Sabtu, 08 September 2012

Menolak Politik Transaksional


Menolak Politik Transaksional
Victor Silaen ;  Dosen Ilmu Politik Universitas Pelita Harapan
SINAR HARAPAN, 07 September 2012


Dalam politik tak ada satu pun hal yang ideal. Semuanya serbapraktis, karena nilai yang melandasinya memang pragmatisme.

Jadi, bukan kebaikan dan kebajikan yang menjadi keutamaan dalam politik, melainkan manfaat. Manfaat itu sendiri terutama dicari dan dikejar untuk diri sendiri, baru kemudian untuk kelompok sendiri, dan akhirnya untuk satuan sosial yang lebih luas lagi: masyarakat dan bangsa.

Begitulah, maka sudah sejak lama politikus Inggris di abad ke-19, Lord Palmerston, berkata begini: “Dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi, karena sesungguhnya yang abadi adalah kepentingan itu sendiri.”

Boleh jadi hari ini menjadi kawan senasib-sepenanggungan, sebarisan-seperjuangan. Tapi, kali lain bisa jadi beroposisi, menjadi lawan yang berpunggungan. Bahkan kalau perlu, bisa saling menjegal dan menumbangkan.

Gambaran seperti itulah yang terlihat pada peristiwa politik aktual para pendukung calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta 2012-2017 Foke-Nara menjelang Putaran II Pilkada DKI 2012 yang direncanakan terselenggara pada 20 September nanti.

Sebelum 11 Juli lalu, semua pasangan cagub-cawagub hampir selalu “menyerang” Foke-Nara dalam kampanye mereka. Kini, setelah kontestannya tinggal Foke-Nara dan Jokowi-Ahok, mengapa semua pasangan calon lainnya (kecuali pasangan independen Faisal-Biem dan Adji-Riza) malah berbalik 180 derajat mendukung Foke-Nara?

Mengherankan sekaligus menggelikan menyaksikan cagub Alex yang sebelumnya selalu mengkritik kinerja cagub petahana Foke selama memimpin Jakarta lima tahun terakhir ini. Karena ternyata partai pendukungnya, Partai Golkar, saat ini justru menjadi kekuatan politik yang pertama kali mengumumkan bahwa di Putaran II ini siap menyukseskan langkah Foke (kembali) menjadi DKI I.

Manuver terkemudian dari PKS juga setali tiga uang. Sebelum 11 Juli lalu, cagub Hidayat selalu menyindir Foke sebagai pemimpin yang gagal dalam mengatasi permasalahan Jakarta dan bahkan (diduga) korup.

“Bila dibandingkan dengan calon yang lain, alhamdulillah saya salah satu calon yang belum pernah berurusan dengan KPK,” kata Hidayat dalam salah satu kampanyenya. Karena itu, Hidayat menambahkan, jangan mau memilih calon yang sudah terang berurusan dengan KPK, apalagi sampai pernah dilaporkan melakukan korupsi.

Pertanyaannya, kalau pada Pilkada DKI Putaran I lalu warga Jakarta diimbau untuk tidak memilih Foke (jelas dia yang dimaksudkan Hidayat, bukan?), mengapa sekarang malah Hidayat sendiri dan partainya yang ngotot meminta seluruh kader PKS mendukung Foke?

Bagai menjilat ludah sendiri”, itulah pepatah yang cocok dikenakan kepada Hidayat dan PKS. Bukankah itu berpotensi menjadi pendidikan politik yang buruk untuk rakyat? Belum lagi jika rakyat diingatkan bahwa PKS pernah menjadi lawan Foke pada Pilkada DKI 2007 lalu.

Terkait dukungan mereka kepada Foke-Nara di Putaran II ini, Sekjen PKS Anis Matta mengkritik pasangan Jokowi-Ahok lantaran tidak menyelesaikan tugasnya. Jokowi tak menyelesaikan tugas sebagai Wali Kota Solo dan Ahok sebagai anggota DPR.

Kritik Anis jelas menggelikan. Apakah Anis lupa bahwa Hidayat Nur Wahid yang diusung PKS untuk maju sebagai cagub DKI pada Putaran I lalu juga masih tercatat sebagai anggota Komisi V DPR periode 2009-2014? Hidayat bahkan memegang jabatan yang penting sebagai Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR untuk periode yang sama.

Belum lagi jika mencermati Didik Rachbini, cawagub yang menjadi pasangan Hidayat, yang tidak mengikuti keputusan PAN untuk mendukung Foke-Nara. Padahal, Didik adalah salah satu Ketua DPP PAN. Bukankah ini pun sebentuk inkonsistensi yang perlu dikritik?

Atas dasar itulah maka berita simpang siur (yang belum jelas kebenarannya) perihal mahar politik antara Foke dan PKS, bahwa jika Foke menang maka beberapa posisi strategis di pemerintahan Provinsi DKI Jakarta (seperti kepala dinas dan wali kota) akan diberikan kepada partai, seakan gayung bersambut di tengah masyarakat.

Mengapa PKS tidak mengimbau kadernya untuk mendukung Jokowi-Ahok, sebagaimana sebelumnya berulang-ulang dan secara ngotot diimbau oleh Misbakhun – salah seorang kader PKS?

Masyarakat dapat menjawabnya sendiri: karena Jokowi-Ahok tipikal pemimpin yang tak mau menjanjikan jabatan-jabatan strategis kepada siapa pun. Jokowi bersiteguh dengan prinsipnya, bahwa jika ia terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta 2012-2017, ia adalah pemimpin bagi warga Jakarta, bukan gubernur untuk kader PDIP (termasuk Partai Gerindra).

Bukankah itu sudah dibuktikannya di Solo selama ini, bahwa ia adalah wali kota bagi warga Solo dan bukan wali kotanya PDIP? Begitupun Ahok, yang sudah membuktikannya selama ia menjadi Bupati Belitung Timur (2005-2007).
Di samping hal-hal yang sudah diuraikan di atas, ada kemungkinan lain yang bisa dikemukakan untuk menjelaskan mengapa pada Putaran II ini Foke didukung banyak partai; yakni Foke sendirilah yang berinisiatif  “membeli” dukungan partai-partai tersebut.

Ini jelas sangat penting, karena Foke memiliki keinginan sangat besar untuk menang. Jika ia kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta, otomatis dugaan korupsi yang dituduhkan kepadanya menjadi sulit untuk ditindaklanjuti KPK.

Itulah dan begitulah politik, yang sangat memesona karena menawarkan kekuasaan. Kekuasaan membuat pelbagai kepentingan menjadi mudah untuk diraih atau diwujudkan. Itulah logika yang menjelaskan kebenaran adagium Lord Palmerston.
Itulah juga logika yang menjelaskan mengapa mahkluk manusia disebut sebagai political animal (Aristoteles) atau zoon politicon (Plato). Manusia cenderung rakus kekuasaan. Jika kekuasaan itu sudah didapatkan, manusia ingin mempertahankan dan bahkan memperbesarnya.

Karena sifat seperti itulah maka pemikir politik pragmatisme terkemuka Niccolo Machiavelli (1469-1527) pernah mengatakan bahwa politik tak perlu dikait-kaitkan dengan moralitas dan kebajikan. Menurut dia, demi mempertahankan kekuasaan, kalau perlu penguasa sering melanggar hukum moral. Jadi, para penguasa harus cerdik dan cakap mempergunakan kekuasaannya.

Bagi Machiavelli, politik menjadi semacam seni untuk mengelola pelbagai kemungkinan (the art of possibilities). Tak heran jika atas dasar itu pula maka praktik politik menjadi sarat intrik dan kerap transaksional.

Tapi, menurut Machiavelli, hal itu harus dipandang sebagai kewajaran, sebab politik merupakan alat untuk mengelola kehidupan bersama di dunia; dan dunia ini terdiri dari manusia-manusia, bukan para dewa, dengan nafsu-nafsu yang mustahil dipuaskan dan kemampuan berbuat jahat yang tak terbatas.

Karena itulah jika penguasa ingin berhasil, sebagian dari dirinya harus berperangai singa (yang kuat), sebagian lagi harus bersifat kancil (yang cerdik).
Persoalannya, kita tak boleh menjadi Machiavellian, sebab kita adalah bangsa yang berpedoman pada Pancasila.

Atas dasar itulah, kita harus bersatu komitmen untuk menolak praktik politik transaksional yang sarat intrik dan negosiasi jabatan-jabatan politik di dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 ini. Kita rindu pemimpin yang bersih, transparan dan fokus bekerja untuk rakyat – bukan demi partai-partai yang pernah berjasa dalam pemilu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar