Menolak Politik
Transaksional
Victor Silaen ; Dosen Ilmu
Politik Universitas Pelita Harapan
|
SINAR
HARAPAN, 07 September 2012
Dalam politik tak ada satu pun
hal yang ideal. Semuanya serbapraktis, karena nilai yang melandasinya memang
pragmatisme.
Jadi, bukan kebaikan dan
kebajikan yang menjadi keutamaan dalam politik, melainkan manfaat. Manfaat itu
sendiri terutama dicari dan dikejar untuk diri sendiri, baru kemudian untuk
kelompok sendiri, dan akhirnya untuk satuan sosial yang lebih luas lagi:
masyarakat dan bangsa.
Begitulah, maka sudah sejak lama
politikus Inggris di abad ke-19, Lord Palmerston, berkata begini: “Dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang
abadi, karena sesungguhnya yang abadi adalah kepentingan itu sendiri.”
Boleh jadi hari ini menjadi kawan
senasib-sepenanggungan, sebarisan-seperjuangan. Tapi, kali lain bisa jadi beroposisi,
menjadi lawan yang berpunggungan. Bahkan kalau perlu, bisa saling menjegal dan
menumbangkan.
Gambaran seperti itulah yang
terlihat pada peristiwa politik aktual para pendukung calon gubernur dan wakil
gubernur DKI Jakarta 2012-2017 Foke-Nara menjelang Putaran II Pilkada DKI 2012
yang direncanakan terselenggara pada 20 September nanti.
Sebelum 11 Juli lalu, semua
pasangan cagub-cawagub hampir selalu “menyerang” Foke-Nara dalam kampanye
mereka. Kini, setelah kontestannya tinggal Foke-Nara dan Jokowi-Ahok, mengapa
semua pasangan calon lainnya (kecuali pasangan independen Faisal-Biem dan
Adji-Riza) malah berbalik 180 derajat mendukung Foke-Nara?
Mengherankan sekaligus
menggelikan menyaksikan cagub Alex yang sebelumnya selalu mengkritik kinerja
cagub petahana Foke selama memimpin Jakarta lima tahun terakhir ini. Karena
ternyata partai pendukungnya, Partai Golkar, saat ini justru menjadi kekuatan
politik yang pertama kali mengumumkan bahwa di Putaran II ini siap menyukseskan
langkah Foke (kembali) menjadi DKI I.
Manuver terkemudian dari PKS juga setali tiga uang. Sebelum 11 Juli
lalu, cagub Hidayat selalu menyindir Foke sebagai pemimpin yang gagal dalam
mengatasi permasalahan Jakarta dan bahkan (diduga) korup.
“Bila dibandingkan dengan calon
yang lain, alhamdulillah saya salah
satu calon yang belum pernah berurusan dengan KPK,” kata Hidayat dalam salah
satu kampanyenya. Karena itu, Hidayat menambahkan, jangan mau memilih calon
yang sudah terang berurusan dengan KPK, apalagi sampai pernah dilaporkan
melakukan korupsi.
Pertanyaannya, kalau pada Pilkada
DKI Putaran I lalu warga Jakarta diimbau untuk tidak memilih Foke (jelas dia yang dimaksudkan Hidayat, bukan?),
mengapa sekarang malah Hidayat sendiri dan partainya yang ngotot meminta
seluruh kader PKS mendukung Foke?
“Bagai menjilat ludah sendiri”, itulah pepatah yang cocok dikenakan
kepada Hidayat dan PKS. Bukankah itu berpotensi menjadi pendidikan politik yang
buruk untuk rakyat? Belum lagi jika rakyat diingatkan bahwa PKS pernah menjadi
lawan Foke pada Pilkada DKI 2007 lalu.
Terkait dukungan mereka kepada
Foke-Nara di Putaran II ini, Sekjen PKS Anis Matta mengkritik pasangan
Jokowi-Ahok lantaran tidak menyelesaikan tugasnya. Jokowi tak menyelesaikan
tugas sebagai Wali Kota Solo dan Ahok sebagai anggota DPR.
Kritik Anis jelas menggelikan.
Apakah Anis lupa bahwa Hidayat Nur Wahid yang diusung PKS untuk maju sebagai
cagub DKI pada Putaran I lalu juga masih tercatat sebagai anggota Komisi V DPR
periode 2009-2014? Hidayat bahkan memegang jabatan yang penting sebagai Ketua
Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR untuk periode yang sama.
Belum lagi jika mencermati Didik
Rachbini, cawagub yang menjadi pasangan Hidayat, yang tidak mengikuti keputusan
PAN untuk mendukung Foke-Nara. Padahal, Didik adalah salah satu Ketua DPP PAN.
Bukankah ini pun sebentuk inkonsistensi yang perlu dikritik?
Atas dasar itulah maka berita
simpang siur (yang belum jelas kebenarannya) perihal mahar politik antara Foke
dan PKS, bahwa jika Foke menang maka beberapa posisi strategis di pemerintahan
Provinsi DKI Jakarta (seperti kepala dinas dan wali kota) akan diberikan kepada
partai, seakan gayung bersambut di tengah masyarakat.
Mengapa PKS tidak mengimbau
kadernya untuk mendukung Jokowi-Ahok, sebagaimana sebelumnya berulang-ulang dan
secara ngotot diimbau oleh Misbakhun – salah seorang kader PKS?
Masyarakat dapat menjawabnya
sendiri: karena Jokowi-Ahok tipikal pemimpin yang tak mau menjanjikan
jabatan-jabatan strategis kepada siapa pun. Jokowi bersiteguh dengan
prinsipnya, bahwa jika ia terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta 2012-2017, ia
adalah pemimpin bagi warga Jakarta, bukan gubernur untuk kader PDIP (termasuk
Partai Gerindra).
Bukankah itu sudah dibuktikannya
di Solo selama ini, bahwa ia adalah wali kota bagi warga Solo dan bukan wali
kotanya PDIP? Begitupun Ahok, yang sudah membuktikannya selama ia menjadi
Bupati Belitung Timur (2005-2007).
Di samping hal-hal yang sudah
diuraikan di atas, ada kemungkinan lain yang bisa dikemukakan untuk menjelaskan
mengapa pada Putaran II ini Foke didukung banyak partai; yakni Foke sendirilah
yang berinisiatif “membeli” dukungan
partai-partai tersebut.
Ini jelas sangat penting, karena
Foke memiliki keinginan sangat besar untuk menang. Jika ia kembali menjadi
Gubernur DKI Jakarta, otomatis dugaan korupsi yang dituduhkan kepadanya menjadi
sulit untuk ditindaklanjuti KPK.
Itulah dan begitulah politik,
yang sangat memesona karena menawarkan kekuasaan. Kekuasaan membuat pelbagai
kepentingan menjadi mudah untuk diraih atau diwujudkan. Itulah logika yang
menjelaskan kebenaran adagium Lord Palmerston.
Itulah juga logika yang
menjelaskan mengapa mahkluk manusia disebut sebagai political animal (Aristoteles) atau zoon politicon (Plato). Manusia cenderung rakus kekuasaan. Jika
kekuasaan itu sudah didapatkan, manusia ingin mempertahankan dan bahkan
memperbesarnya.
Karena sifat seperti itulah maka
pemikir politik pragmatisme terkemuka Niccolo Machiavelli (1469-1527) pernah mengatakan bahwa politik tak
perlu dikait-kaitkan dengan moralitas dan kebajikan. Menurut dia, demi
mempertahankan kekuasaan, kalau perlu penguasa sering melanggar hukum moral. Jadi, para
penguasa harus cerdik dan cakap mempergunakan kekuasaannya.
Bagi Machiavelli, politik menjadi
semacam seni untuk mengelola pelbagai kemungkinan (the art of possibilities). Tak
heran jika atas dasar itu pula maka praktik politik menjadi sarat intrik dan
kerap transaksional.
Tapi, menurut Machiavelli, hal
itu harus dipandang sebagai kewajaran, sebab politik merupakan alat untuk
mengelola kehidupan bersama di dunia; dan dunia ini terdiri dari manusia-manusia, bukan
para dewa, dengan nafsu-nafsu yang mustahil dipuaskan dan kemampuan berbuat
jahat yang tak terbatas.
Karena itulah jika penguasa ingin berhasil, sebagian dari dirinya harus
berperangai singa (yang kuat), sebagian lagi harus bersifat kancil (yang
cerdik).
Persoalannya, kita tak boleh
menjadi Machiavellian, sebab kita adalah bangsa yang berpedoman pada Pancasila.
Atas dasar itulah, kita harus
bersatu komitmen untuk menolak praktik politik transaksional yang sarat intrik
dan negosiasi jabatan-jabatan politik di dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 ini.
Kita rindu pemimpin yang bersih, transparan dan fokus bekerja untuk rakyat –
bukan demi partai-partai yang pernah berjasa dalam pemilu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar