Rabu, 19 September 2012

Pilkada dan Korupsi


Pilkada dan Korupsi
Marwan Mas ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SUARA KARYA, 19 September 2012


Hasil pemilihan gubernur DKI Jakarta sudah diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jakarta pada 20 Juli 2012 lalu. Karena tidak ada satu pasangan yang memperoleh suara sah lebih dari 50 persen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia, akhirnya KPUD menetapkan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) yang meraih suara terbanyak dan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) maju ke putaran kedua pada 20 September 2012.

Hasil ini bukan hanya mengejutkan para pengamat dan penggiat pemilihan umum, malah menghantam secara telak soal kredibilitas beberapa lembaga survei. Pemilih Jakarta telah mematahkan "keangkuhan" lembaga survei dan Foke-Nara yang begitu berani mengklaim akan menang hanya dalam satu putaran. Makanya, kubu Foke-Nara kecewa terhadap beberapa lembaga survei yang telah meninabobokannya, sehingga publik mempertanyakan apakah hasil survei hanya sekadar memenuhi sang pemesan dengan memanipulasi data? Jika ini yang terjadi, wajar publik mulai ragu atas kredibilitas beberapa lembaga survei, sehingga pantas jadi tertawaan publik.

Kampanye minim dana bisa membenarkan pandangan, bahwa dana bukan segala-galanya dalam pemilihan umum (pemilu). Keunggulan Jokowi-Ahok dengan mengalahkan incumbent Fauzi Bowo, selain bisa dijadikan cermin bagi calon gubernur di daerah lain, juga bisa disebut sebagai pencerahan bagi demokrasi. Tetapi maraknya kampanye hitam atau kampanye negatif menjelang putaran kedua, boleh jadi akan memengaruhi sebagian pemilih. Tetapi pemilih Jakarta yang rasional dan dinamis, tidak akan mudah terpengaruh pada isu yang hanya akan menyesatkan.

Kendati Jokowi-Ahok masih harus bertarung di putaran kedua, tetapi capai-an suara di atas rival terkuatnya menunjukkan fenomena di luar perkiraan banyak orang. Calon incumbent yang didukung koalisi partai besar dan diunggulkan sejumlah lembaga survei untuk menang di putaran pertama, ternyata bisa takluk oleh calon yang kesehariannya begitu sederhana, merakyat, tidak elitis dengan pakaian yang serba wah seperti kebanyakan calon lain. Jokowi membawa nilai baru dalam pemilihan pemimpin, bahkan dapat menjadi potret pemilihan presiden 2014.

Pemilihan kepala daerah sering dijadikan "ladang bisnis" bagi partai politik (parpol) dan para kandidat yang bermuara pada praktik curang. Inilah momok bagi demokrasi kita. Parpol sebagai salah satu pintu pencalonan, selalu membebani calon untuk membayar uang pembuka pintu, terlebih bagi calon yang bukan kader parpol bersangkutan. Secara logika, mestinya parpol-lah yang membiayai pencalonan sebagai tanggung jawab demokrasi substansial. Kecenderungan bagi parpol yang kurang mengapresiasi "gagasan dan visi-misi" sang balon sebagai persyaratan utama, tak bisa dimungkiri sebagai pemicu praktik kecurangan. Padahal yang diiinginkan publik adalah adanya "konflik gagasan" para calon, bukan "konflik baliho dan spanduk".

Mengantisipasi kecurangan, memang penting untuk menciptakan pemilu bersih, jujur, dan demokratis. Tetapi adakah jaminan kalau semua calon tidak curang? Berbagai bentuk kecurangan sudah diketahui publik, misalnya, membagikan sejumlah uang atau barang kepada pemilih, merekayasa daftar pemilih dengan cara menggelembungkan atau membuat pemilih fiktif agar dalam perhitungan suara nanti akan ditambahkan ke suaranya oleh petugas yang menghitung suara. Ada juga yang menebar janji yang sebetulnya mustahil diwujudkan, atau menjanjikan penyandang dana yang umumnya dari kalangan pengusaha untuk diberi jatah proyek, yang tentu saja rawan penyelewengan dan korupsi.

Politik uang dan manipulasi penghitungan suara (vote-counting manipulation) paling penting diwaspadai sebagai bentuk kecurangan terstruktur. Semuanya menjadi satu kesatuan yang tidak bisa ditolerir dalam memilih pemimpin yang amanah, sehingga bagi mereka yang kalah akan dituding "hanya kalah curang". Jangan sampai istilah ini kian populer dalam masyarakat sebagai persepsi negatif, karena akan menodai demokrasi yang selama ini sudah jadi pilihan.

Konsep dalam berbisnis menurut para ekonom, adalah semakin besar modal yang dikeluarkan akan semakin besar pula ekspektasi profitnya. Meski uang sebagai modal meraup dukungan bukan satu-satunya faktor penentu untuk memenangkan pertarungan, tetapi fakta dari pengalaman selama ini menunjukkan bahwa faktor uang masih potensil dan kecurangan masih sering terjadi. Begitu banyak kepala daerah yang meringkuk di ruang tahanan lantaran berupaya mengembalikan dana yang dikeluarkan saat pemilu dengan menyelewengkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). 

Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, dalam delapan tahun terakhir sudah 173 kepala daerah terjerat kasus korupsi dan 70 persen di antaranya berstatus terpidana.
Bukan rahasia lagi, untuk menjadi bupati/walikota dibutuhkan dana sedikitnya Rp 10 miliar, untuk menjadi gubernur angkanya bisa mencapai ratusan miliar rupiah (Media Indonesia, 25/4/2012). Dana yang diperoleh dari cukong politik dipakai untuk menyewa partai pengusung, biaya kampanye, dan membeli suara pemilih. Saat menjabat, sudah pasti akan mengembalikan modal dari dana APBD yang mestinya untuk menyejahterakan rakyat, malah dikudeta untuk politik balas budi.

Para pejabat publik sudah tidak malu dan tidak merasa hina menjadi koruptor. Bagi mereka, korupsi adalah soal peluang yang diperoleh saat memenangkan pemilihan umum atau meraih jabatan tertentu. Risiko ditangkap KPK, itu lebih dianggap sebagai nasib apes saja. Selama tidak ditangkap KPK atau kejaksaan, korupsi dianggap biasa dan dilabel sebagai kepintaran memainkan posisi. Inilah salah satu dampak perilaku curang dalam pemilu, kemenangan diraih karena curang dan yang kalah karena "kalah curang saja".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar