala daerah yang terpilih mempunyai basis legitimasi yang kuat.Ketiga, pilkada menjadi ajang pendidikan politik rakyat. Dan, keempat, ada kegairahan masyarakat dalam pesta penyelenggaraan pilkada yang tidak hanya dinikmati para elite. Maka dari itu, semua pihak, terutama para penyelenggara negara dan partai politik, harus memperkuat pilkada agar kelemahan-kelemahan yang selama ini muncul dapat teratasi.

Selama ini memang masih banyak kelemahan mendasar yang perlu diperbaiki. Pilkada masih diselenggarakan sekadar prosedural, belum sesuai dengan tujuan substantifnya. Kita lihat saja dari aspek budaya politik. Belum terbangun budaya politik yang demokratis. Kita mafhumi semua kontestan yang berlaga pasti mengejar kemenangan. Namun, selaiknya yang penting adalah bagaimana kemenangan itu dicapai. Tidak perlu menghalalkan segala cara yang biasanya mengakibatkan ongkos pilkada menjadi mahal, high cost economy.

Begitu juga partisipasi politik masyarakat harus didorong secara lebih sehat.Tugas partai politik adalah bagaimana mendorong pendidikan politik agar ada kesadaran politik dari rakyat dalam menggunakan hak pilihnya secara cerdas. Rakyat sepertinya hanya didekati jelang pilkada dan pemilu.Setelah itu,pendidikan politik rakyat terabaikan. Ini yang membuat kenapa indeks demokrasi kita secara global masih cukup rendah.

Economist, sebuah majalah bergengsi yang berpusat di Kota London, pada 2011 lalu merilis hasil survei global democracy index yang di dalamnya dari 167 negara yang disurvei, Indonesia berada di peringkat ke-67 dengan kategori flawed democracy (demokrasi yang masih lemah, belum mencapai taraf full democracy). Variabel penting yang diukur adalah pemilu dan pluralisme, kebebasan sipil, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, dan budaya politik. Posisi itu lebih rendah dari peringkat India di urutan ke-40,Thailand (57), Papua Nugini (59),dan bahkan lebih rendah dari peringkat sebuah negara baru seperti Timor Leste yang berada di urutan ke-42.

Artinya, peringkat tersebut menjadi potret betapa pemilu, partisipasi politik, dan budaya politik masih lemah. Kelemahan inilah yang menjadikan penyelenggaraan pilkada di Indonesia selama ini banyak berakhir dengan sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut pemaparan Ketua MK pada saat rapat konsultasi dengan pimpinan DPD RI beberapa bulan lalu, dari 440 pilkada sejak 2008, sekitar 392 berakhir di MK. Ini menandakan ada permasalahan yang serius dalam pilkada di Indonesia.

Baik itu menyangkut kecurangan, ketidakdewasaan elite dalam berdemokrasi maupun konflik antarpendukung, termasuk keinginan menang dengan menghalalkan segala cara. Di sisi lain, ongkos politik yang dikeluarkan para kandidat juga begitu mahal.Harus diakui, jumlah uang yang dikeluarkan para kandidat dalam pengalaman berbagai pilkada di daerah begitu besar sehingga terkadang pilkada menjadi ajang adu uang, bukan lagi adu ide dan program.

Ada yang mensinyalir bahwa banyaknya kepala daerah yang tersandera secara hukum karena penyimpangan kekuasaan (korupsi) salah satunya diakibatkan motif untuk mengembalikan modal pilkada yang jumlahnya begitu besar. Tentu saja, dalam memperbaiki kualitas penyelenggaraan pilkada ke depan, kelemahan-kelemahan tersebut harus menjadi renungan bersama, tetapi dengan prinsip bahwa sebaiknya pilkada diperkuat agar sistem demokrasi semakin kukuh.

Karena, bagaimanapun, demokrasi adalah sistem yang dapat menjamin partisipasi rakyat, kebebasan berpolitik, penegakan hukum tanpa diskriminasi, akses ekonomi yang terbuka, jaminan atas hak asasi manusia,dan perlindungan kepada kelompok minoritas. Karena itu, prinsip yang harus dikedepankan adalah bagaimana pilkada sebagai sistem yang demokratis harus kita perkuat demi terjaminnya partisipasi rakyat dan hak-hak rakyat dalam berdemokrasi. Karena itu, kelemahan-kelemahan yang ada harus diantisipasi dengan beberapa pilihan sistem.

Apakah penyederhanaan waktu penyelenggaraan pilkada dilakukan serentak secara nasional yang terpisah dari pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden.  Ataukah pilkada dilakukan serentak secara nasional bersamaan dengan pemilihan pimpinan eksekutif (presiden dan wakil presiden). Tentu penyederhanaan ini dapat menutup ruang lemah penyelenggaraan pilkada selama ini. Jika pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD seperti pada masa lalu, sebenarnya kita mengalami kemunduran demokrasi di mana akan muncul oligarki elite, pemasungan hak-hak rakyat, dan secara ekonomis rakyat tidak diuntungkan.

Melalui DPRD yang mendapatkan keuntungannya hanyalah elite-elite politik. Bandingkan jika pemilihan kepala daerah tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat, dampaknya secara ekonomi dapat dirasakan rakyat di mana belanja iklan untuk baliho, spanduk, stiker, kartunama, kaus, dan iklan di media cetak dan media elektronik ikut menggerakkan ekonomi rakyat. Karena itu, lewat Pilkada DKI ini, kita harapkan ada pembelajaran demokrasi yang penting bagi bangsa ini. Sebab, bagaimanapun, ada harapan besar yang kita gantungkan pada pelaksanaan Pilkada DKI kali ini.

Kesuksesan dan kelancaran serta capaian kualitas yang demokratis dari Pilkada DKI ini akan memberikan dampak yang besar bagi masa depan demokrasi Indonesia, khususnya dalam memperkuat sistem pilkada. Karena itu, siapa pun yang menang sejatinya menjadi kemenangan warga Jakarta, juga kemenangan demokrasi. Kita pun berharap, proses pemungutan suara hari ini akan berjalan lancar, aman, tertib, jujur, adil, dan demokratis.

Sebagai lembaga perwakilan daerah, hari ini DPD RI akan melakukan pemantauan langsung di beberapa TPS bersama KPU dan Bawaslu dengan tujuan untuk mendapatkan masukan agar Pilkada DKI dapat menjadi contoh bagi pilkada-pilkada di daerah lain demi masa depan demokrasi Indonesia yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar