Mengukur Kinerja
Foke dan Jokowi
|
Teguh Dartanto ; Dosen dan
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas
Ekonomi-Universitas Indonesia
|
KORAN
TEMPO, 06 September 2012
Warga Jakarta adalah
individu-individu cerdas, bebas, dan rasional sehingga mampu menyikapi data dan
fakta serta tidak tergoda oleh isu primitif-primordial untuk menentukan siapa
yang layak menjadi gubernur Jakarta.
Genderang perang ronde kedua pilkada
DKI Sudah ditabuh bertalu-talu. Pasangan Foke-Nara serta Jokowi-Ahok Berusaha
bersolek diri, menebar simpati dan janji, menyiapkan strategi dan amunisi,
serta berusaha menutupi kekurangan diri untuk memuluskan jalan menjadi gubernur
dki. di sisi lain, pemilih semakin kritis dan cerdas memilah-milah semua
informasi dan janji-janji. dengan demikian, pemilih diharapkan tidak
menjatuhkan pilihan berdasarkan pertimbangan primitif-primordial seperti isu
suku, agama, golongan, kumis, atau baju kotak-kotak. pemilih juga tidak boleh
terkecoh oleh pemberitaan media massa dan media sosial yang berusaha memainkan
emosi publik di mana seolah-olah pilkada DKI adalah pertarungan semut versus
gajah, perubahan versus status quo,
laskar rakyat versus laskar partai, dan nasionalis versus religius.
Pemilih yang cerdas dan rasional
akan menjatuhkan pilihan berdasarkan fakta obyektif kinerja, kapasitas
kepemimpinan, dan kemampuan manajerial para kandidat yang sedang berlaga.
Marilah kita melihat fakta dan data statistik ukuran kemiskinan mutlak
(absolut) dan kemiskinan relatif untuk mengukur kinerja Fauzi Bowo dan Jokowi
selama mereka berkuasa.
Kemiskinan Absolut
Kemiskinan mutlak (absolut)
adalah ukuran ketidakmampuan seseorang memenuhi kebutuhan dasar, seperti
makanan, perumahan, pakaian, dan pendidikan. sedangkan kemiskinan relatif
adalah ukuran ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup layak
setara dengan kebanyakan orang. pada 2010, warga jakarta dinyatakan miskin
absolut jika pengeluarannya kurang dari rp 338.783 per kapita per bulan,
sedangkan warga Solo dinyatakan miskin absolut jika pengeluarannya kurang dari
rp 306.584 per kapita per bulan.
Berdasarkan garis kemiskinan
absolut ini, jumlah penduduk miskin DKI Jakarta dan Kota Solo adalah
masing-masing 4,04 persen dan 13,96 persen (BPS DKI Jakarta, 2011; BPS Jawa
Tengah, 2011). Angka kemiskinan DKI Jakarta adalah yang terendah se-Indonesia,
sedangkan Kota Solo masih mengalami permasalahan yang serius dengan kemiskinan.
Angka kemiskinan Kota Solo tidak akan pernah turun mendekati angka kemiskinan
DKI Jakarta, meskipun Jokowi menyelesaikan jabatan wali kota sampai 2015.
Dengan demikian, tidak salah Amien Rais menyampaikan fakta bahwa tingkat
kemiskinan Kota Solo masih tinggi dan berada di atas rata-rata nasional (Inilah
online, 7 Agustus 2012).
Tetapi melihat satu titik waktu
angka kemiskinan untuk menilai kinerja fauzi bowo dan jokowi adalah sebuah
kecerobohan, kegegabahan, atau bahkan sebuah kezaliman. sebab, kinerja hanya
dapat diukur dengan membandingkan dua buah titik waktu selama gubernur/wali
kota memangku jabatan. marilah kita melihat angka kemiskinan dki jakarta dan
kota solo periode 2007-2010 untuk memberikan penilaian yang lebih adil. angka
kemiskinan dki jakarta tahun 2007 adalah 4,48 persen, sedangkan angka
kemiskinan kota solo tahun 2008 adalah 16,13 persen. selama kurun waktu 3 tahun
(2007-2010), fauzi bowo mampu menurunkan kemiskinan sebesar 0,44 persen atau
0,15 persen per tahun. di sisi lain, jokowi selama kurun waktu 2 tahun
(2008-2010) mampu menurunkan kemiskinan sebesar 2,17 persen atau 1,1 persen per
tahun.
Berdasarkan data statistik ini,
kinerja Jokowi dalam menurunkan angka kemiskinan jauh lebih kinclong dibanding
kinerja Fauzi Bowo. Dengan asumsi penurunan kemiskinan secara linear, Jokowi
membutuhkan waktu sekitar 14 tahun berkuasa untuk menghilangkan kemiskinan di
Kota Solo, sedangkan Fauzi Bowo membutuhkan waktu lebih dari 20 tahun berkuasa
untuk memusnahkan kemiskinan dari bumi Jakarta.
Membandingkan kinerja fauzi bowo
dan jokowi akan lebih menarik jika kita dapat melihat lebih mendalam angka
kemiskinan relatif di kedua kota tersebut. data kemiskinan ini tidak
dipublikasikan oleh bps, karena perhitungan kemiskinan relatif merupakan
inisiatif baru dalam pengukuran kesejahteraan di indonesia. kemiskinan relatif
berkaitan erat dengan masyarakat inklusif dan ketimpangan sosial. si a dengan
penghasilan rp 2 juta per bulan bisa dikatakan miskin secara relatif jika
kebanyakan orang di sekeliling a berpenghasilan rp 5 juta per bulan. penghasilan
a tidak cukup untuk mengimbangi gaya hidup kebanyakan orang, sehingga a akan
teralienasi dan terpinggirkan dari pergaulan sosial. a hanya akan menjadi
penonton dari proses gemerlap pembangunan tanpa bisa ikut menikmatinya.
Berdasarkan perhitungan dengan
menggunakan susenas 2005 dan 2008 serta garis kemiskinan relatif sebesar 60
persen rata-rata pengeluaran penduduk Jakarta dan Solo, angka kemiskinan
relatif tahun 2005 di dki jakarta dan kota solo adalah masing-masing 39,61
persen dan 38,88 persen. artinya, sekitar 40 persen warga jakarta dan 39 persen
warga Solo tidak dapat hidup pantas dan layak seperti kebanyakan orang di
wilayah tersebut.
Dalam kurun waktu 2005-2008,
angka kemiskinan relatif DKI Jakarta dan Kota Solo turun menjadi 33,43 persen
dan 28,11 persen. Artinya, selama 3 tahun Jokowi mampu menurunkan kemiskinan
relatif sebesar 10,77 persen atau sekitar 3,6 persen per tahun. Sedangkan Fauzi
Bowo hanya mampu menurunkan kemiskinan relatif sebesar 2,06 persen per tahun.
Jika dilihat dari kinerja penurunan kemiskinan absolut dan relatif, Jokowi
lebih unggul dibandingkan dengan Fauzi Bowo. Tetapi hal ini tidak bisa menjamin
100 persen kesuksesan di Solo bisa ditransformasikan di Jakarta, karena adanya
perbedaan ruang, waktu, dan skala masalah.
Penutup
Warga Jakarta adalah
individu-individu cerdas, bebas, dan rasional sehingga mampu menyikapi data dan
fakta serta tidak tergoda oleh isu primitif-primordial untuk menentukan siapa
yang layak menjadi Gubernur Jakarta. Pemilih seharusnya tidak perlu takut berbeda
dengan titah/perintah para pemimpin partai/organisasi sosial/keagamaan, karena
titah bukanlah sabda, sehingga tiada dosa untuk tidak mematuhinya. Perlu
kehati-hatian dan pertimbangan ekstra, karena salah pilih gubernur berarti
harus menunggu lima tahun untuk mencampakkannya.
Semoga Jakarta mendapatkan pemimpin yang jujur, amanah, dan mampu
merealisasi janji-janji mewujudkan Kota Jakarta aman, nyaman, dan ramah untuk
semuanya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar