Jumat, 21 September 2012

Kumis vs Kotak-Kotak


Kumis vs Kotak-Kotak
Ahmad Irsan A Moeis;  Magister Ekonomi, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik UI, Regional Economic Development Expert, Berlin
MEDIA INDONESIA, 20 September 2012


Kami tidak pernah peduli dengan kumis dan kotak-kotak yang menjadi simbol Anda. Kami hanya peduli pada jawaban bahwa siapa pun nantinya yang memimpin Jakarta, akan membawa kami pada kehidupan yang lebih baik. Selamat berkompetisi! "

PEMILU kada telah membawa kata-kata ‘kumis’ dan ‘kotak-kotak’ menjadi sangat populer bagi warga Jakarta terutama memasuki putaran kedua. Kedua kata itu dengan berbagai kemasan secara masif muncul di jalanan Ibu Kota, media sosial, cetak dan televisi, bahkan broadcast-broadcast di Blackberry. Sebenarnya penggunaan symbol-simbol untuk memperkenalkan calon kontestan dalam sebuah kompetisi adalah hal yang wajar dan sah-sah saja, apalagi dalam pemilihan gubernur setingkat Kota Jakarta.

Tentunya dibutuhkan sebuah strategi pemasaran yang eye catching dan atraktif yang dapat dengan mudah menjangkau warga Jakarta yang majemuk, dan penggunaan simbol merupakan salah satu cara yang efektif demi tujuan tersebut. Namun, sangat disayangkan penggunaan simbol kumis dan kotak-kotak ini menjadi sangat menonjol bukan lagi sebagai pendukung, sehingga terkesan merupakan senjata pamungkas yang harus dan selalu digadang-gadangkan. Tim sukses setiap calon, baik FokeNara maupun Jokowi-Ahok, sepertinya terlalu asyik memanfaatkan dan memainkan simbol masing-masing untuk menarik simpati warga Jakarta.

Para simpatisan para calon, melalui spanduk-spanduk yang mulai bergelantungan di sisi jalanan dan jembatan penyeberangan Jakarta, juga saling menyerang (tentunya dengan bahasa yang disamarkan namun menohok) terhadap kedua simbol tersebut. Perseteruan, saling gugat, dan klaim yang terjadi di antara kedua tim sukses terhadap cara dan isi kampanye juga tidak jauh dari masalah simbol belaka.

Para tim sukses masih saling beradu argumentasi seputar isu-isu yang terkait dengan simbol, yaitu agama yang dianut dan suku asal dari sang kompetitor. Perdebatan tersebut masih seputar masalah personal masing-masing, seperti pertengkaran anak-anak yang saling mendiskreditkan satu sama lain sehingga terlihat lucu dan menggemaskan serta meninggalkan senyumtawa bagi yang menyaksikannya.

Belum terlihat pertarungan intelektual dan program untuk mengatasi permasalahan Jakarta seperti yang ditunjukkan oleh Partai Republik melalui pasangan Romney-Ryan yang mengkritisi kebijakan Barack Obama dalam program kesehatan bagi warga miskin dan lansia yang menurut mereka menyebabkan defisit anggaran terbesar Amerika pasca-Perang Dunia II. Hal tersebut dibalas oleh kubu Partai Demokrat, tempat bernaung Obama, dengan mempertanyakan budget plan Paul Ryan yang akan memotong anggaran program sosial seperti Mediacare dan Medicaid, serta program-program asuransi kesehatan warga miskin dan lansia.

Tidak ada serangan dari pihak Romney-Ryan terhadap Obama yang bukan berasal dari keturunan kulit putih, begitu juga sebaliknya kubu Obama tidak pernah menyerang latar belakang Romney yang seorang pengusaha. Kedua pasangan calon itu bertarung untuk meyakinkan rakyat Amerika bahwa ide dan gagasan merekalah yang paling tepat untuk mengeluarkan Amerika dari krisis saat ini.

Pada pemilu kada DKI Ja karta kali ini pun, ekspektasi masyarakat sebenarnya ingin melihat baik tim sukses maupun kedua calon gubernur Jakarta yang maju ke putaran kedua ini saling berseteru dan bertarung soal ide, gagasan, dan program. Saat ini Jakarta memiliki dua masalah utama, yaitu kemacetan dan rawan banjir.

Akan menjadi sangat menarik jika membaca atau menonton berita yang menampilkan kedua kubu saling berseteru tentang bagaimana kedua masalah itu akan mereka atasi. Kubu Foke-Nara men-challenge program mengurai kemacetan Jakarta yang ditawarkan oleh kubu Jokowi-Ahok berupa move the people bukan move the car. Begitu juga sebaliknya, kubu penantang mengkritisi program mengatasi banjir yang tengah dilakukan oleh kubu incumbent seperti Kanal Banjir Timur, kemudian setiap kubu menawarkan gagasannya dan memberi alasan kepada warga mengapa konsep pembangunan Jakarta yang mereka susun lebih baik dan lebih tepat daripada ide yang disodorkan oleh pesaingnya. Sehingga, melalui perseteruan tersebut warga Jakarta dapat melihat program mana yang tepat menurut mereka, ide siapa yang paling dapat diterapkan di Jakarta, dan gagasan kubu mana yang dapat menjawab permasalahan Jakarta dan memberi solusi yang dibutuhkan masyarakat.

Justifikasi-justifikasi itulah nantinya yang akan dibawa warga saat menuju bilik suara untuk mencoblos gambar pasangan yang menurutnya tepat memimpin Jakarta. Bila kubu kedua kandidat menggelorakan intellectual battle, tidak sekadar perang symbol-simbol baik dalam slogan, baliho, spanduk, bahkan kampanyenya, maka kualitas pemilu kada DKI Jakarta akan dapat menjadi role model pemilu kada di daerah lain. Dan yang pasti, jumlah golput dapat turun dengan signifikan karena warga punya informasi dan tujuan yang jelas datang ke TPS.

Beri kami alasan yang kuat bahwa pengorbanan kami berpanas-panas ria menuju lokasi pencoblosan bukanlah sebuah kesia-siaan belaka. Bahwa kami datang untuk menentukan masa depan kami yang lebih nyaman dan aman hidup di Jakarta. Kedatangan kami bukan hanya untuk mendudukkan Anda sebagai penguasa yang akan kami sesali dalam lima tahun ke depan. Kepada para calon gubernur, tolong suguhkan dan sajikan kepada kami solusi bagi masa depan Jakarta yang lebih baik buat warganya. Karena kami tidak pernah peduli dengan kumis dan kotak-kotak yang menjadi simbol Anda. Kami hanya peduli pada jawaban bahwa siapa pun nantinya yang memimpin Jakarta, akan membawa kami pada kehidupan yang lebih baik. Selamat berkompetisi!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar