Jumat, 07 September 2012

Memasarkan Masjid, Memasjidkan Pasar

Memasarkan Masjid, Memasjidkan Pasar
Arif Afandi ;  Ketua Dewan Masjid Kota Surabaya
JAWA POS, 07 September 2012


SEJUMLAH pusat perbelanjaan modern kini telah menyediakan fasilitas masjid dan musala. Tempat ibadah muslim ini sekarang menjadi bagian fasilitas yang nyaman bagi para pelanggan, pemilik, serta penjaga gerai. Kalau dulu hanya nyelempit di lokasi parkir, kini banyak yang menyediakannya di lokasi strategis, bahkan di setiap lantai.

Kecenderungan ini telah menjadikan masjid dan pasar tidak lagi sebagai lembaga yang bersifat bertentangan. Kini keduanya sudah menjadi bagian dari strategimarketing yang sejalan dengan tumbuh pesatnya daya beli dan tingkat religiusitas masyarakat muslim yang mayoritas. Kalau ingin pembelanja betah di mal, masjid dan musala harus disediakan. 

Maka, masjid telah menjadi bagian peradaban pasar modern. Pembelanja tidak harus keluar mal untuk salat lima waktu. Apakah marketing memang ingin semakin memenuhi kebutuhan spritual customer? Saya tidak tahu. Yang pasti, fenomena ini perlu disambut gembira karena mendekatkan institusi masjid dan pasar. 

Jika di pusat perbelanjaan menjadi bagian dari peradaban, mungkinkah masjid dan musala yang ada di tengah masyarakat menjadi basis peradaban? Pertanyaan ini sangat penting, karena persepsi umum sekarang masih menganggap masjid sekadar tempat salat. 

Delusi Fungsi 

Sejak kali pertama dibangun Rasulullah Muhammad, masjid memang tidak hanya untuk tempat salat. Ia menjadi pusat dari segalanya. Mulai pusat pemerintahan, ekonomi, dan kebudayaan. Segala kegiatan Rasulullah berlangsung di masjid. Bahkan, kegiatan diplomatik -menerima delegasi pemerintahan dari berbagai negara, baik yang muslim atau tidak- berlangsung di masjid. Dari masjidlah Rasulullah membangun peradaban dan menyebarkan syiar Islam ke segala penjuru dunia.

Dari masjid pula Rasulullah membangun dan mewujudkan masyarakat madani, masyarakat yang terdidik, santun, disiplin, dan saling menghargai. Masjid menjadi basis pembangunan masyarakat kota (al-madinah), masyarakat yang teratur karena terikat aturan yang dirumuskan bersama. Tidak hanya kaum muslim, tapi juga kota yang dihuni berbagai golongan etnis dan keyakinan. Masjid di zaman itu menjadi pembangun peradaban baru. Kalau kini hanya difungsikan sebagai tempat salat, berarti masjid mengalami delusi fungsi. 

Peradaban apa yang bisa ditumbuhkembangkan melalui masjid? Sangat banyak. Misalnya, nilai-nilai kedisiplinan. Sebagai tempat menjalankan salat berjamaah lima waktu, masjid memungkinkan melatih masyarakat di sekitarnya untuk meningkatkan budaya tepat waktu. Seseorang yang tidak disiplin bisa ketinggalan untuk salat berjamaah.

Salat berjamaah di masjid juga mengajarkan kita bekerja sama dan bersikap egalitarian. Tidak ada kelas sosial dalam salat jamaah. Posisi jamaah ditentukan atas prestasi. Mereka yang datang lebih dulu berhak menempati baris pertama. Yang datang belakangan harus berada di belakang. Tidak peduli mereka mempunyai kedudukan dan status sosial ekonomi yang tinggi. Di dalam masjid juga diajarkan sikap demokratis. Seorang imam yang batal, misalnya kentut di tengah memimpin salat, harus sukarela mundur dan digantikan jamaah di belakangnya.

Masjid juga bisa menjadi tempat redistribusi kekayaan. Ia bisa menjadi pemantau masyarakat di sekelilingnya yang masih dalam taraf miskin. Bahkan, data milik masjid tentang keluarga miskin bisa lebih akurat daripada data pemerintah. Sebab, setiap tahun masjid menjadi pusat pembagian zakat dan sedekah. Karena itu, mereka selalu memperbarui data (update) para mustahiq, orang yang berhak menerima zakat, paling tidak setiap Ramadan tiba.

Meski tanpa harus ada kartu tanda anggota, keanggotaan jamaah masjid bisa dibilang lebih solid. Sebab, mereka akan sering bertemu dalam sehari, sesuai dengan kewajiban menjalan salat wajib lima waktu bagi muslim. Saat bertemu, bisa disisipkan untuk menyampaikan pesan-pesan, baik pesan keagamaan maupun kemasyarakatan. Prinsip berjamaah bisa menjadi basis pengembangan ekonomi masyarakat melalui koperasi atau lainnya.

Kembalikan Fungsi 

Singkatnya, dengan hanya menjadi tempat salat berjamaah, masjid bisa menjadi basis pengembangan peradaban manusia modern yang mengedepankan disiplin, tepat waktu, objektivitas dan orientasi pada prestasi, serta membangun semangat kerja sama dalam masyarakat. Apalagi, kalau fungsi masjid diperluas sebagai pusat pemberdayaan ekonomi jamaah maupun pusat kebudayaan bagi masyarakat di sekitarnya. Bayangkan, kalau setiap masjid mempunyai koperasi syariah, dalam waktu singkat akan ada 3.000 lembaga ekonomi sejenis di kota Surabaya.

Dalam hal kebudayaan, masjid harus menjadi sumber tempat belajar tentang keislaman. Apakah itu dari kalangan muslim sendiri maupun komunitas di luarnya. Hal ini bukan tidak mustahil kalau masjid mau mengembangkan perpustakaan masjid masing-masing. Bila sebagai pusat kebudayaan bisa dikembangkan, memungkinkan kelak anak-anak di luar komunitas muslim mendatangi masjid untuk mengetahui tentang Islam yang benar. Apalagi, kalau perpustakaan dan hospitality (keramahtamahan) para pengurus masjid bisa ditingkatkan. 

Para pengurus atau takmir masjid perlu menyadari bahwa masjid bisa menjadi pusat kebudayaan yang menggembleng karakter para jamaaahnya. Dengan sendirinya, masjid akan menjadi pusat public relation untuk umat Islam. Bukan menjadi sesuatu yang stagnan atau mencemaskan, tapi lembaga yang penuh pengharapan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar